Mangkraknya penerapan pajak karbon, menjadi menarik untuk kembali didiskusikan, Hal ini didorong oleh fakta bahwa kualitas udara ibukota semakin mengkhawatirkan.
Berdasarkan data IQAir, Selasa (02/07/2024), Jakarta bersama Batam dan Medan dinobatkan sebagai kota dengan tingkat polutan terparah di dunia. Untuk Jakarta konsentrasi polutan particulate matter 2.5 (PM2,5) mencapai 58 mikrogram/m³ dengan AQI mencapai 154. Konsentrasi PM2,5 Jakarta 17,6 kali lebih banyak daripada nilai panduan kualitas udara tahunan organisasi kesehatan dunia (WHO).
Pada 2020 Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menyatakan setidaknya ada 118 fasilitas industri yang berkontribusi terhadap pencemaran udara Jakarta. Polusi tidak hanya disumbang dari industri, PLTU juga punya kontribusi yang sama mengerikannya terhadap pencemaran udara Jakarta. Greenpeace mencatat, Jakarta dihimpit 8 PLTU batu bara dalam radius 100 km.
Dalam jurnal The Lancet Planetary Health menyatakan bahwa polusi udara telah merenggut lebih dari 6,5 juta nyawa setiap tahunnya. Walau kendaraan bermotor dianggap sebagai biang polutan, namun justru Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) serta fasilitas industri yang jadi penyebab utama rusaknya udara ibu kota.
Global Boiling
Tidak hanya persoalan kualitas udara yang semakin memburuk, dunia tak terkecuali Indonesia dihadapkan dengan persoalan global boiling yang semakin nyata dampaknya. Laporan the World Meteorological Organization (WMO) and the European Commission’s Copernicus Climate Change Service, menyatakan bahwa Juli 2023 lalu adalah bulan terpanas dalam 120 ribu tahun terakhir.
Menurut WMO suhu rata-rata bumi selama Juli 2023 lalu rata-rata suhu permukaan mencapai 16,95°C. Suhu permukaan laut juga mengalami kenaikan hingga pada bersuhu 20,94°C. Dampak kenaikan suhu ini adalah munculnya gelombang panas di Amerika Utara, Asia dan Eropa, yang turut menyebabkan kebakaran hutan di negara-negara Eropa. Beberapa negara di Afrika Utara juga mengalami dampak yang serius dari kenaikan suhu yang signifikan ini, bahkan Aljazair dan Tunisia mencatatkan suhu hingga 49°C.
Kenaikan signifikan pada suhu bumi menciptakan istilah baru yang dipopulerkan oleh Sekjen PBB Antonio Guterres dengan sebutan era pendidihan global yang menurutnya sekaligus mengakhiri era pemanasan global.
Era pendidihan global ini menandai penurunan laten pada daya dukung bumi terhadap makhluk hidup. Penyebab terbesar naiknya level pemanasan global ke level boiling adalah pembakaran bahan bakar fosil. Global Carbon Project (GCP) menghasilkan emisi karbon dari bahan bakar fosil mencapai 36,6 gigaton sepanjang tahun 2022 dengan kontribusi terbesarnya berasal dari semakin masifnya penerbangan internasional pascapandemi Covid-19.
Pajak Karbon Berakhir Jadi Narasi
Pada akhir 2022 lalu, DPR telah mengesahkan aturan main baru di bidang perpajakan yaitu Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam UU HPP tersebut turut diperkenalkan jenis pajak baru yaitu pajak karbon yang juga tertuang dalam Pokok-pokok Kebijakan Fiskal sebagai Green Fiscal Policy Reform. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan tujuan utama hadirnya pajak karbon di Indonesia sebagai upaya pemerintah dalam merespons isu lingkungan.
Tak hanya di ranah kebijakan, Indonesia juga ikut berkomitmen di ranah global. Melalui Paris Agreement, Indonesia berpartisipasi dalam upaya perbaikan iklim dunia dengan mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca secara mandiri sebesar 29 persen atau sebesar 41 persen dengan dukungan internasional paling lambat pada 2030.
Mirisnya Indonesia juga menjadi penyumbang angka ekspor batubara termal terbesar di dunia. Data dari International Energy Agency mencatat angka ekspor batu bara Indonesia mencapai 473 juta ton, dengan produksi tahunan mencapai 622 juta ton pada 2022.
Bahkan untuk urusan penyumbang CO2 Indonesia tak bisa diremehkan. Endcoal.org mencatat sejak 2006—2020 terdapat 171 PLTU batu bara yang beroperasi di Indonesia dengan total kapasitas 32.373 megawatt. Greenpeace menyebut PLTU batubara jadi kontributor terburuk dan bertanggung jawab atas 46 persen emisi karbon dioksida dunia, sekaligus menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi sebesar 1°C-2°C dalam 100 tahun terakhir. Akibatnya menurut WHO polusi udara disebabkan emisi karbon yang menyebar ke udara telah merenggut 7 juta nyawa, 600 ribu di antaranya adalah anak-anak.
Sebenarnya pemerintah bukan tanpa upaya dalam mengentaskan persoalan lingkungan ini, melalui roadmap kebijakan, pemerintah telah merancang penerapan pajak karbon (cap and Tax) untuk 2021-2025 kebijakan pajak karbon akan diberlakukan secara terbatas pada PLTU batu bara dengan ketentuan untuk 1 kg emisi CO2 dari setiap PLTU akan dikenakan tarif Rp30 atau setara Rp30.000/ton CO2.
Ada banyak penyebab mengapa kebijakan ini belum juga diterapkan. Banyaknya penolakan dari para pelaku usaha disinyalir jadi salah satu penyebabnya. Salah satu yang cukup vokal menentang kebijakan ini adalah Kamar Dagang Indonesia (Kadin) melalui ketua umumnya Arsjad Rasjid yang mewakili 18 asosiasi pengusaha. Menurutnya pajak karbon akan menambah beban biaya produksi dan membuat para pelaku industri semakin tertekan.
Seolah keniscayaan, di saat suatu negara bertumbuh pesat perekonomiannya, di saat yang bersamaan harga mahal juga menyertainya yaitu persoalan lingkungan yang semakin teruk beserta masifnya penggunaan mesin-mesin industri berbahan bakar fosil yang menghasilkan CO2.
Alhasil pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadi problem terbesar dari sulitnya melakukan konversi energi di Indonesia. Suka atau tidak, sektor industri menjadi motor pertumbuhan sekaligus penopang utama aktivitas perekonomian yang notabene selalu bersentuhan dengan kegiatan yang menimbulkan persoalan lingkungan akibat hasil emisi karbon dan rumah kaca dari kegiatan industri mereka.
Jika kebijakan ini diterapkan tanpa pertimbangan yang matang, bukan mustahil kita akan bernasib sama seperti Australia. Negeri Kangguru ini hanya mampu menerapkan pajak karbon selama 2 tahun (2012-2014). Akibat penerapan pajak karbon, Australia mengalami lonjakan harga di sektor energi. Akhirnya kenaikan ini berdampak pada PHK besar-besaran.
Walau demikian fakta kontras dialami oleh Swedia yang telah akrab dengan pajak karbon sejak 1991. Pada 2021 Swedia menjadi negara dengan tarif pajak karbon tertinggi di dunia (US$130/ton CO2). Kesuksesan utama Swedia ialah karena selain tarif pajaknya masuk ke kas negara, penerimaan besar dari pajak karbon ini juga digunakan untuk meringankan beban pajak lainnya, serta dialokasikan untuk konservasi lingkungan dan membiayai kesejahteraan masyarakatnya.
PR terbesar pemerintah adalah merancang kebijakan Pajak Karbon yang berpihak pada kepentingan rakyat terutama di sektor akar rumput. Jika pajak karbon resmi diberlakukan bukan tidak mungkin biaya barang-barang kebutuhan bahkan tarif dasar listrik juga ikut naik. kebijakan tersebut perlu dibarengi dengan sistem yang transparan untuk membangun kepercayaan publik. Hal ini dimaksudkan agar terbentuk kesukarelaan pembayaran pajak karbon di masyarakat.
Hal yang sama juga akan berpengaruh pada para pelaku industri, pilihannya juga sama apakah industri akan menuntut perubahan kebijakan entah dengan menuntut bunga pinjaman yang lebih rendah bahkan mendesak kebijakan ini tidak diberlakukan, atau mereka akan membebankan biaya tambahannya kepada masyarakat yang mana itu artinya akan menaikkan harga barang.
Kompleksitas persoalan pasti akan dihadapi Indonesia tetapi kita tidak boleh menutup mata dalam menghadapi persoalan iklim dan lingkungan. Bila pemerintah mengupayakan perbaikan melalui regulasi dan mitigasi maka kita ikut berpartisipasi di ranah aksi. Literasi mengenai lingkungan perlu digencarkan dan upaya ini tak hanya datang dari pemerintahan. Sudah semestinya agenda besar ini memerlukan dukungan solid dan sinergisitas semua pihak.