Dalam diskursus keuangan modern, konsep Environmental, Social, and Governance (ESG) telah berkembang dari sekadar wacana etis menjadi instrumen yang semakin sering dipakai dalam penilaian korporasi. Sementara sebagian kalangan masih menilai ESG sebagai agenda normatif atau bahkan sekadar tren, sebuah studi empiris memberikan bukti yang substansial. Artikel Foundations of ESG Investing karya Giese dan rekan-rekan (2019) menunjukkan bahwa ESG memiliki keterkaitan langsung dengan indikator-indikator finansial utama seperti profitabilitas, risiko, dan valuasi pasar. Bukti tersebut menggeser ESG dari ranah moralitas menuju ranah analisis keuangan yang terukur.
Korelasi Empiris antara ESG dan Kinerja Perusahaan
Dalam kajian Giese (2019), analisis yang dilakukan terhadap lebih dari 1.600 perusahaan dalam indeks MSCI World periode 2007–2017 memperlihatkan perbedaan yang konsisten antara kelompok dengan skor ESG tinggi dan rendah. Perusahaan dengan skor ESG lebih tinggi menunjukkan profitabilitas kotor sekitar 0,2 poin z-score lebih baik dibandingkan kelompok dengan skor rendah. Meskipun angka ini tampak moderat, dalam terminologi riset keuangan selisih tersebut cukup signifikan karena menunjukkan perbedaan struktural dalam kinerja yang berkelanjutan. Selain itu, kelompok dengan skor tinggi juga memiliki kecenderungan untuk mendistribusikan dividen lebih besar, yang menandakan kapasitas arus kas yang lebih stabil.
Dari perspektif risiko, penelitian menunjukkan bahwa perusahaan dengan skor rendah lebih sering mengalami penurunan harga ekstrem hingga 95 persen dalam jangka tiga tahun dibandingkan perusahaan dengan skor tinggi. Hal ini memberikan indikasi bahwa ESG berfungsi sebagai mekanisme mitigasi risiko, melindungi perusahaan dari kejadian idiosinkratik seperti skandal tata kelola, kegagalan operasional, maupun krisis reputasi. Dengan demikian, ESG dapat dipandang sebagai lapisan proteksi yang bersifat endogen dalam manajemen risiko perusahaan.
Selain itu, perusahaan dengan skor ESG tinggi tercatat memiliki nilai beta yang lebih rendah. Beta yang rendah berarti volatilitas relatif terhadap pasar lebih kecil, yang pada gilirannya menurunkan biaya modal. Efek ini terpantau dalam valuasi pasar, di mana perusahaan dengan skor tinggi dihargai lebih mahal, tercermin dari rasio book-to-price yang lebih rendah. Data ini memperkuat argumen bahwa ESG berkontribusi langsung terhadap peningkatan valuasi melalui mekanisme penurunan risiko sistematis.
Momentum ESG sebagai Indikator Dinamis
Dimensi lain yang tidak kalah relevan adalah momentum ESG. Penelitian Giese dkk. menunjukkan bahwa perusahaan yang meningkatkan skor ESG secara konsisten memiliki kinerja saham lebih baik dibandingkan perusahaan yang skor ESG-nya menurun. Selisih kinerja kumulatif antara keduanya signifikan dan bertahan dalam horizon waktu panjang. Hal ini menegaskan bahwa tidak hanya tingkat skor yang penting, tetapi juga arah perubahannya.
Momentum ESG dapat dipandang sebagai indikator dinamis yang merefleksikan proses transformasi internal perusahaan. Perbaikan skor ESG sering kali selaras dengan peningkatan efisiensi operasional, perbaikan tata kelola, dan transparansi manajerial. Dengan demikian, momentum ESG memberikan sinyal awal yang dapat digunakan investor untuk mengantisipasi peningkatan valuasi di masa depan.
Penerapan ESG dalam Konteks Pasar Modal dan Industri Nasional
Hasil penelitian Giese dan kolega (2019) memberikan gambaran empiris bahwa ESG berdampak nyata terhadap profitabilitas, risiko, dan valuasi perusahaan. Untuk Indonesia, bukti ini tidak berhenti pada tataran teoritis, melainkan dapat langsung dikaitkan dengan kondisi pasar modal dan sektor industri nasional.
Bursa Efek Indonesia sejak 2009 telah menerbitkan Indeks SRI-KEHATI, yakni indeks berisi perusahaan-perusahaan yang memenuhi prinsip keberlanjutan lingkungan, sosial, dan tata kelola. Data BEI tahun 2023 menunjukkan bahwa indeks ini mencatat pertumbuhan tahunan rata-rata lebih tinggi dibandingkan IHSG, dengan volatilitas yang relatif lebih rendah. Fakta ini sejalan dengan temuan Giese bahwa perusahaan ber-ESG tinggi lebih stabil dalam kinerja jangka panjang. Ke depan, indeks ini dapat diperluas dengan menambahkan dimensi momentum ESG agar investor dapat menilai perusahaan yang sedang melakukan transformasi, bukan hanya yang sudah berada di tingkat atas.
Jika dilihat dari struktur ekonomi nasional, kontribusi sektor perkebunan sawit, pertambangan, dan energi terhadap PDB masih signifikan. Data BPS tahun 2022 mencatat sektor pertambangan dan penggalian menyumbang sekitar 12,2 persen terhadap PDB, sementara sektor pertanian (termasuk kelapa sawit) berkontribusi sekitar 12,4 persen. Kedua sektor ini memiliki eksposur tinggi terhadap risiko lingkungan dan sosial, mulai dari deforestasi hingga konflik lahan. Integrasi ESG dalam strategi bisnis mereka bukan sekadar tuntutan reputasi, tetapi juga faktor yang dapat menekan biaya modal sekaligus memperluas akses pada pembiayaan hijau. Bank Indonesia mencatat bahwa penyaluran kredit hijau di Indonesia mencapai Rp 1.623 triliun pada 2022, tumbuh lebih dari 8 persen dibanding tahun sebelumnya, menunjukkan peningkatan permintaan pada instrumen pembiayaan yang berorientasi pada keberlanjutan.
Dari perspektif investasi domestik, potensi penerapan ESG juga terlihat pada lembaga keuangan jangka panjang. Aset kelolaan BPJS Ketenagakerjaan pada 2022 mencapai Rp 613 triliun, sementara aset asuransi jiwa lebih dari Rp 600 triliun. Dengan skala sebesar ini, strategi tilt berbasis momentum ESG dapat memberikan dampak sistemik pada pasar modal Indonesia. Alokasi portofolio pada perusahaan dengan tren perbaikan ESG tidak hanya memperkuat ketahanan return, tetapi juga dapat mendorong transformasi bisnis secara nasional.
Implikasi Strategis ESG bagi Indonesia
Penelitian Giese dan rekan-rekan memberikan bukti empiris bahwa ESG berpengaruh langsung terhadap profitabilitas, risiko, dan valuasi perusahaan. Perusahaan dengan skor ESG tinggi lebih menguntungkan, lebih tahan terhadap guncangan, dan lebih dihargai oleh pasar. Momentum ESG bahkan memperlihatkan kapasitas prediktif yang relevan bagi investor dalam mengantisipasi kinerja jangka panjang.
Untuk konteks Indonesia, temuan ini dapat dijadikan acuan dalam merancang strategi pasar modal, kebijakan korporasi, maupun alokasi portofolio institusional. ESG tidak sepatutnya diperlakukan sebagai sekadar tren normatif, melainkan sebagai variabel strategis yang mampu memperkuat daya saing nasional dan meletakkan dasar bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Secara keseluruhan, penerapan ESG di Indonesia memiliki dasar yang kuat karena sudah tersedia infrastruktur indeks, relevansi sektor strategis, serta kapasitas investor institusional. Tantangan berikutnya adalah memperluas ketersediaan data yang konsisten dan dapat diaudit, agar investor, regulator, dan publik memiliki dasar yang objektif dalam menilai kinerja ESG perusahaan nasional.
Referensi:
Giese, G., Lee, L.-E., Melas, D., Nagy, Z., & Nishikawa, L. (2019). Foundations of ESG Investing. How ESG Affects Equity Valuation, Risk, and Performance. The Journal of Portfolio Management, 45(5).
Informasi Jasa Pratama Institute
Penerapan ESG dilaporkan dalam laporan keberlanjutan perusahaan yang wajib dibuat setiap tahunnya. Jika Anda ingin memastikan laporan keberlanjutan perusahaan Anda disusun secara profesional dan menarik, kami di Pratama Institute hadir untuk membantu Anda. Dengan pengalaman dan keahlian dalam penyusunan laporan tahunan dan/atau laporan keberlanjutan yang sesuai dengan standar terbaik, kami menghadirkan dokumen yang informatif sehingga bisa mencerminkan identitas perusahaan Anda. Hubungi kami untuk solusi laporan keberlanjutan yang ciamik!