Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Kamis, 11 September 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Disrupsi Pemberantasan Korupsi dan Urgensi Perampasan Aset

Pratama Indomitra KonsultanbyPratama Indomitra Konsultan
11 September 2025
in Liputan Media
Reading Time: 4 mins read
124 10
A A
0
153
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Kompas.id | 11 September 2025


Dwi Purwanto – Governance Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies

Gelombang unjuk rasa yang merebak di berbagai daerah dalam beberapa pekan terakhir bukanlah gerakan sporadis, melainkan akumulasi frustrasi publik yang semakin menumpuk. Isu tunjangan fantastis Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mungkin menjadi pemantik, namun hal tersebut bukanlah satu-satunya alasan. Suara di jalanan adalah ekspresi kemarahan publik terhadap elite politik yang dianggap hidup di “menara gading”, sementara rakyat harus bergulat dengan beban ekonomi yang kian berat.

Kekecewaan publik bukan semata soal tuntutan pencabutan tunjangan DPR, melainkan juga sikap abai pemerintah dalam memberantas korupsi. Di satu sisi, pemerintah gencar mengampanyekan efisiensi anggaran, bahkan menerapkan kebijakan austeritas yang menekan daya beli masyarakat. Di sisilain, praktik penyalahgunaan wewenang dan korupsi terus dibiarkan. Ironisnya, suara kritis publik kerap dihadapi dengan tindakan represif, sehingga jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan penguasa semakin melebar.

Fenomena ini dapat disebut sebagai “disrupsi” yaitu gangguan sistemik yang membuat agenda reformasi kehilangan arah. Dua dekade lalu, reformasi 1998 menuntut pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun, alih-alih menjawab tuntutan tersebut, pemberantasan korupsi justru dilemahkan melalui revisi undang-undang dan pencabutan sejumlah regulasi penting.

Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 adalah salah satu titik balik pelemahan tersebut. Perubahan itu menempatkan KPK di bawah eksekutif, membentuk Dewan Pengawas yang diangkat presiden, serta mengubah status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN). Akibatnya, independensi KPK yang dulu menjadi simbol keberanian melawan korupsi kian terkikis.

Padahal, di masa lalu, Indonesia pernah menjadi pelopor. Pada 1958, Jenderal A.H. Nasution menerbitkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Prt/Perperpu/ C.13/1958 yang mewajibkan pejabat negara melaporkan kekayaannya. Jika jumlah harta tidak seimbang dengan penghasilan resmi, maka aset tersebut bisa dirampas negara. Regulasi ini mendahului konsep illicit enrichment yang baru diperkenalkan dalam Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) pada 2003.

Fakta sejarah ini memperlihatkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki tradisi progresif, sayangnya semangat itu justru hilang di era reformasi. UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 yang menjadi payung hukum pemberantasan korupsi tidak mengatur ketentuan serupa. Ketiadaan aturan tersebut menunjukkan bagaimana tekad pemberantasan korupsi kerap pasang surut di tengah jalan.

Pelemahan serupa juga terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 28 P/HUM/2021 yang melonggarkan syarat remisi bagi narapidana korupsi. Syarat untuk menjadi justice collaborator dihapus, sehingga terpidana tetap dapat menikmati pengurangan hukuman tanpa memberi kontribusi pada pengungkapan kasus.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru justru menetapkan ancaman pidana minimum dua tahun penjara bagi pelaku korupsi. Untuk kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), ketentuan ini terbilang terlalu ringan.

Mandeknya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kian menegaskan lemahnya komitmen pemberantasan korupsi. Padahal, aturan ini penting untuk memastikan aset hasil kejahatan bisa segera dirampas negara tanpa harus menunggu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Mekanisme yang dikenal sebagai non-conviction based asset forfeiture (NCB) ini telah lama diterapkan di banyak negara. Filipina, misalnya, berhasil merampas aset miliaran dolar dari rezim Marcos dengan mekanisme NCB. Swiss dan beberapa negara Amerika Latin juga menerapkan mekanisme serupa untuk memastikan uang haram tidak kembali ke tangan koruptor. Cara tersebut memungkinkan pemulihan aset berlangsung lebih cepat, efisien, dan menyeluruh, sejalan dengan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan (Nelson & Santoso, 2021).

Ironisnya, jutaan pasang mata baru saja menyaksikan ratusan anggota DPR berjoget ria dalam penutupan Sidang Tahunan MPR dan Sidang Gabungan DPR-DPD pada 15 Agustus 2025 lalu. Panggung riuh itu seolah kontras dengan kenyataan di luar gedung parlemen, rakyat terimpit kemiskinan, daya beli rendah, lapangan kerja sulit, dan biaya hidup kian tinggi. Tontonan joget para wakil rakyat bukan hanya menunjukkan absennya empati, melainkan juga melukai hati Ibu Pertiwi. Bagaimana mungkin lembaga yang bersorak di tengah derita rakyat justru menunda instrumen hukum vital untuk memutus aliran uang haram?

Ketidakseriusan DPR mengesahkan RUU Perampasan Aset inilah yang memperlebar jurang antara elite politik dan rakyat. Alih-alih meneguhkan agenda antikorupsi, DPR justru terkesan merayakan status quo. Hal ini menunjukan wajah nyata disrupsi pemberantasan korupsi di Indonesia, hukum dibiarkan mandek, sementara simbol-simbol kemewahan dan pesta pora tampil di hadapan publik.

Rangkaian kebijakan yang melemahkan ini memperlihatkan pola yang jelas bahwa para koruptor tak lagi hanya bersembunyi di balik jabatan, tetapi juga aktif membentuk kebijakan yang melindungi diri mereka. Para koruptor paham bahwa mengubah aturan lebih efektif daripada menghadapi risiko penindakan langsung. Dalam hal ini, kondisi tersebut menunjukkan kegagalan tata kelola (governance failure), ketika hukum tak lagi berfungsi sebagai instrumen keadilan, melainkan sebagai perisai bagi kepentingan politik.

Oleh karena itu, pemerintah harus berhenti menjadikan isu korupsi sebagai komoditas politik dalam perebutan kekuasaan. Reformasi birokrasi mesti dijalankan secara konsisten, bukan sekadar slogan semata. Di saat yang sama, hak rakyat untuk menyampaikan pendapat harus dijamin sepenuhnya, bukan ditekan dengan cara represif.

Setidaknya, ada empat langkah mendesak yang perlu segera dilakukan. Pertama, memulihkan independensi KPK. Hal ini bukan sekadar perkara struktur organisasi, melainkan jaminan kelembagaan, rekrutmen yang bebas intervensi, kewenangan penyadapan yang jelas, serta akuntabilitas yang dijaga oleh publik dan peradilan. Independensi adalah syarat utama agar pencegahan dan penindakan bisa berjalan tegak.

Kedua, memperketat syarat remisi bagi narapidana korupsi. Remisi bukan hak otomatis, namun harus menjadi insentif bagi mereka yang bekerja sama substantif dengan penegak hukum, mengembalikan kerugian negara, dan menunjukkan perubahan perilaku. Syarat justice collaborator mesti dikembalikan sebagai prasyarat minimal.

Ketiga, menghidupkan kembali norma illicit enrichment. Pejabat publik harus menjelaskan asal-usul kekayaan yang tak seimbang dengan penghasilannya. Laporan LHKPN mesti ditautkan dengan risk-based audit, data perpajakan, perbankan, dan beneficial ownership. Selain itu, mekanisme pembalikan beban pembuktian dengan perlindungan hak asasi perlu diterapkan untuk mempersempit ruang gelap akumulasi kekayaan ilegal.

Keempat, segera mengesahkan RUU Perampasan Aset dengan desain kelembagaan yang kokoh. RUU itu harus memuat prosedur NCB yang jelas, standar pembuktian yang proporsional, perlindungan pihak ketiga yang beritikad baik, serta mekanisme pengelolaan aset yang transparan. Harta rampasan sebaiknya diprioritaskan untuk pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

Melalui keempat langkah strategis tersebut, diharapkan kepercayaan publik dapat dipulihkan. Sebab gelombang unjuk rasa yang terjadi adalah peringatan keras bahwa kepercayaan publik telah berada di titik nadir. Tanpa reformasi yang nyata, demokrasi Indonesia berisiko tersandera oleh oligarki. Dan ketika kepercayaan runtuh, yang hilang bukan sekadar wibawa, melainkan juga kredibilitas pemerintah di mata rakyat.


Opini ini telah tayang di Kompas,id dengan judul “Disrupsi Pemberantasan Korupsi dan Urgensi Perampasan Aset” pada tanggal 11 September 2025 melalui link berikut :
https://www.kompas.id/artikel/disrupsi-pemberantasan-korupsi-dan-urgensi-perampasan-aset?open_from=Opini_Page 

author avatar
Pratama Indomitra Konsultan
See Full Bio
Tags: KorupsiUrgensi Perampasan Aset
Share61Tweet38Send
Previous Post

Kebijakan Pajak dan Kontrak Sosial

Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Indomitra Konsultan

Related Posts

Liputan Media

Integritas yang Rapuh di Birokrasi

27 Agustus 2025
Danantara
Liputan Media

Remunerasi Berbasis Kinerja, Kunci Profesionalisme BUMN

8 Agustus 2025
Good Corporate Governance
Liputan Media

Rangkap Jabatan dan Krisis Etika di BUMN

5 Agustus 2025
Padel
Liputan Media

Menimbang Pajak Olahraga Bagi Gaya Hidup Sehat Warga

9 Juli 2025
Zakat dan Pajak
Liputan Media

Harmoni zakat dan pajak dalam spirit Ramadhan

18 Maret 2025
Pelaporan SPT
Liputan Media

Lonjakan Lapor SPT: Tren Positif atau Kepatuhan Semu?

14 Maret 2025

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1479 shares
    Share 592 Tweet 370
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    1005 shares
    Share 402 Tweet 251
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    957 shares
    Share 383 Tweet 239
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    818 shares
    Share 327 Tweet 205
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    774 shares
    Share 310 Tweet 194
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.