Kompas | 8 Juli 2025
Pengenaan pajak hiburan atas berbagai aktivitas olahraga oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memantik kontroversi. Mulai dari pusat kebugaran, yoga, bulu tangkis, hingga padel, aktivitas fisik yang lazim dijalankan warga untuk menjaga kebugaran tersebut kini dikenai tarif pajak 10 persen layaknya hiburan rekreatif.
Kebijakan tersebut berlandaskan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 dan diperinci melalui Keputusan Kepala Bapenda DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025 yang mencakup 21 jenis olahraga sebagai obyek pajak hiburan. Ketika aktivitas yang menopang gaya hidup sehat diperlakukan sebagai konsumsi mewah, publik pun bertanya: ke mana arah logika fiskal kita?
Di tengah tingginya prevalensi penyakit tidak menular dan krisis aktivitas fisik di kota-kota besar, pemajakan atas fasilitas olahraga bukanlah isu administratif semata. Ini menyangkut pula keberpihakan negara terhadap kesehatan publik.
Ketidakjelasan filosofis
Filosofi dasar pajak hiburan di banyak negara adalah mengenakan beban fiskal atas konsumsi masyarakat yang bersifat non-esensial dan cenderung rekreatif. Namun, ketika aktivitas fisik yang berorientasi pada kesehatan masyarakat turut dikategorikan sebagai obyek pajak hiburan, batas antara kebutuhan dan konsumsi rekreatif mulai kabur.
Dalam praktik internasional, terdapat pengakuan bahwa instrumen perpajakan dapat memengaruhi perilaku masyarakat. Sejumlah negara telah menggunakan pendekatan pajak untuk mempromosikan gaya hidup sehat. Umumnya aktivitas yang dikenai pajak justru yang tidak sehat.
Urszula Król (2020), dalam studi mengenai kebijakan pajak di Eropa, menyatakan bahwa meskipun secara politik tidak populer untuk ”mengenakan pajak atas ketidaksehatan”, beberapa negara telah mulai memberi insentif pajak untuk mendorong aktivitas fisik.
Artinya, jika negara-negara maju saja berhati-hati dalam memanfaatkan pajak untuk mengubah perilaku, akan lebih bijak bagi Indonesia untuk tidak secara sembrono menjadikan aktivitas olahraga sebagai obyek pajak tanpa memperhitungkan dampaknya.
Dalam kerangka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), pajak hiburan dikategorikan sebagai bagian dari Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), yang merupakan kewenangan pemerintah daerah (pemda) dalam menggali penerimaan asli daerah.
Pajak hiburan secara administratif dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota. Khusus untuk wilayah seperti DKI Jakarta yang tidak memiliki struktur kabupaten/kota, kewenangan pemungutan dilakukan langsung oleh pemerintah provinsi.
Namun, perlu ditegaskan bahwa akar persoalannya bukan semata berada di tangan pemerintah daerah. Jika hari ini pemda mengenakan pajak hiburan sebesar 10 persen atas layanan olahraga, hal itu tidak lain karena amanat eksplisit dari Pasal 55 UU HKPD.
Pasal tersebut menyatakan bahwa jasa kesenian dan hiburan yang dikenai PBJT hiburan di antaranya adalah ”olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran”. Dengan kata lain, pemda hanya menjalankan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh regulasi di tingkat pusat.
Pajak dan kesehatan
Pengenaan pajak, khususnya pada sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan kesejahteraan masyarakat, tidak selayaknya semata didasarkan pada potensi penerimaan. Salah sasasaran dalam penetapan obyek pajak bisa berujung pada distorsi perilaku yang kontraproduktif terhadap tujuan pembangunan jangka panjang.
Dalam hal ini, pajak hiburan atas aktivitas olahraga nonpremium perlu ditinjau ulang secara mendalam. Bukan karena olahraga tidak bisa menyenangkan, melainkan karena fungsi utamanya jauh lebih esensial, yaitu untuk kesehatan masyarakat.
Indonesia sedang menghadapi krisis kesehatan yang senyap namun nyata. Data dari International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan bahwa pada tahun 2021, Indonesia menempati peringkat kelima di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes, yaitu dengan 19,5 juta kasus.
Jumlah tersebut diperkirakan melonjak menjadi 28,6 juta pada tahun 2045 jika tidak ada intervensi berarti. Salah satu penyebab utamanya adalah gaya hidup sedentari masyarakat urban, yang ditandai oleh kurangnya aktivitas fisik teratur dan pola konsumsi yang buruk. Dalam situasi semacam ini, kebijakan negara seharusnya mendorong perubahan perilaku ke arah yang lebih sehat, bukan sebaliknya.
Implikasi pajak atas olahraga
Kita akui bahwa fasilitas olahraga publik di Indonesia masih sangat terbatas, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Akibatnya, masyarakat bergantung pada fasilitas olahraga komersial untuk berolahraga secara rutin.
Komunitas lari, kelas yoga di ruko, hingga sewa lapangan bulu tangkis di lingkungan permukiman atau padel di lingkungan perkantoran adalah alternatif yang muncul karena minimnya ruang terbuka yang layak. Oleh karena itu, pajak 10 persen atas layanan tersebut menjadi problematis, terutama bagi kelompok menengah dan bawah yang rentan mengurangi aktivitas olahraga saat biaya meningkat.
Penelitian oleh Steenhuis et al (2009) tentang hambatan ekonomi terhadap partisipasi olahraga menunjukkan bahwa biaya adalah faktor penghalang utama bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk tetap aktif secara fisik. Studi tersebut juga menyarankan bahwa strategi harga berupa diskon keanggotaan atau akses gratis secara berkala dapat meningkatkan partisipasi olahraga.
Fakta tersebut sejalan dengan realitas di Jakarta, di mana tarif keanggotaan pusat kebugaran atau biaya sewa lapangan sudah cukup tinggi. Pengenaan pajak hiburan akan memperlebar jurang akses terhadap gaya hidup sehat antara kelompok ekonomi atas dan bawah.
Ruang perbaikan
Dengan potensi distorsi pajak terhadap gaya hidup sehat, sejumlah langkah korektif perlu dipertimbangkan. Pertama, pemerintah daerah perlu meninjau kembali definisi ”jasa hiburan” agar tidak serta-merta mencakup aktivitas olahraga yang bersifat partisipatif dan bertujuan untuk kebugaran, seperti sewa lapangan komunitas atau kelas senam rutin. Jenis kegiatan tersebut kurang tepat bila diperlakukan setara dengan bentuk hiburan rekreatif lainnya.
Kedua, perlu dirumuskan skema pengenaan pajak yang lebih proporsional bagi penyelenggara fasilitas olahraga skala kecil dan menengah yang berperan nyata menjaga aktivitas fisik masyarakat. Bentuknya bisa berupa pembebasan atau pengurangan pajak bagi pelaku usaha yang terbukti memberi dampak sosial positif.
Ketiga, pembangunan fasilitas olahraga publik yang merata dan inklusif harus diprioritaskan. Selain memperluas akses, pemda juga bisa memperoleh pendapatan dari retribusi dengan tarif yang kompetitif dibandingkan dengan sektor swasta.
Menutup tulisan ini, penting disadari bahwa pengenaan pajak terhadap olahrafa bukan sepenuhnya keputusan pemerintah daerah. Pasal 55 Ayat (1) Huruf i UU HKPD secara eksplisit memasukkan olahraga permainan dan kebugaran sebagai obyek PBJT hiburan. Oleh karena itu, arah perbaikannya juga harus menyasar kebijakan di tingkat pusat. Di tengah epidemi gaya hidup tidak sehat dan melonjaknya angka penderita penyakit kronis, negara justru memiliki peluang untuk menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap kesejahteraan warganya. Pajak seharusnya menjadi instrumen untuk memperbaiki kualitas hidup, bukan justru mempersempit akses terhadap hidup yang lebih sehat.
*) Prianto Budi Saptono, Dosen Tetap Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA UI; Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)
Artikel ini telah tayang di Kompas dengan judul “Menimbang Pajak Olahraga Bagi Gaya Hidup Sehat Warga”, Klik selengkapnya di sini:
https://www.kompas.id/artikel/menimbang-pajak-olahraga-bagi-gaya-hidup-sehat-warga