Perpajakan atas fasilitas olahraga kini semakin beragam seiring tumbuhnya ragam aktivitas komersial di sektor ini. Dua contoh yang menarik untuk dikaji adalah padel olahraga raket yang tengah naik daun dan golf, yang telah lama menjadi simbol eksklusivitas. Meskipun keduanya melibatkan penyediaan tempat, peralatan, dan layanan bagi peserta, padel dipungut Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) oleh pemerintah daerah, sedangkan golf hanya dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh pemerintah pusat. Artikel ini akan menguraikan landasan hukum, mekanisme pemungutan, proses legislasi, serta pertimbangan teknis dan ekonomi yang membedakan kedua aktivitas olahraga tersebut dalam sistem perpajakan nasional.
Secara umum, PBJT adalah pajak daerah atas barang dan jasa tertentu yang diatur dalam Undang‑Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). UU HKPD memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota untuk memungut tarif maksimum 10 % atas “jasa hiburan,” termasuk penyewaan fasilitas olahraga.
Dasar ini kemudian ditindaklanjuti oleh masing‑masing pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Di DKI Jakarta, misalnya, Keputusan Bapenda Nomor 257 Tahun 2025 secara eksplisit mencantumkan padel sebagai salah satu objek PBJT dengan tarif 10 % atas nilai transaksi sewa lapangan atau tiket masuk.
Pertimbangan Objek Pajak
Proses masuknya olahraga padel ke dalam daftar objek PBJT tidak terjadi secara tiba‑tiba atau didasarkan pada popularitas semata. Penetapan padel sebagai objek PBJT dimulai dengan studi kelayakan oleh Bapenda, di mana data omzet lapangan, frekuensi sewa, profil pengguna, dan dampak sosial ekonomi dikumpulkan dan dianalisis. Berdasarkan hasil studi tersebut, Bapenda menyusun naskah akademik dan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang memuat daftar fasilitas olahraga yang akan dikenai pajak.
Raperda ini kemudian dibahas bersama DPRD melalui serangkaian rapat internal, konsultasi publik, dan evaluasi teknis dengan Kementerian Dalam Negeri. Setelah memperoleh persetujuan, Perda disahkan oleh Gubernur atau Walikota dan diundangkan. Dengan demikian, penetapan padel sebagai objek PBJT telah melewati “due process” legislasi pajak daerah, menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Dari sisi mekanisme, operator lapangan padel bertugas memungut PBJT 10 % dari konsumen setiap kali transaksi terjadi. Besaran pajak ini sudah termasuk dalam harga sewa lapangan atau tiket, sehingga pemain tidak perlu menghitung atau membayar terpisah, cukup melunasi tagihan sesuai invoice yang mencantumkan tarif pajak.
Selanjutnya, operator menyetorkan penerimaan pajak ke kas daerah secara periodik, umumnya setiap bulan, melalui sistem pembayaran yang terintegrasi dengan Badan Pendapatan Daerah. Pembebanan administrasi, pelaporan, dan audit sepenuhnya berada di tangan penyelenggara usaha.
Di sisi lain, golf mengikuti regulasi pusat melalui PPN. Undang‑Undang PPN dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2022 menggolongkan penyediaan tempat dan peralatan olahraga, termasuk lapangan golf sebagai Jasa Kena Pajak (JKP) dengan tarif 11 %. PMK tersebut juga secara tegas mengecualikan golf dari objek PBJT daerah untuk mencegah beban pajak berganda. Dalam praktiknya, green fee, aktivitas driving range, membership, dan pelatihan golf sudah mengakomodasi 11 % PPN sehingga peserta atau anggota hanya membayar harga inklusif PPN, sedangkan operator melaporkan dan menyetorkan ke Direktorat Jenderal Pajak.
Mengapa Regulasi Padel dan Golf Berbeda
Pertimbangan mengapa golf dikecualikan dari PBJT daerah meliputi aspek keadilan, efisiensi administrasi, dan skala pasar. Golf umumnya berjalan dalam skema klub eksklusif yang dikelola oleh badan usaha besar dengan sistem akuntansi terstandar, sehingga pemungutan PPN oleh pemerintah pusat dianggap lebih tepat dan mudah diaudit. Sebaliknya, padel tumbuh cepat di banyak lapangan komersial dan komunitas lokal, sehingga pemberian kewenangan kepada daerah memungkinkan pemungutan yang lebih responsif terhadap kondisi setempat. Dengan menjaga golf di ranah PPN, pemerintah menghindari duplikasi pungutan dan memelihara stabilitas basis pajak pusat.
Perbedaan ini menggambarkan upaya harmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah. UU HKPD mengatur bahwa objek pajak daerah tidak boleh tumpang-tindih dengan pungutan pusat, sehingga daftar PBJT harus disesuaikan dengan Daftar Objek Pajak Pusat (tercantum di PMK) dan dimasukkan ke Perda. Proses evaluasi dan revisi daftar objek PBJT juga dilakukan secara berkala biasanya setiap 3–5 tahun untuk menyesuaikan perkembangan ekonomi, masukan publik, dan kesiapan administrasi daerah. Apabila di masa depan muncul olahraga baru yang komersial dan berpotensi sebagai hiburan publik misalnya ice skating komersial, e‑sport berbayar, atau jenis fitness inovatif pemerintah daerah dapat memulai kembali serangkaian studi dan legislasi serupa sebelum menetapkannya sebagai objek PBJT.
Dengan memahami kerangka hukum, mekanisme pemungutan, dan proses legislasi, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi antara padel dan golf bukanlah keputusan sepihak atau spontan. Padel masuk PBJT daerah setelah melalui kajian potensi PAD, pembahasan Raperda, dan persetujuan DPRD serta evaluasi pusat, sementara golf tetap pada PPN pusat untuk mencegah pajak berganda dan memanfaatkan infrastruktur administrasi pusat. Model ini menyeimbangkan kebutuhan daerah akan sumber pendapatan lokal dengan konsistensi sistem perpajakan nasional yang adil dan efisien.
Dengan demikian, baik padel maupun golf serta olahraga baru lainnya di masa mendatang dapat dipajaki sesuai karakteristiknya tanpa menimbulkan beban ganda. Padel dan golf memakai dua skema pajak berbeda untuk menjaga keseimbangan fiskal. Padel dipungut PBJT oleh daerah setelah melalui proses legislasi yang jelas. Sementara Golf hanya dikenai PPN oleh pusat untuk menghindari pajak berganda. Kebijakan ini disusun agar pajak yang diterapkan sesuai karakteristik pasar dan kapasitas administrasi.