Dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan Environmental, Social, and Governance (ESG) menjadi salah satu topik paling menonjol dalam diskusi global mengenai masa depan dunia usaha. ESG tidak lagi diposisikan sebagai pelengkap, melainkan telah bertransformasi menjadi kebutuhan strategis dalam tata kelola perusahaan modern. Namun, di balik popularitasnya yang terus meningkat, tersembunyi beragam asumsi yang belum tentu sejalan dengan kenyataan di lapangan.
Transformasi ESG dari sekadar inisiatif sukarela menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi bisnis telah terjadi di berbagai belahan dunia. Mulai dari Amerika Serikat hingga Asia Tenggara, semakin banyak perusahaan menanamkan prinsip ESG dalam operasional mereka. Lonjakan aliran dana ke reksa dana bertema ESG menunjukkan dukungan investor institusional, regulator, dan opini publik terhadap pendekatan keberlanjutan. Bursa efek dan lembaga pengawas pun turut memperkuat tren ini dengan mendorong pelaporan keberlanjutan yang lebih sistematis.
Namun, di tengah antusiasme ini, muncul pertanyaan mendasar yang layak dikaji ulang. Apakah semua pihak memiliki pemahaman yang sama tentang ESG? Apakah seluruh inisiatif yang mengusung label ESG benar-benar mencerminkan prinsip keberlanjutan? Dan yang terpenting, apakah ESG menghasilkan manfaat nyata bagi perusahaan dan masyarakat luas? Berikut ini adalah sejumlah mitos yang kerap mewarnai perbincangan seputar ESG di dunia bisnis.
Mitos 1: Kita Semua Sepakat tentang Arti ESG
Salah satu mitos terbesar seputar ESG adalah anggapan bahwa istilah ini telah memiliki definisi yang disepakati bersama. Kenyataannya, tafsir terhadap ESG sangat beragam. Sebagian pihak mengartikannya sebagai alat manajemen risiko jangka panjang, sementara yang lain melihatnya sebagai ekspresi tanggung jawab moral perusahaan. Survei global menunjukkan hanya sebagian kecil perusahaan yang merasa definisi ESG sudah cukup jelas dan seragam.
Ketidakseragaman ini menimbulkan kebingungan dalam praktik. Tanpa pemahaman yang sama, sulit menyusun tolok ukur yang dapat diandalkan untuk menilai keberhasilan ESG. Akibatnya, standar implementasi menjadi tidak konsisten antar industri dan yurisdiksi.
Mitos 2: ESG Selalu Meningkatkan Nilai Perusahaan
Narasi umum yang berkembang menyebutkan bahwa ESG adalah strategi untuk “berbuat baik sambil meraih untung”. Perusahaan yang mengadopsi ESG diyakini lebih disukai oleh investor, memiliki karyawan yang lebih loyal, dan pelanggan yang lebih setia. Beberapa riset memang mendukung pandangan ini, namun hasilnya tidak seragam.
Meta-analisis terhadap ratusan studi menunjukkan bahwa hubungan antara ESG dan kinerja keuangan sangat bergantung pada konteks, mulai dari sektor industri, lokasi geografis, hingga kualitas pelaksanaan ESG itu sendiri. Dalam beberapa kasus, investasi ESG justru menambah beban biaya tanpa memberikan imbal hasil sepadan. ESG bukan jaminan keuntungan, melainkan salah satu dari sekian banyak variabel strategis yang perlu dikelola secara hati-hati.
Mitos 3: Kita Bisa Langsung Menilai Apakah Suatu Praktik Benar-benar Merupakan ESG
Tidak semua inisiatif yang diklaim sebagai bagian dari ESG mencerminkan semangat keberlanjutan. Di sinilah muncul persoalan greenwashing, perusahaan menampilkan citra hijau melalui kampanye komunikasi, tetapi tidak melakukan perubahan mendasar dalam operasional. Misalnya, perusahaan mengumumkan penggunaan bahan daur ulang, padahal tetap menjadi salah satu produsen utama limbah plastik.
Ketiadaan parameter baku membuat penilaian ESG menjadi rumit. Sering kali, inisiatif ESG sulit dibedakan dari keputusan bisnis biasa, sehingga publik kesulitan menilai mana yang otentik dan mana yang sekadar kosmetik.
Mitos 4: Agenda ESG Sudah Terstruktur dan Dikendalikan Direksi
Idealnya, arah ESG ditentukan oleh direksi melalui proses strategis dan berbasis risiko. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa banyak agenda ESG hanya bersifat reaktif terhadap tekanan eksternal. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar anggota direksi belum memahami ESG secara mendalam dan tidak memiliki kerangka kerja yang terdokumentasi.
Tanpa kepemimpinan yang jelas, ESG rentan menjadi respons jangka pendek yang dangkal. Ketiadaan kerangka yang kuat membuat inisiatif keberlanjutan kehilangan daya dorong strategis dan hanya berakhir sebagai laporan formal.
Mitos 5: Governance (G) adalah Bagian yang Sama Pentingnya dalam ESG
Komponen tata kelola (governance) sering kali dianggap setara dengan aspek lingkungan dan sosial. Padahal, peran tata kelola jauh lebih mendasar. Tata kelola merupakan sistem pengawasan dan pengendalian yang menjadi fondasi dari seluruh kebijakan ESG. Sayangnya, banyak perusahaan yang mengabaikan pilar ini. Mereka mengadopsi ESG tanpa memperkuat struktur tata kelola yang mendasarinya.
Tanpa sistem tata kelola yang solid, ESG hanya menjadi wacana. Tidak ada jaminan bahwa nilai-nilai keberlanjutan akan diwujudkan dalam keputusan bisnis sehari-hari.
Mitos 6: Peringkat ESG Adalah Ukuran yang Akurat
Banyak pihak mengandalkan peringkat ESG dari lembaga pemeringkat independen untuk menilai kualitas ESG suatu perusahaan. Namun, penelitian menunjukkan adanya perbedaan tajam antar peringkat dari lembaga yang berbeda. Dalam banyak kasus, dua lembaga dapat memberikan skor ESG yang bertolak belakang terhadap perusahaan yang sama.
Hal ini mencerminkan belum adanya standar metodologi yang seragam. Ketika sistem pemeringkatan tidak transparan dan subjektif, kredibilitasnya patut dipertanyakan. Padahal, banyak investor dan masyarakat umum sangat bergantung pada peringkat ini dalam pengambilan keputusan.
Mitos 7: Kewajiban Pengungkapan ESG Akan Menyelesaikan Segalanya
Pengungkapan ESG dianggap sebagai langkah menuju transparansi. Namun, pelaporan semata tidak menjamin pemahaman yang lebih baik. Tanpa standar pelaporan yang jelas dan sistem audit yang memadai, informasi ESG justru dapat menjadi sumber kebingungan atau bahkan disalahgunakan.
Selain itu, standar pelaporan yang terlalu kompleks dapat menjadi beban tambahan, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Oleh karena itu, kebijakan pelaporan perlu memperhatikan proporsionalitas serta efektivitas informasi yang disampaikan kepada publik.
Menuju Praktik ESG yang Lebih Bermakna
Untuk menghadapi kompleksitas ESG, perusahaan perlu beranjak dari sekadar simbolisme menuju integrasi substansial. ESG yang bermakna menuntut penguatan tata kelola, penggunaan data dan analisis risiko sebagai dasar kebijakan, serta pelibatan pemangku kepentingan secara berkelanjutan.
Lebih dari itu, dibutuhkan mekanisme evaluasi independen yang mampu mengukur efektivitas ESG secara objektif dan menyeluruh. Kerja sama antara regulator, lembaga keuangan, dan pelaku pasar sangat penting untuk membentuk ekosistem yang mendorong kualitas dan bukan sekadar kepatuhan administratif.
ESG bukanlah solusi instan atas seluruh persoalan sosial dan lingkungan. Namun, jika dijalankan dengan niat tulus, pendekatan berbasis bukti, serta tata kelola yang kokoh, ESG tetap merupakan jalan strategis menuju dunia usaha yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.