Di tengah meningkatnya perhatian global terhadap keberlanjutan, Indonesia akhirnya memiliki standar nasional yang dapat menjadi fondasi pelaporan keberlanjutan di dalam negeri. Melalui Dewan Standar Keberlanjutan Ikatan Akuntan Indonesia (DSK IAI), PSPK 1: Persyaratan Umum Pengungkapan Informasi Keuangan Terkait Keberlanjutan resmi disahkan pada Juli 2025 dan mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2027. Artinya, pengungkapan berdasarkan standar ini mencerminkan informasi keberlanjutan untuk periode tahun 2027 dan akan mulai diterbitkan dalam laporan keberlanjutan tahun 2028.
Kehadiran PSPK 1 bukan sekadar penyesuaian teknis, melainkan langkah strategis untuk memperkuat kredibilitas informasi keberlanjutan yang disampaikan oleh entitas Indonesia, baik di dalam negeri maupun di mata investor global. Selama ini, pelaku usaha di Indonesia banyak merujuk ke standar internasional seperti GRI Standards, SASB, maupun kerangka TCFD secara sukarela. Namun tanpa standar nasional yang tegas, pelaporan informasi keberlanjutan cenderung terfragmentasi dan tidak sebanding antara satu perusahaan dengan lainnya.
PSPK 1 menjawab kekosongan tersebut dengan membangun kerangka umum yang dapat diterapkan secara konsisten dan sejalan dengan standar global yaitu IFRS S1: General Requirements for Disclosure of Sustainability-related Financial Information yang diterbitkan oleh International Sustainability Standards Board (ISSB) dan berlaku efektif secara internasional mulai 1 Januari 2024. Standar ini bersifat principal-based, mendorong perusahaan untuk menyampaikan informasi yang benar-benar material, relevan, dan berdampak terhadap pengambilan keputusan pengguna laporan.
Isi Utama dan Perbedaan dengan IFRS S1
PSPK 1 mencakup landasan konseptual, persyaratan umum pengungkapan, serta pertimbangan terhadap ketidakpastian dan kesalahan dalam pengungkapan keberlanjutan. Struktur pengungkapan dalam PSPK 1 mengarahkan perusahaan untuk menyusun informasi dalam empat konten inti yaitu tata kelola, strategi, manajemen risiko, serta metrik dan target. Empat konten ini membentuk kerangka yang mendukung integrasi antara isu keberlanjutan dan informasi keuangan utama perusahaan.
Meski merujuk pada substansi IFRS S1, PSPK 1 memiliki sejumlah perbedaan penting yang menyesuaikan dengan konteks regulasi nasional. Beberapa penyesuaian tersebut antara lain:
- IFRS S1 Paragraf 64(a) – Dalam PSPK 1, waktu pelaporan dijelaskan secara tambahan bahwa pelaporan “pada saat yang sama” dilakukan paling lambat saat laporan tahunan entitas diterbitkan sesuai dengan ketentuan hukum nasional yang berlaku.
- IFRS S1 Paragraf E01 – Tanggal efektif dalam IFRS S1 mengacu pada 1 Januari 2024, sedangkan dalam PSPK 1 berlaku efektif mulai 1 Januari 2027, dengan opsi penerapan dini diperbolehkan.
- IFRS S1 Paragraf E04–E06 – Ketentuan transisi untuk pengungkapan risiko dan peluang terkait keberlanjutan non-iklim (beyond climate) diatur berbeda dalam PSPK 1, menyesuaikan tahapan kesiapan pelaporan nasional.
Melalui penyesuaian ini, PSPK 1 mempertahankan kompatibilitas substansi dengan IFRS S1, namun tetap mempertimbangkan karakteristik hukum, tata kelola, dan praktik pelaporan entitas di Indonesia.
Menyongsong Transformasi Pelaporan
Tujuan utama PSPK 1 bukan hanya memenuhi kewajiban pelaporan, tetapi membangun kepercayaan. Informasi yang disampaikan diharapkan menjadi dasar pengambilan keputusan oleh investor, kreditor, pemegang saham, serta regulator. Selain perusahaan terbuka, PSPK 1 juga membuka peluang adopsi sukarela bagi entitas lain yang ingin menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan dan menarik pendanaan.
Dengan mulai berlakunya PSPK 1 untuk periode pelaporan 2027, perusahaan memiliki waktu yang cukup untuk membangun sistem dan kapasitas internal. Namun, tantangan utamanya justru terletak pada kesiapan data dan kolaborasi lintas fungsi. PSPK 1 mendorong integrasi isu keberlanjutan ke dalam proses bisnis, bukan sekadar laporan tambahan.
Penerapan PSPK 1 juga membuka ruang bagi profesi akuntan dan auditor untuk memperluas peran mereka dalam memberikan penjaminan (assurance) atas informasi keberlanjutan. Dengan adanya standar nasional yang resmi, proses penjaminan kini dapat dilakukan dengan acuan yang jelas dan seragam, bukan hanya berdasarkan pendekatan sukarela atau standar asing. Langkah ini juga sejalan dengan hadirnya standar internasional ISSA 5000 dari IAASB, yang akan menjadi kerangka kerja global untuk assurance atas pelaporan keberlanjutan.
Lebih dari sekadar dokumen teknis, PSPK 1 adalah simbol kesiapan Indonesia untuk memainkan peran aktif dalam tata kelola keberlanjutan global. Standar ini menjadi awal dari serangkaian PSPK lainnya yang disiapkan oleh DSK IAI, termasuk PSPK 2 yang akan secara khusus membahas pengungkapan risiko dan peluang terkait iklim.