Dalam tiga tahun terakhir, pelaporan keberlanjutan di Indonesia mengalami lonjakan signifikan, baik dari sisi jumlah maupun bentuk penyampaian. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah emiten yang menyampaikan laporan keberlanjutan meningkat drastis, dari 505 emiten pada 2022, menjadi 724 emiten pada 2023, dan mencapai 917 emiten pada 2024. Ini mencerminkan peningkatan hampir dua kali lipat dalam kurun waktu dua tahun, yang menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak lagi dianggap sekadar kewajiban, tetapi mulai diposisikan sebagai bagian dari strategi perusahaan.
Namun, meski jumlahnya naik, jenis penyampaian laporan mengalami dinamika menarik. Pada 2022, laporan terpisah mendominasi (257 emiten), menunjukkan banyak perusahaan memandang keberlanjutan sebagai entitas tersendiri yang perlu difokuskan. Tapi di 2023, hampir seluruh emiten (714 dari 724) memilih menyisipkan informasi keberlanjutan ke dalam laporan tahunan, kemungkinan besar karena efisiensi dan alasan regulasi. Namun, tren berbalik pada 2024. Jumlah laporan keberlanjutan terpisah meningkat menjadi 134. Ini bisa diartikan sebagai sinyal bahwa perusahaan mulai serius mengungkapkan informasi keberlanjutan secara terpisah dan komprehensif..
Perkembangan Pelaporan Keberlanjutan Emiten 2022–2024
Uraian | Jumlah |
Laporan Keberlanjutan 2024 | |
Emiten menyampaikan Informasi Keberlanjutan | 917 |
Emiten tidak menyampaikan Informasi Keberlanjutan | 78 |
Informasi Keberlanjutan disampaikan dalam Laporan Tahunan (Annual Report) | 783 |
Informasi Keberlanjutan disampaikan secara terpisah dalam Sustainability Report | 134 |
Laporan Keberlanjutan 2023 | |
Emiten menyampaikan Informasi Keberlanjutan | 724 |
Emiten tidak menyampaikan Informasi Keberlanjutan | 294 |
Informasi Keberlanjutan disampaikan dalam Laporan Tahunan (Annual Report) | 714 |
Informasi Keberlanjutan disampaikan secara terpisah dalam Sustainability Report | 10 |
Laporan Keberlanjutan 2022 | |
Emiten menyampaikan Informasi Keberlanjutan | 505 |
Emiten tidak menyampaikan Informasi Keberlanjutan | 50 |
Informasi Keberlanjutan disampaikan dalam Laporan Tahunan (Annual Report) | 248 |
Informasi Keberlanjutan disampaikan secara terpisah dalam Sustainability Report | 257 |
Sumber: OJK, 2024
Kenaikan pelaporan keberlanjutan juga sejalan dengan semakin menguatnya tekanan global terhadap isu ESG (Environmental, Social, Governance), tuntutan investor, serta komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.
Pengungkapan Kinerja LST
Peningkatan jumlah laporan bukan berarti peningkatan kualitas secara otomatis. Karena itu, penting untuk melihat isi laporan, aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola seperti apa yang dilaporkan oleh perusahaan. Dari aspek lingkungan, sebagian besar emiten melaporkan konsumsi energi (90,5%), efisiensi energi (84,2%), serta intensitas energi (70,3%). Bahkan, mayoritas telah menggunakan satuan internasional (Joule) dalam pelaporan (83,6%). Selain itu, pengungkapan terkait penggunaan air dan efisiensi air juga relatif tinggi, masing-masing sebesar 81% dan 71,1%. Ini menunjukkan adanya pergeseran dari pelaporan berbasis narasi menuju pelaporan berbasis data kuantitatif.
Cakupan Pengungkapan Kinerja Lingkungan oleh Emiten
Kinerja Lingkungan |
Cakupan (%) |
Energi | |
Total Penggunaan Energi | 90.5% |
Intensitas Energi | 70.3% |
Penggunaan Satuan Unit Joule | 83.6% |
Efisiensi Energi | 84.2% |
Air |
|
Water Used | 81% |
Water Efficiency | 71.1% |
Eco-Friendly Materials | 72.1% |
Sumber: OJK, 2024
Data ini mengindikasikan bahwa perusahaan mulai menyadari pentingnya data lingkungan sebagai bukti konkret dalam menyampaikan kinerja keberlanjutan. Dari sisi sosial, kualitas pengungkapan juga cukup baik. Aspek seperti kesempatan kerja setara, larangan pekerja anak, serta lingkungan kerja yang layak dan aman dilaporkan oleh lebih dari 94% emiten. Namun, beberapa area seperti perlindungan konsumen (64,8%) dan mekanisme keluhan publik (79,6%) masih tertinggal, menunjukkan bahwa dimensi tanggung jawab sosial kepada pelanggan belum menjadi fokus utama semua perusahaan.
Cakupan Pengungkapan Kinerja Sosial oleh Emiten
Kinerja Sosial | Cakupan (%) |
Ketenagakerjaan | |
Kesetaraan Kesempatan Bekerja & Pekerja Anak | 94.3% |
Upah Minimum Regional | 81.2% |
Lingkungan Kerja yang Layak dan Aman | 94.7% |
Pelatihan dan Pengembangan Karyawan | 89.7% |
Komunitas & Konsumen | |
Dampak Operasional terhadap Komunitas | 78.2% |
Mekanisme Keluhan Konsumen dan Publik | 79.6% |
Pemberdayaan Masyarakat | 80.4% |
Perlindungan dan Keamanan Konsumen | 64.8% |
Sumber: OJK, 2024
Emisi dan Risiko Iklim
Aspek paling menantang dalam pelaporan keberlanjutan adalah pengungkapan emisi karbon, terutama Scope 3 yakni emisi tidak langsung dari aktivitas di luar kendali langsung perusahaan seperti perjalanan dinas menggunakan pesawat terbang. Data OJK menunjukkan bahwa pada 2022, baru 47,9% emiten yang mengungkapkan emisi karbon secara terbuka.
Namun, di antara 50 emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar, terjadi peningkatan tajam yaitu 93% mengungkapkan emisi scope 1 dan 2 pada 2024 (naik dari 84% di 2023). Pengungkapan scope 3 juga naik dari 20% menjadi 28%. Ini penting karena pengungkapan scope 3 mulai dijadikan dasar penilaian dalam skenario Climate Risk Stress Testing (CRST) sektor perbankan, seiring implementasi Climate Risk Management & Scenario (CRMS) oleh OJK dan lembaga keuangan.
Pengungkapan Emisi oleh 50 Emiten Terbesar
Tahun | Scope 1 & Scope 2
(%) |
Scope 3
(%) |
2024 | 93% | 28%
|
2023 | 84% | 20% |
Sumber: OJK, 2024
Namun, OJK juga mencatat beberapa kendala serius, seperti belum banyak tenaga ahli yang mampu menghitung dan memverifikasi emisi scope 3 secara akurat, ketersediaan data dari mitra bisnis juga terbatas, dan belum semua sektor memiliki baseline risiko iklim yang mapan. Ini mengindikasikan kebutuhan besar terhadap peningkatan kapasitas nasional, baik dari sisi SDM, sistem pelaporan, maupun pemanfaatan teknologi.
Laporan keberlanjutan kini tidak lagi sekadar pemenuhan kewajiban regulasi. Data OJK 2024 menunjukkan bahwa perusahaan mulai memahami bahwa kualitas pelaporan dapat menjadi pembeda di mata investor, regulator, dan masyarakat. Namun, tantangan tetap besar seperti penguatan kapasitas, peningkatan kualitas data, dan adopsi standar internasional seperti IFRS S1/S2, GRI, SASB, atau TCFD masih harus terus dikejar.
Kunci ke depan adalah materialitas yakni memastikan bahwa yang dilaporkan benar-benar mencerminkan isu utama yang relevan dengan model bisnis perusahaan, bukan sekadar daftar panjang kepatuhan. Karena hanya dengan pelaporan yang relevan, dapat dipercaya, dan terverifikasi, laporan keberlanjutan bisa menjadi alat strategis untuk membangun kepercayaan dan keberlanjutan jangka panjang.