Isu keberlanjutan telah menjadi arus utama dalam lanskap bisnis global. Perusahaan tidak lagi dinilai hanya dari kinerja keuangan, tetapi juga dari sejauh mana mereka mampu menjalankan tanggung jawab terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik. Konsep ini dikenal dengan istilah Environmental, Social, and Governance (ESG), yang kini menjadi pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan oleh investor, konsumen, hingga regulator.
Penerapan prinsip ESG tidak hanya bersifat sukarela. Banyak perusahaan kini mulai mengejar sertifikasi ESG dari lembaga pemeringkat independen seperti Bloomberg, MSCI, atau Sustainalytics sebagai bentuk komitmen terhadap praktik bisnis berkelanjutan. Sertifikasi ini menjadi bukti nyata bahwa perusahaan telah memenuhi sejumlah standar dalam pengelolaan risiko lingkungan, relasi sosial, hingga tata kelola perusahaan.
Pertanyaannya, apakah sertifikasi ESG sekadar simbol atau benar-benar berdampak terhadap nilai perusahaan? Indikasi pasar menunjukkan bahwa perusahaan yang memperoleh sertifikasi ESG justru mendapat respons positif dari investor. Pasar cenderung menilai perusahaan-perusahaan ini lebih andal, lebih siap menghadapi risiko jangka panjang, dan memiliki fondasi tata kelola yang kuat.
Salah satu indikator utama dalam menilai nilai perusahaan adalah biaya modal, yakni beban yang harus ditanggung perusahaan untuk memperoleh pendanaan. Biaya ini mencerminkan kepercayaan investor terhadap prospek dan risiko yang dimiliki perusahaan. Ketika perusahaan memperoleh sertifikasi ESG, biaya modal mereka cenderung menurun. Artinya, perusahaan dinilai lebih layak didanai dengan tingkat imbal hasil yang lebih rendah. Penurunan ini utamanya terjadi pada biaya ekuitas, bukan utang, yang memperlihatkan bahwa kepercayaan pasar saham terhadap perusahaan meningkat.
Tidak hanya itu, valuasi pasar perusahaan yang dapat diukur melalui rasio Tobin’s Q juga mengalami peningkatan setelah memperoleh sertifikasi ESG. Rasio ini membandingkan nilai pasar dengan nilai buku perusahaan. Kenaikan rasio menunjukkan bahwa pasar memberikan premi atau penilaian tambahan terhadap prospek masa depan perusahaan yang dinilai mampu mengelola keberlanjutan dengan baik.
Hal menarik lainnya, keberadaan sertifikasi ESG itu sendiri sudah cukup untuk memberi pengaruh positif terhadap persepsi pasar, tanpa harus melihat seberapa tinggi skor ESG yang diperoleh. Hal ini menandakan bahwa transparansi dan keterbukaan terhadap penilaian eksternal menjadi faktor penting dalam membangun kepercayaan. Di pasar negara berkembang, seperti Malaysia atau Indonesia, hal ini menjadi sangat relevan mengingat masih terbatasnya akses investor terhadap informasi mendalam tentang tata kelola dan praktik keberlanjutan perusahaan.
Implikasi dari kecenderungan ini cukup jelas. Bagi perusahaan, sertifikasi ESG dapat menjadi strategi bisnis yang tidak hanya berdampak pada reputasi, tetapi juga mendukung efisiensi pendanaan, memperkuat posisi kompetitif, dan membuka peluang investasi dari institusi keuangan global yang semakin selektif terhadap aspek keberlanjutan. Komitmen terhadap ESG juga menjadi sinyal yang kuat bagi konsumen, mitra usaha, dan tenaga kerja tentang arah dan nilai yang dianut perusahaan.
Sementara itu, bagi otoritas dan pembuat kebijakan, tren ini seharusnya menjadi landasan untuk memperkuat regulasi dan infrastruktur pengungkapan ESG di pasar domestik. Dorongan terhadap keterbukaan informasi, sertifikasi independen, dan insentif bagi perusahaan yang patuh pada standar ESG akan memperkuat arsitektur keberlanjutan nasional.
Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa pasar modal semakin memberi penghargaan kepada perusahaan yang serius dalam mengelola risiko nonfinansial. Indonesia, dengan struktur ekonomi dan karakteristik pasar yang mirip dengan Malaysia, dapat mengambil pelajaran dari tren ini untuk memperkuat integrasi ESG ke dalam sistem bisnis dan keuangan nasional.
Dengan demikian, sertifikasi ESG bukanlah sekadar formalitas. Sertifikat tersebut terbukti memiliki daya pengaruh terhadap persepsi pasar, menurunkan biaya modal, dan meningkatkan nilai perusahaan. ESG bukan hanya menjawab tuntutan moral dan sosial, tetapi juga menjadi strategi bisnis yang cerdas dalam menghadapi tantangan ekonomi jangka panjang. Perusahaan yang mampu membaca arah perubahan ini dan bersikap adaptif akan berada selangkah lebih maju dalam kompetisi global yang semakin mengedepankan keberlanjutan.