Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Kamis, 21 Agustus 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Rangkap Jabatan dan Krisis Etika di BUMN

Pratama Indomitra KonsultanbyPratama Indomitra Konsultan
5 Agustus 2025
in Liputan Media
Reading Time: 3 mins read
125 9
A A
0
Good Corporate Governance
153
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Bisnis Indonesia | 5 Agustus 2025


Dwi Purwanto – Governance Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies

Belum genap setahun menjabat, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, perhatian tertuju pada temuan bahwa 30 dari total 55 wakil menteri merangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Praktik rangkap jabatan ini menegaskan bahwa pemerintah masih mengabaikan situasi konflik kepentingan.

Selain itu, kondisi ini tidak hanya bersinggungan dengan permasalahan etika, tetapi juga bertolak belakang dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG). BUMN menuntut profesionalisme dan dedikasi para pengelolanya, termasuk instrumen pengawas. Ketika pengawasan dilakukan oleh pejabat yang merangkap jabatan, maka efektivitas dan independensi fungsi tersebut patut dipertanyakan.

Fenomena rangkap jabatan sebenarnya bukanlah hal baru di BUMN. Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2023 mencatat dari 263 komisaris dan dewan pengawas BUMN, sebanyak 53,9 persen terindikasi merangkap jabatan. Beberapa bahkan memegang lebih dari dua posisi. Termasuk di dalamnya, empat wakil menteri yang menjabat sebagai komisaris di perusahaan pelat merah.

Padahal, sejumlah regulasi telah secara tegas melarang praktik tersebut. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik melarang pelaksana pelayanan publik merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha. Ketentuan serupa juga tertuang dalam Pasal 27B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang diperkuat dalam putusan MK Nomor 21/PUU-XXIII/2025 bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa wakil menteri dilarang rangkap jabatan pada perusahaan negara atau swasta.

Ironisnya, celah justru dibuka melalui Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023 yang memperbolehkan rangkap jabatan selama kehadiran dalam rapat dewan komisaris mencapai 75 persen. Ketentuan ini bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiori, di mana peraturan yang derajat hirarkinya lebih rendah, maka harus mengacu pada aturan hukum di atasnya. Alih-alih memperkuat GCG, regulasi ini justru memberi pembenaran terhadap pelanggaran etik.

Dampak rangkap jabatan pun tidak dapat dipandang remeh. Salah satu risiko utamanya adalah konflik kepentingan. Seorang wakil menteri bertugas sebagai regulator, tetapi saat menjabat sebagai komisaris, ia juga mengawasi perusahaan yang berorientasi pada laba. Dua peran ini berisiko mengganggu objektivitas pengambilan keputusan, serta membuka ruang penyalahgunaan wewenang.

Lebih dari itu, praktik ini melanggar prinsip GCG, khususnya prinsip independensi. Komisaris idealnya menjalankan pengawasan secara profesional tanpa konflik kepentingan dan bebas dari pengaruh pihak manapun. Jika posisi tersebut diisi oleh wakil menteri, independensi yang menjadi fondasi pengawasan akan terkikis.

Rangkap jabatan juga menimbulkan diskriminatif antar birokrat. Wakil menteri yang merangkap sebagai komisaris memperoleh dua sumber pendapatan, yaitu dari BUMN dan dan dari instansi negara tempat ia berasal. Situasi ini menimbulkan kecemburuan sosial, menciderai rasa keadilan, dan bertentangan dengan semangat meritokrasi.

Dari aspek kinerja, jabatan wakil menteri sendiri sudah menuntut penanganan khusus. Sementara itu, posisi komisaris memerlukan keterlibatan aktif dalam merumuskan strategi dan mengevaluasi kinerja perusahaan. Ketidakseimbangan ini dapat melemahkan pengawasan dan berdampak pada kualitas penerapan GCG di BUMN.

Lebih jauh lagi, rangkap jabatan juga berdampak pada lemahnya pengawasan di BUMN. Data ICW menunjukkan, sepanjang 2016-2023, terjadi 212 kasus korupsi di BUMN dengan kerugian negara mencapai Rp64 triliun. Sebanyak 349 pejabat BUMN ditetapkan sebagai tersangka, termasuk 84 direktur, 124 manajer, dan 129 staf. Meskipun banyak faktor yang melatarbelakanginya, namun pengawasan komisaris mestinya bisa meminimalisir praktik korupsi di BUMN.

Oleh karena itu, kondisi ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Pemerintah harus segera mengambil langkah tegas untuk menghentikan praktik rangkap jabatan dan memperkuat etika jabatan dalam pengelolaan BUMN. Setidaknya, ada tiga langkah yang perlu segera diambil.

Pertama, kompleksitas dan tumpang tindih aturan mengenai rangkap jabatan, perlu segera diharmonisasi dengan menerbitkan Peraturan Presiden sebagai acuan tunggal yang mengatur praktik rangkap jabatan. Kedua, proses rekrutmen komisaris di BUMN harus dilakukan secara transparan, berbasis kompetensi, dan bebas dari kepentingan politik.

Ketiga, Mahkamah Konstitusi perlu menegaskan kembali larangan bagi menteri dan wakil menteri merangkap sebagai komisaris di BUMN. Penegasan tersebut sebaiknya dituangkan secara eksplisit dalam revisi Undang-Undang Kementerian Negara, khususnya pada Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008.

Melalui tiga langkah strategis tersebut, diharapkan praktik rangkap jabatan tidak lagi dianggap lumrah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebab, rangkap jabatan tidak hanya mengancam integritas, tetapi juga bertentangan dengan prinsip GCG. Sudah saatnya pemerintah bertindak tegas sebelum kepercayaan publik benar-benar goyah.


Opini ini telah tayang di laman Bisnis Indonesia dengan judul “Rangkap Jabatan dan Krisis Etika di BUMN” pada tanggal 5 Agustus 2025. Baca selengkapnya :

https://koran.bisnis.com/read/20250805/251/1899293/opini-rangkap-jabatan-dan-krisis-etika-di-bumn

author avatar
Pratama Indomitra Konsultan
See Full Bio
Tags: BUMNRangkap JabatanTata kelola BUMN
Share61Tweet38Send
Previous Post

Menjadikan ESG Pilar Strategi, Bukan Sekadar Formalitas

Next Post

Merindukan Kembalinya Keotentikan Penulis

Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Indomitra Konsultan

Related Posts

Danantara
Liputan Media

Remunerasi Berbasis Kinerja, Kunci Profesionalisme BUMN

8 Agustus 2025
Padel
Liputan Media

Menimbang Pajak Olahraga Bagi Gaya Hidup Sehat Warga

9 Juli 2025
Zakat dan Pajak
Liputan Media

Harmoni zakat dan pajak dalam spirit Ramadhan

18 Maret 2025
Pelaporan SPT
Liputan Media

Lonjakan Lapor SPT: Tren Positif atau Kepatuhan Semu?

14 Maret 2025
Danantara
Liputan Media

Danantara dan Mimpi yang Tertunda

5 Maret 2025
Tax Buoyancy
Liputan Media

Pelemahan Daya Respons Penerimaan Pajak

19 Februari 2025
Next Post
Sumber: Dokumentasi internal

Merindukan Kembalinya Keotentikan Penulis

Danantara

Remunerasi Berbasis Kinerja, Kunci Profesionalisme BUMN

#image_title

Perusahaan Dapat Memulai Penerapan ESG dari Hal Kecil

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1478 shares
    Share 591 Tweet 370
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    1002 shares
    Share 401 Tweet 251
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    956 shares
    Share 382 Tweet 239
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    813 shares
    Share 325 Tweet 203
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    771 shares
    Share 308 Tweet 193
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.