Investor Daily | 8 Agustus 2025
Dwi Purwanto – Governance Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) resmi mereformasi skema remunerasi bagi Direksi dan Dewan Komisaris BUMN serta anak usaha yang berada dalam portofolionya. Insentif bagi Direksi sepenuhnya akan berbasis pada kinerja operasional perusahaan. Sementara tantiem atau bonus berbasis kinerja bagi Dewan Komisaris dihapuskan. Larangan tersebut disampaikan oleh CEO BPI Danantara Rosan Roeslani dalam surat Nomor S-063/DI-BP/VII/2025 tertanggal 30 Juli 2025.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya pembenahan menyeluruh terhadap Good Corporate Governance (GCG) dan sistem penghargaan dalam struktur BUMN. Tujuannya adalah menjaga integritas BUMN serta memastikan kepentingan stakeholders tetap terjaga. Dalam surat tersebut, BPI Danantara menegaskan bahwa anggota Dewan Komisaris BUMN dan anak usahanya tidak boleh menerima bentuk remunerasi tambahan apa pun yang dikaitkan dengan kinerja perusahaan.
Sebaliknya, bagi jajaran Direksi, pemberian insentif atau tantiem masih dimungkinkan, asalkan berbasis pada laporan keuangan yang akurat dan mencerminkan kegiatan usaha yang berkelanjutan. Namun, BPI Danantara mengingatkan bahwa remunerasi tersebut tidak boleh berasal dari manipulasi laporan keuangan, seperti pengakuan pendapatan secara prematur atau penyembunyian beban demi memperbesar laba perusahaan.
Meskipun bertujuan menegakkan prinsip-prinsip GCG, kebijakan ini justru menuai pro-kontra di berbagai kalangan. Sebagian pihak menyambut positif langkah tersebut sebagai upaya memperkuat independensi dan mencegah konflik kepentingan. Namun, tidak sedikit yang mengkhawatirkan dampaknya terhadap kemampuan mempertahankan best talent serta efektivitas pengawasan oleh Dewan Komisaris.
Larangan insentif memang dapat dilihat sebagai upaya memperkuat independensi dan mencegah konflik kepentingan. Namun, imbauan semata bukanlah solusi jangka panjang. Yang lebih dibutuhkan adalah reformasi sistem remunerasi secara menyeluruh, yakni skema remunerasi yang adil, transparan, dan berbasis kinerja. Dengan begitu, Dewan Komisaris tidak hanya termotivasi oleh insentif finansial semata, tetapi juga terdorong untuk menjalankan fungsi pengawasan secara profesional dan bertanggung jawab.
Isu remunerasi sebenarnya bukan hal baru di BUMN. Skema remunerasi bagi Direksi dan Dewan Komisaris kerap tidak transparan, tidak adil, dan tidak berbasis kinerja. Akibatnya, Direksi dan Dewan Komisaris tetap menerima bonus dan kenaikan remunerasi setiap tahun meski target kinerja tidak tercapai. Praktik ini mencederai rasa keadilan dan merusak kepercayaan publik terhadap perusahaan pelat merah tersebut.
Dalam konteks ini, kebijakan BPI Danantara dapat dibaca sebagai upaya untuk membatasi insentif ganda yang tidak proporsional, terutama bagi pejabat publik yang merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris di BUMN dan anak usahanya. Rangkap jabatan tersebut tidak hanya melemahkan fungsi pengawasan, tetapi juga berdampak pada kualitas penerapan GCG di BUMN.
Namun, larangan terhadap pemberian tantiem dan insentif bagi Dewan Komisaris bukan tanpa kelemahan. Sejumlah penelitian menegaskan bahwa remunerasi Direksi dan Dewan Komisaris merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung kinerja (Kakabadse, 2010; Garratt, 2015). Selain itu, remunerasi yang memadai menjadi kunci untuk menarik profesional kelas dunia agar bersedia duduk di jajaran Direksi dan Dewan Komisaris BUMN (Tricker, 2015).
Sementara itu, penelitian Tjoe dan Sari (2017) menemukan bahwa Dewan Komisaris aktif menilai sistem remunerasi yang berlaku di BUMN belum mencerminkan keadilan. Sebab, Dewan Komisaris yang rajin menghadiri rapat dan menjalankan fungsi pengawasan secara aktif menerima remunerasi yang sama dengan Dewan Komisaris yang pasif. Kondisi ini bukan saja menggerus semangat kerja, tetapi juga menurunkan kualitas keputusan strategis.
Selain itu, sistem remunerasi yang tidak berbasis kinerja berpotensi memicu konflik kepentingan di dalam komite remunerasi. Sebab, posisi ketua komite remunerasi harus berasal dari anggota Dewan Komisaris. Dalam hal ini keputusan menaikkan gaji atau memberi bonus kepada Direksi kerap berujung pada usulan kenaikan setiap tahun, meski target kinerja tidak tercapai. Sebab, besaran remunerasi Dewan Komisaris terkait langsung dengan remunerasi Direksi. Artinya, setiap kali remunerasi Direksi naik, otomatis remunerasi Dewan Komisaris ikut naik juga.
Ketentuan mengenai remunerasi bagi Dewan Komisaris tersebut diatur dalam Pasal 83 dan Pasal 106 Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023. Dalam regulasi tersebut ditegaskan bahwa komisaris utama menerima honorarium, tantiem, dan insentif sebesar 45 persen dari yang diterima Direktur Utama. Wakil komisaris menerima sebesar 42,5 persen dari Direktur Utama, sedangkan anggota Dewan Komisaris menerima sebesar 90 persen dari komisaris utama.
Kondisi ini menunjukkan perlunya reformasi menyeluruh pada sistem remunerasi. Bukan hanya sekadar larangan atau imbauan, tetapi membangun skema remunerasi yang adil, transparan, dan berbasis kinerja. Penelitian CIMA, PWC, dan Radley Yeldar (2007) menegaskan bahwa skema remunerasi yang baik bagi Direksi dan Dewan Komisaris adalah pembayaran berbasis kinerja yang memberi penghargaan atas efisiensi, kreativitas, berbagi pengetahuan, dan kerja sama tim.
Sejumlah negara telah menerapkan model serupa. Di Inggris, remunerasi bagi Direksi dan Dewan Komisaris menggabungkan gaji pokok dengan bonus yang didasarkan pada pencapaian kinerja. Sementara itu, di Selandia Baru, besaran remunerasi ditentukan berdasarkan klasifikasi perusahaan serta kompleksitas beban kerja dan tanggung jawab masing-masing posisi. Selain itu, indikator atau metrik yang digunakan untuk mengukur kinerja dijelaskan secara rinci. Kedua model tersebut mampu menjaga profesionalisme, transparansi, serta meningkatkan daya tarik posisi Dewan Komisaris.
Indonesia dapat menjadikan praktik dari Inggris dan Selandia Baru sebagai acuan dalam merancang sistem remunerasi yang lebih profesional dan akuntabel. Kebijakan BPI Danantara seharusnya dimanfaatkan sebagai momentum untuk merombak formula remunerasi Direksi dan Dewan Komisaris agar selaras dengan semangat reformasi tata kelola di BUMN.
Oleh karena itu, pemerintah perlu meninjau kembali ketentuan mengenai remunerasi bagi Direksi dan Dewan Komisaris yang tercantum dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023. Meskipun peraturan tersebut telah mengarah pada sistem yang menjunjung asas keadilan, transparansi, dan berbasis kinerja, namun masih diperlukan penjabaran yang lebih rinci terkait indikator atau metrik kinerja yang objektif dan terukur. Di samping itu, penguatan mekanisme pengawasan dan pelaporan kepada publik juga menjadi prasyarat penting agar asas tersebut benar-benar terwujud dalam praktik.
Sudah saatnya skema remunerasi Direksi dan Dewan Komisaris BUMN mencerminkan asas keadilan, transparansi, dan berbasis kinerja. Sebab, sistem remunerasi yang baik tidak hanya mampu menarik profesional kelas dunia, tetapi juga memotivasi mereka memberikan kinerja terbaik. Lebih dari itu, remunerasi yang tepat akan mempertahankan best talent yang dibutuhkan BUMN untuk menjaga profesionalisme dan memperkuat keunggulan kompetitif secara berkelanjutan
Opini ini telah tayang di laman Investor Daily dengan judul “Remunerasi Berbasis Kinerja, Kunci Profesionalisme BUMN” pada tanggal 8 Agustus 2025