Di tengah ketidakpastian ekonomi global, emas kembali menunjukkan daya tariknya sebagai penjaga nilai yang nyaris tak tergantikan. Harga yang terus merangkak naik sejak awal tahun 2025 lalu, justru tidak menyurutkan minat publik, baik individu maupun lembaga, untuk menjadikan emas sebagai instrumen lindung nilai terhadap inflasi dan gejolak pasar. Saat ini, emas tidak lagi terbatas pada bentuk fisik konvensional; perdagangan emas digital berkembang pesat, dan data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menunjukkan nilai transaksi emas fisik digital pada Januari s.d. September 2024 mencapai Rp41,3 triliun, atau melonjak lebih dari sebelas kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini mencerminkan perubahan perilaku investor sekaligus menegaskan bahwa pasar emas, baik fisik maupun digital, kini menjadi bagian penting dari ekosistem keuangan nasional.
Perkembangan pesat ini direspons pemerintah melalui pembenahan regulasi. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) memberikan landasan hukum bagi penguatan sektor keuangan, termasuk kegiatan usaha bulion. Menindaklanjuti amanat tersebut, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan Peraturan OJK Nomor 17 Tahun 2024 yang mengatur penyelenggaraan kegiatan usaha bulion, mulai dari simpanan emas, pembiayaan, perdagangan, penitipan, hingga layanan lain yang relevan. Kerangka regulasi ini mengakui bahwa emas, selain sebagai komoditas, juga memiliki peran strategis dalam mendukung sistem keuangan nasional.
Harmonisasi Regulasi Pajak Emas
Seiring berlakunya regulasi sektor keuangan, Kementerian Keuangan melakukan penyesuaian di bidang perpajakan melalui dua peraturan menteri: PMK Nomor 51 Tahun 2025 yang mengatur pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas kegiatan impor maupun perdagangan emas batangan, dan PMK Nomor 52 Tahun 2025 yang mengubah PMK Nomor 48 Tahun 2023 terkait pengenaan PPh dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada penjualan dan penyerahan emas beserta jasa terkait.
Kedua PMK ini tidak mengubah tarif pajak, namun menata ulang ketentuan pengecualian, mekanisme pemungutan, serta pengaturan administrasinya. Salah satu langkah penting adalah penetapan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25 persen yang berlaku seragam, baik untuk pembelian emas batangan di dalam negeri maupun melalui impor. Langkah ini diambil untuk menjamin kesetaraan perlakuan (equal treatment) sekaligus menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan. Pengecualian pemungutan diberikan untuk penjualan kepada Lembaga Jasa Keuangan bullion yang telah memperoleh izin dari OJK, Bank Indonesia, dan transaksi melalui pasar fisik emas digital sesuai ketentuan perdagangan berjangka komoditi. PMK 52 Tahun 2025 juga menegaskan bahwa pengecualian berlaku bagi konsumen akhir, wajib pajak dengan PPh final tertentu, serta pihak yang memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB), bahkan tanpa kewajiban melampirkan SKB tersebut saat transaksi.
Dalam PMK 51 Tahun 2025, pembelian emas batangan oleh LJK bullion dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 0,25 persen dari harga pembelian tidak termasuk PPN, dan pemungutan dilakukan pada saat transaksi terjadi. Untuk pembelian dengan nilai paling banyak Rp10 juta, ketentuan ini dikecualikan guna memudahkan administrasi dan mengurangi beban birokrasi bagi transaksi kecil. Kebijakan ini memberikan kepastian hukum bagi pelaku pasar sekaligus mempermudah pengawasan otoritas pajak.
Konsistensi Kebijakan dan Penguatan Pengawasan
Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada konsistensi pelaksanaan di lapangan. Harmonisasi lintas regulasi antara PMK, POJK, dan UU P2SK perlu terus dijaga untuk mencegah perbedaan interpretasi yang dapat menimbulkan ketidakpastian. Koordinasi yang solid antar-lembaga akan memastikan pelaku usaha mendapatkan kejelasan aturan, sementara otoritas pajak memiliki landasan yang kuat untuk menegakkan kepatuhan.
Selain itu, transparansi data perdagangan emas digital menjadi kunci penting. Lonjakan nilai transaksi memang mencerminkan minat yang meningkat, namun juga memerlukan data yang akurat dan terverifikasi untuk memastikan pergerakan pasar terjadi dalam koridor hukum dan bebas dari potensi penyalahgunaan. Laporan resmi yang konsisten dari Bappebti, OJK, maupun DJP akan membantu memperkuat integritas pasar emas nasional.
Jika benar proyeksi McKinsey, yang dikutip dalam beberapa publikasi, bahwa pendirian bullion bank dapat menambah Produk Domestik Bruto hingga Rp245 triliun, menciptakan 800 ribu lapangan kerja, dan memutar uang Rp156 triliun, maka regulasi yang ada harus mampu menopang potensi tersebut tanpa mengorbankan akurasi pengawasan. Penyederhanaan aturan seperti yang dilakukan melalui PMK 51 dan PMK 52 Tahun 2025 adalah langkah awal yang positif, namun memerlukan kesinambungan dalam implementasi.
Dengan demikian, kebijakan pajak emas yang tengah berlaku bukan semata urusan fiskal, melainkan bagian dari strategi nasional untuk mengintegrasikan pasar emas ke dalam kerangka ekonomi formal yang lebih luas. Bila dikelola dengan baik, regulasi ini dapat mendorong partisipasi masyarakat, memperkuat penerimaan negara, dan menjaga stabilitas sistem keuangan.