Dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah pada 13 Agustus 2025 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan “pajak memiliki keselarasan nilai dengan instrumen ekonomi Islam seperti zakat dan wakaf”, karena sama-sama merupakan mekanisme pengumpulan harta untuk kepentingan umum. Pernyataan ini lantas menuai berbagai komentar, khususnya karena dikemukakan di forum yang sarat dengan sensitivitas keagamaan.
Cacat Logika Secara Konsep
Zakat dan pajak bukanlah instrumen yang sama. Dalam Islam, zakat adalah ibadah wajib dengan aturan yang baku: kadar atau nisab, tarif, waktu penarikan, dan terutama sasaran penerima (8 asnaf) yang ditetapkan dalam Al-Qur’an (QS At-Taubah:60). Adapun pajak adalah kewajiban kenegaraan yang sifatnya ijtihadi dan sepenuhnya ditentukan pemerintah, baik tarif (termasuk perubahan tarifnya), objek, maupun penggunaannya.
Menyamakan keduanya hanya karena sama-sama “mengambil sebagian harta untuk kepentingan umum” adalah fallacy of false equivalence — mengabaikan perbedaan mendasar dalam sumber hukum, tujuan spiritual, dan mekanisme distribusi.
Secara konsep distribusi kekayaan, zakat harus disalurkan langsung kepada 8 golongan (fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, fi sabilillah, ibn sabil). Di sisi lain, pajak tidak memiliki batasan ini; uang pajak bisa digunakan untuk proyek infrastruktur, gaji pejabat, atau bahkan subsidi sektor yang tidak sesuai prinsip syariah (misalnya industri berbasis bunga). Menyamakan pajak dengan zakat mengabaikan perbedaan ketatnya syarat penyaluran pada zakat.
Selain itu dalam Islam, hak orang lain dalam harta memang ada (zakat, infak, sedekah, wakaf), tapi definisinya spesifik. Tidak semua pungutan negara otomatis termasuk “hak orang lain” dalam pengertian syariah. Menyebut pajak sebagai “hak orang lain” tanpa memenuhi syarat-syarat syar’i itu adalah penyempitan makna hak milik yang problematik.
Cacat Logika Secara Legitimasi
Dengan mengasosiasikan pajak dengan zakat, ada potensi Sri Mulyani meminjam legitimasi agama untuk memaksa ketaatan pajak. Ini rawan jatuh ke logical appeal to authority (religion), bukan argumen rasional tentang efektivitas pajak.
Cacat Logika dari Segi Praktis
Zakat memiliki pengelolaan jelas, ada amil yang wajib melapor, penerima spesifik, dan proporsi distribusi terukur. Sebaliknya, realisasi pajak dapat atau bahkan sering tidak transparan, rawan kebocoran, dan sebagian digunakan untuk hal-hal yang tidak memberi manfaat langsung pada golongan miskin. Menyamakan keduanya mengabaikan trust gap yang besar antara publik dan pengelolaan pajak negara.
Sri Mulyani memang menyebut program PKH, bantuan sembako, subsidi UMKM, dll., namun dalam APBN, porsi belanja sosial jauh lebih kecil dibanding belanja rutin, pembayaran bunga utang, dan belanja kementerian/lembaga. Artinya, klaim “pajak kembali ke rakyat miskin” hanya parsial dan tidak menggambarkan realitas penuh.
Secara umum pernyataan Sri Mulyani yang menyebut pajak selaras dengan semangat Islam mengandung setidaknya 4 cacat logika:
-
False equivalence → menyamakan dua hal yang berbeda secara fundamental.
-
Religious appeal fallacy → memanfaatkan legitimasi agama untuk mendukung kebijakan sekuler.
-
Oversimplification → mengabaikan kompleksitas pengelolaan pajak vs. zakat.
-
Cherry picking → hanya menampilkan program pajak yang membantu rakyat miskin, mengabaikan belanja negara yang tidak terkait langsung dengan distribusi kekayaan.