Indonesia resmi memasuki babak baru dalam pelaporan keberlanjutan. Setelah meluncurkan PSPK 1 sebagai fondasi umum, Dewan Standar Keberlanjutan Ikatan Akuntan Indonesia (DSK IAI) pada Juli 2025 mengesahkan PSPK 2: Pengungkapan Terkait Iklim. Bersama PSPK 1, standar ini akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2027. Artinya, informasi yang dikumpulkan sepanjang tahun 2027 akan menjadi bagian dari laporan yang diterbitkan pada 2028.
Fokus PSPK 2 yaitu menyediakan kerangka pelaporan yang khusus membahas perubahan iklim yang terkait isu lingkungan dengan dampak besar terhadap dunia usaha. Perubahan iklim bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga memengaruhi strategi bisnis, struktur biaya, hingga akses pembiayaan. Standar ini mengadopsi substansi IFRS S2 Climate-related Disclosures yang dikembangkan oleh International Sustainability Standards Board (ISSB), namun disesuaikan dengan kebutuhan, terminologi, dan kondisi Indonesia. Dengan begitu, perusahaan tetap selaras dengan praktik global, tetapi mendapat ruang penyesuaian sesuai konteks nasional.
Dari komitmen global ke implementasi nasional
Struktur PSPK 2 mengikuti pola PSPK 1 dengan empat pilar pengungkapan yaitu tata kelola, strategi, manajemen risiko, serta metrik dan target. Bedanya, PSPK 2 memperdalam fokus pada isu iklim. Misalnya, pada pilar strategi, perusahaan diminta menjelaskan bagaimana transisi menuju ekonomi rendah karbon memengaruhi rencana jangka panjang mereka. Pada pilar metrik, pengungkapan emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi wajib, mencakup Scope 1, Scope 2 dan jika relevan Scope 3 sesuai standar pengukuran internasional.
Tidak hanya risiko yang harus diungkap, peluang juga menjadi bagian penting. Perusahaan diminta memetakan risiko fisik seperti banjir, kekeringan, atau badai, serta risiko transisi seperti perubahan kebijakan karbon dan pergeseran pasar energi. Pada saat yang sama, mereka didorong untuk menyoroti peluang misalnya efisiensi energi, inovasi produk rendah emisi, atau potensi manfaat dari mekanisme perdagangan karbon.
Pendekatan ini memerlukan kolaborasi lintas fungsi di dalam perusahaan. Tim keuangan, operasional, ESG, dan manajemen risiko perlu bekerja bersama untuk mengumpulkan data yang akurat, terukur, dan dapat diaudit. Hal ini memastikan bahwa informasi iklim yang disampaikan bukan sekadar narasi, tetapi berbasis bukti yang kuat.
Perbedaan dengan IFRS S2 dan masa transisi
Walaupun mengacu pada IFRS S2 yang berlaku global mulai 1 Januari 2024, PSPK 2 menetapkan perbedaan penting. Pertama, terkait tanggal efektif (paragraf C01). PSPK 2 baru berlaku untuk periode yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2027. Penerapan dini diperbolehkan, tetapi perusahaan yang melakukannya wajib juga menerapkan PSPK 1 dan mengungkapkan fakta tersebut dalam laporan.
Kedua, terkait ketentuan transisi (paragraf C04). Dalam tiga tahun pertama penerapan, perusahaan diperbolehkan untuk:
- Menggunakan metode selain Greenhouse Gas Protocol: A Corporate Accounting and Reporting Standard (2004) jika metode itu sudah digunakan sebelumnya.
- Tidak mengungkap emisi GRK Scope 3, termasuk jika entitas berpartisipasi dalam aktivitas manajemen aset, perbankan komersial, atau asuransi.
Ketentuan ini memberikan ruang adaptasi yang realistis, mengingat tidak semua entitas siap langsung mengadopsi pengukuran penuh sesuai standar global.
Mempersiapkan keunggulan kompetitif
Seperti PSPK 1, penerapan PSPK 2 pada awalnya bersifat sukarela. Meski begitu, perusahaan yang mengadopsinya lebih cepat akan mendapatkan keuntungan strategis. Transparansi pengelolaan risiko iklim akan memperkuat reputasi ESG, memudahkan akses ke pendanaan hijau, dan meningkatkan daya saing di pasar global yang semakin ketat terhadap isu iklim.
Profesi akuntan dan assurer akan memegang peran penting dalam proses ini. Mereka dapat membantu memverifikasi data emisi, menilai sistem pengendalian internal, dan memberikan keyakinan kepada pemangku kepentingan bahwa informasi iklim yang disajikan benar-benar andal.
Dengan PSPK 2, Indonesia tidak sekadar mengikuti perkembangan pelaporan iklim internasional. Negara ini membentuk standar nasional yang kredibel, terintegrasi, dan siap menghadapi tuntutan transparansi di masa depan. Perusahaan yang memulai persiapan sejak sekarang akan memiliki posisi lebih kuat saat bukti nyata aksi iklim menjadi syarat tak terpisahkan dari keberlanjutan bisnis.