Kontan | 27 Agustus 2025
Dwi Purwanto – Governance Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang membuat publik terhenyak. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer atau Noel, ditangkap dalam dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Dari operasi itu, KPK menyita uang, puluhan mobil, dan sepeda motor mewah merek Ducati, sebuah barang yang seakan menjadi simbol betapa kekuasaan bisa tergelincir ketika integritas dikesampingkan.
Reaksi cepat datang dari Istana. Presiden Prabowo menyatakan keprihatinannya sekaligus menegaskan bahwa pemerintah menghormati proses hukum yang berjalan. Presiden juga mengingatkan para menteri dan wakil menteri agar tidak menyalahgunakan jabatan, serta menjaga semangat pemberantasan korupsi sebagai fondasi tata kelola pemerintahan yang baik.
Dari internal kementerian, Menteri Ketenagakerjaan Yasierli mengaku terpukul oleh kasus ini yang menimba wakilnya. Ia mendukung penuh langkah KPK dan segera meminta seluruh Kemnaker menandatangani fakta integritas. Ia juga menegaskan siap mencopot siapa pun yang terbukti melakukan korupsi tanpa kompromi.
Namun, di situlah letak ironinya. Kasus Noel justru muncul di tengah upaya Kementerian Ketenagakerjaan membenahi birokrasi dengan fokus pada integritas, profesionalisme, dan layanan publik. Meski asas praduga tak bersalah tetap dijunjung, publik menangkap sinyal lain bahwa komitmen antikorupsi di birokrasi masih rapuh, lebih mudah roboh oleh godaan kepentingan sesaat ketimbang tegak menjaga kepercayaan rakyat.
Pola yang berulang
Persoalan ini pun bukanlah kasus tunggal. Sebelumnya publik masih mengingat dugaan korupsi kuota haji pada era Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas terkait pembagian kuota tambahan dari pemerintah Arab Saudi. Pola yang berulang menunjukkan bahwa pencegahan korupsi belum berhasil membangun budaya antikorupsi yang kokoh.
Statistik global menguatkan pernyataan itu. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2024 memang naik tiga poin, dari 34 menjadi 37. Tapi peringkat Indonesia hanya naik tipis ke posisi 99 dari 180 negara, jauh di bawah rata-rata global 44. Sejak 2015, skor Indonesia nyaris stagnan, bergerak hanya satu poin. Transparency International menyebut kenaikan ini tak signifikan. Dengan kata lain, riak kecil itu tak cukup menutupi arus besar persoalan.
Kasus Noel pun merupakan bagian dari sistem yang rapuh dan mudah ditembus. Sejumlah skandal besar pun mencerminkan betapa mahalnya harga yang harus dibayar. Manipulasi impor minyak di Pertamina, misalnya, ditaksir merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Atau pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek senilai Rp9,9 triliun, yang hingga kini masih meninggalkan tanda tanya besar karena barang yang dibeli justru tak efektif digunakan.
Langkah konkret
Fakta-fakta ini memberi pesan jelas bahwa integritas birokrasi tidak bisa hanya disandarkan pada individu, melainkan harus ditopang oleh sistem pengawasan yang kuat. Pertanyaannya, bagaimana menjaga kepercayaan publik?
Jawabannya tentu bukan dengan retorika, melainkan langkah konkret. Pertama, membangun whistleblowing system yang efektif, termasuk perlindungan nyata bagi pelapor pelanggaran (whistleblower). Survei ACFE Report to The Nation 2016 mencatat, sebagian kasus besar terungkap berkat keberanian orang dalam, namun keberanian itu sering tidak mendapat jaminan perlindungan yang memadai.
Kedua, memperluas digitalisasi layanan publik. Digitalisasi terbukti memangkas ruang interaksi rawan pungli. Data Kementerian PAN-RB mencatat, layanan digital di sejumlah daerah berhasil menurunkan hingga 40 persen aduan pungutan liar. Sayangnya, implementasi ini belum merata, terutama di daerah jauh dari pusat.
Ketiga, meningkatkan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa, promosi jabatan, serta pelaporan kinerja. Kasus Chromebook dan proyek bermasalah lain membuktikan bahwa ketertutupan informasi hanya membuka jalan bagi penyimpangan. Keterbukaan anggaran dan kontrak bukan lagi wacana, melainkan kebutuhan mendesak agar publik bisa ikut mengawasi.
Keempat, menegakkan hukum tanpa pandang bulu dan tebang pilih. Sebab kajian Lembaga Survei Indonesia tahun 2023 mencatat, kepercayaan publik terhadap Kepolisian hanya 63 persen, lebih rendah dari KPK (64 persen), dan jauh tertinggal dari TNI (91 persen). Angka-angka ini menunjukkan bahwa publik mulai meragukan ketegasan penegak hukum.
Melalui keempat langkah strategis tersebut, diharapkan kepercayaan publik bisa dipulihkan. Sebab kasus Noel sekali lagi memperlihatkan rapuhnya fondasi kepercayaan terhadap birokrasi. Padahal, kepercayaan adalah modal utama dalam mengelola negara. Tanpanya, legitimasi pemerintah mudah terkikis.
Oleh karena itu, memperkuat integritas dan komitmen antikorupsi bukan sekadar agenda teknokratis, melainkan syarat mutlak agar reformasi birokrasi benar-benar hidup dalam praktik. Aparatur negara dituntut bukan hanya profesional, tetapi juga bersih dan transparan.
Jika tidak, kasus seperti Noel hanyalah satu bab dari kisah panjang rapuhnya integritas birokrasi Indonesia, yaitu sebuah kisah yang mestinya segera kita akhiri.
Opini ini telah tayang di Kontan dengan judul “Integritas yang Rapuh di Birokrasi” pada tanggal 27 Agustus 2025 melalui link berikut :
https://insight.kontan.co.id/news/integritas-yang-rapuh-di-birokrasi