Di tengah gelombang disrupsi digital dan tekanan sosial-ekonomi mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hingga meluasnya ekonomi platform pertanyaan krusial bagi masa depan fiskal Indonesia adalah apakah struktur penerimaan negara yang ada masih relevan, atau sudah saatnya merancang instrumen pajak yang menyesuaikan karakter ekonomi digital. Pemerintah telah mengambil langkah penting, seperti memperluas pemajakan platform digital dan memperkuat infrastruktur administrasi pajak. Namun langkah-langkah tersebut baru merupakan awal; untuk menjamin ketahanan fiskal dan keadilan sosial diperlukan strategi yang lebih terpadu dan berorientasi jangka panjang.
Pemikiran tentang pajak digital tidak boleh sempit hanya pada upaya menutup celah penerimaan dari perusahaan multinasional tanpa keberadaan fisik. Lebih dari itu, pajak digital berpotensi menjadi sumber pembiayaan untuk jaring pengaman sosial yang meredam dampak disrupsi misalnya kompensasi bagi korban PHK, program reskilling, dan dukungan untuk pekerja informal yang terpinggirkan oleh perubahan model produksi. Maka dari itu, desain kebijakan harus menyeimbangkan antara tujuan fiskal dan tujuan redistributif agar pajak menjadi instrumen kebijakan yang progresif.
Untuk mencapai keseimbangan tersebut, ada beberapa prinsip kebijakan yang perlu dijadikan panduan. Pertama, prinsip keadilan teritorial dan kemampuan bayar: perusahaan yang memperoleh nilai ekonomi di Indonesia harus berkontribusi setara, meskipun mereka tidak memiliki keberadaan fisik tradisional; sementara itu, UMKM yang memanfaatkan platform harus dilindungi dari beban yang tidak proporsional. Kedua, keterpaduan data dan administrasi: integrasi data antara otoritas pajak, otoritas keuangan, dan platform digital penting untuk mengidentifikasi basis pajak, meningkatkan kepatuhan, dan menutup praktik penghindaran. Ketiga, fleksibilitas instrumen: selain PPN dan PPh, perlu dipertimbangkan instrumen baru seperti Digital Services Tax (DST) bertarget, pajak transaksi elektronik, atau kebijakan tarif minimal guna menghindari perlombaan tarif rendah. Keempat, keterikatan sosial dan transparansi: alokasi penerimaan digital untuk program sosial harus jelas, diawasi, dan transparan agar publik percaya bahwa pungutan tersebut memberi manfaat nyata.
Sebagai kelanjutan dari prinsip-prinsip itu, ada sejumlah instrumen konkret yang layak dipertimbangkan dan diujicobakan terlebih dahulu. Misalnya, penerapan Digital Services Tax (DST) bertingkat pungutan persentase kecil atas pendapatan platform asing dari pengguna domestik dengan ambang omzet tertentu dapat mengamankan kontribusi perusahaan besar tanpa membebani pelaku kecil. Selain itu, kombinasi pajak karbon dan sebagian penerimaan DST dapat dialokasikan untuk membiayai Minimum Benefit Guarantee (MBG) bagi keluarga miskin yang terdampak transformasi ekonomi. Instrumen lain adalah super-deduction untuk reskilling, insentif fiskal bagi perusahaan yang menginvestasikan dana nyata dalam pelatihan ulang pekerja, sehingga bisnis turut berkontribusi pada kesiapan tenaga kerja. Relevansi lainya adalah payroll tax progresif berbasis digital sebagai sumber untuk memperkuat program asuransi pengangguran misalnya melalui BPJS Ketenagakerjaan serta perluasan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) lewat layanan publik elektronik berbayar seperti pendaftaran HKI atau layanan sertifikasi halal digital.
Implementasi instrumen-instrumen tersebut menuntut perhatian serius pada tata kelola, proteksi data, serta koordinasi antar-lembaga. Tanpa mekanisme perlindungan privasi dan interoperabilitas data yang jelas, integrasi sistem bisa menimbulkan risiko kebocoran informasi dan konflik tugas antar-institusi. Oleh karena itu perlu dibangun standar proteksi data, mekanisme audit terotomatisasi, dan forum koordinasi yang melibatkan otoritas pajak, kementerian terkait, otoritas keuangan, serta regulator telekomunikasi supaya kebijakan tidak berjalan terpisah-pisah dan beban kepatuhan dapat diminimalkan.
Karena kompleksitas dan potensi dampak ekonomi, pendekatan implementasi sebaiknya bertahap dan berbasis bukti. Pilot project pada sektor tertentu, misalnya marketplace besar atau layanan streaming dapat memberikan data empiris tentang elastisitas pasar, beban kepatuhan, dan efek distribusi. Hasil evaluasi dari pilot kemudian dipakai untuk menyesuaikan tarif, ambang batas, pengecualian, dan mekanisme redistribusi. Pendekatan bertahap juga memberi waktu untuk diplomasi fiskal internasional yang diperlukan agar kebijakan domestik tidak berbenturan dengan aturan internasional atau menimbulkan double taxation.
Tantangan yang perlu diantisipasi meliputi reaksi pelaku usaha asing, hambatan teknis administrasi, dan kemungkinan ketidakharmonisan dengan kerangka internasional. Untuk mengurangi risiko tersebut, mitigasinya dapat berupa negosiasi internasional (misalnya implementasi Pilar 1 dan 2 OECD), pengaturan kredit pajak internasional yang jelas, serta investasi pada kapabilitas teknis Direktorat Jenderal Pajak baik dari sisi teknologi maupun SDM.
Kesimpulannya, pajak digital adalah kesempatan strategis untuk merancang sistem fiskal yang lebih adil dan tangguh di era digital. Bukan sekadar menaikkan tarif, inovasi pajak harus meliputi desain instrumen yang sensitif terhadap kapasitas pelaku ekonomi, pengalokasian penerimaan untuk perlindungan sosial, integrasi data yang bertanggung jawab, dan diversifikasi PNBP berbasis teknologi. Dengan desain kebijakan yang hati-hati, pelaksanaan bertahap, dan pengawasan yang transparan, pajak digital dapat berfungsi sebagai instrumen transformasi: menjaga ketahanan fiskal sekaligus memperkuat keadilan sosial bagi mereka yang paling rentan selama proses perubahan ekonom