Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Kamis, 28 Agustus 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Kedaulatan Digital, Kunci Masa Depan Penerimaan Pajak

Lambang Wiji ImantorobyLambang Wiji Imantoro
27 Agustus 2025
in Analisis, Artikel
Reading Time: 4 mins read
124 9
A A
0
Ilustrasi Data Digital

Sumber: Freepik

152
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Dalam laporan E-Conomy SEA 2024 yang disusun oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia pada 2024 mencapai US$90 miliar, naik 13% dibandingkan tahun 2023 (US$80 miliar). Capaian tersebut sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara dengan Gross Merchandise Value (GMV) tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Angka tersebut menegaskan posisi Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara, bahkan melampaui Thailand (US$33 miliyar), Malaysia (US$23 miliar), atau Vietnam (US$16 miliar). Capaian tersebut sering dianggap sebagai bukti kebangkitan ekonomi digital kita.

Namun, di balik optimisme itu tersimpan pertanyaan penting mengenai sejauh mana negara mampu memastikan lonjakan transaksi digital benar-benar memberikan pengaruh positif terhadap penerimaan pajak? Sebab, tanpa kendali dan kedaulatan atas data transaksi, pertumbuhan yang mengesankan itu berisiko hanya berakhir menjadi angka-angka di atas kertas, sementara potensi penerimaan negara malah terabaikan.

Risiko Kebocoran Penerimaan Negara

Seluruh sistem perpajakan pada dasarnya berangkat dari data. Di era ekonomi konvensional, data transaksi relatif mudah diperoleh karena mayoritas kegiatan ekonomi terjadi dalam wilayah negara dan tercatat melalui sistem perbankan atau laporan keuangan perusahaan domestik. Dengan kata lain, otoritas pajak memiliki akses langsung terhadap informasi yang menjadi basis pengenaan pajak.

Namun, logika itu mulai bergeser ketika ekonomi merambah ke ranah digital. Transaksi tidak lagi dibatasi oleh batas geografis, melainkan berlangsung lintas negara, lintas sistem pembayaran, bahkan lintas yurisdiksi hukum. Pergeseran ini membuka ruang bagi sejumlah perusahaan digital raksasa seperti Google, Meta, atau Amazon untuk meraup keuntungan besar di Indonesia yang notabene tidak memerlukan kehadiran secara fisik. Layanan iklan digital, langganan aplikasi, atau transaksi e-commerce kerap hanya tercatat dalam server yang berlokasi di luar negeri. Akibatnya, data yang seharusnya menjadi basis pemajakan justru berada di luar jangkauan otoritas pajak.

Jika data transaksi ekonomi digital tidak sepenuhnya terkendali, maka proses pemungutan pajak ibarat membidik sasaran dalam kabut. Negara hanya bisa mengandalkan laporan sepihak dari perusahaan asing, yang biasanya menuntut insentif sebagai daya tawar untuk meminimalkan beban pajaknya. Di sinilah kedaulatan digital menjadi krusial.

Ketika negara tidak memiliki kendali penuh atas data transaksi digital, potensi profit shifting atau pengalihan keuntungan ke yurisdiksi dengan tarif pajak yang rendah menjadi keniscayaan. Dalam praktiknya, perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia dapat memanfaatkan celah regulasi dan keterbatasan akses negara terhadap data ekonomi digital untuk melakukan praktik base erosion and profit shifting (BEPS).

Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 1,8% (Rp25,4 triliun) dari total transaksi ekonomi digital di Indonesia (Rp Rp 1.420 triliun) yang berhasil dikonversi menjadi penerimaan PPN PMSE. Padahal secara metematis potensi penerimaan bisa sekitar Rp156 triliun. Ini bukti bahwa negara belum mampu memaksimalkan potensi fiskal dari transaksi digital.

Selanjutnya, potensi ketidakadilan fiskal semakin nyata. UMKM lokal yang berjualan di platform digital diwajibkan melaporkan dan membayar pajak sesuai aturan, sementara raksasa teknologi global bisa saja menghindar melalui rekayasa struktur bisnis. Kondisi tersebut tentunya memunculkan ironi ketimpangan, karena mayoritas pelaku usaha kecil harus tunduk pada aturan, sementara kelompok kapitalis besar leluasa mencari celah.

Terakhir, jika semua data transaksi ekonomi hanya tersimpan di server asing, maka pemerintah kehilangan instrumen penting untuk merumuskan kebijakan fiskal yang efektif. Penerimaan negara menjadi rapuh, bergantung pada “kemauan baik” perusahaan global dalam melaporkan pendapatannya. Dalam jangka panjang, kondisi ini berbahaya, negara bisa saja tumbuh menjadi pasar digital terbesar di kawasan, tetapi tetap miskin dalam hal penerimaan pajak.

Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sejumlah kebijakan telah diluncurkan untuk menambal celah penerimaan, salah satunya adalah penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Sejak berlaku pada 2020, beberapa perusahaan global seperti Netflix, Google, dan Spotify telah terdaftar sebagai pemungut PPN, sehingga transaksi digital masyarakat Indonesia turut menyumbang penerimaan negara.

Selain itu, Indonesia juga terlibat aktif dalam kerja sama internasional di bawah payung OECD/G20. Melalui skema Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting, negara-negara bersepakat untuk membatasi praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Salah satu terobosan pentingnya adalah kesepakatan pajak minimum global 15% dan pembagian hak pemajakan bagi negara pasar, termasuk Indonesia.

Namun, upaya pemerintah dalam memajaki ekonomi digital masih menghadapi tantangan besar. Penerapan PPN PMSE misalnya, baru mencakup sebagian transaksi dan belum mampu menjangkau keseluruhan ekosistem digital. Di sisi lain, rencana implementasi pajak global juga membutuhkan konsensus internasional yang rumit dan proses panjang sebelum benar-benar bisa dijalankan secara efektif.

Situasi ini semakin diperumit oleh dominasi perusahaan digital multinasional yang memiliki sumber daya hukum dan finansial jauh lebih besar dibandingkan otoritas pajak negara berkembang, sehingga mereka relatif lebih mudah mencari celah untuk menghindari kewajiban pajak.

Mengukuhkan Kedaulatan Digital

Masa depan penerimaan negara di era digital sangat ditentukan oleh sejauh mana Indonesia mampu mengukuhkan kedaulatan digitalnya. Ada beberapa langkah strategis yang bisa dipertimbangkan.

Pertama, Indonesia perlu memperkuat regulasi atas data transaksi digital. Negara harus memiliki kewenangan untuk mengakses data transaksi yang terjadi di wilayah yurisdiksinya, terlepas di mana entitas perusahaan berada. Kewajiban berbagi data dengan otoritas pajak harus menjadi syarat bagi setiap platform yang beroperasi di Indonesia. Kedua, membangun infrastruktur digital nasional yang kuat. Langkah ini meliputi pengintegrasian sistem pembayaran lokal dengan platform e-commerce internasional, sehingga setiap transaksi yang dilakukan masyarakat dapat tercatat secara transparan dan tidak luput dari pengawasan. Investasi pada teknologi big data dan kecerdasan buatan juga diperlukan agar DJP mampu mengolah data dalam skala besar secara cepat dan akurat.

Ketiga, Indonesia harus aktif mendorong implementasi pajak minimum global dan memastikan hak pemajakan negara pasar tidak diabaikan. Tanpa sikap tegas, potensi penerimaan dari perusahaan multinasional akan terus menguap. Keempat, pemerintah harus mendorong literasi pajak digital di masyarakat. Pemahaman bahwa setiap transaksi digital membawa konsekuensi fiskal perlu terus disosialisasikan. Pajak di era digital bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan wujud partisipasi warga negara dalam menjaga kedaulatan ekonomi bangsa.

Jika negara gagal menguasai data transaksi ekonomi digital, maka masa depan penerimaan pajak akan rapuh. Sebaliknya, jika Indonesia mampu mengelola data dengan baik, membangun infrastruktur digital yang mumpuni, dan menegosiasikan hak fiskalnya di level global, maka peluang untuk meningkatkan penerimaan negara terbuka lebar.

Era digital sering disebut sebagai “new oil”, di mana saat ini data menjadi sumber daya paling berharga. Namun, data saja tidak cukup, negara juga harus memiliki kilang untuk mengolahnya. Tanpa itu, Indonesia hanya akan menjadi penyedia “ladang minyak” sementara nilai tambahnya diangkut keluar negeri. Pertanyaannya, apakah kita ingin terus menjadi pasar digital yang besar namun gagal memaksimalkan nilai tambah?

 

 

 

 

author avatar
Lambang Wiji Imantoro
See Full Bio
Tags: DigitalGMTOECDPajakPenerimaanPPNPPN PMSE
Share61Tweet38Send
Previous Post

Integritas yang Rapuh di Birokrasi

Lambang Wiji Imantoro

Lambang Wiji Imantoro

Related Posts

Artikel

Pajak Digital untuk Keadilan

26 Agustus 2025
Artikel

GRI Tetap Relevan di Era IFRS Sustainability Standards

22 Agustus 2025
Pajak tidak sama dengan zakat
Artikel

Pajak Bukan Zakat: Cacat Logika Sri Mulyani

15 Agustus 2025
Artikel

PSPK 2: Standar Baru Pengungkapan Iklim di Indonesia

14 Agustus 2025
#image_title
Analisis

Pemerintah Resmi Mengatur Ulang Regulasi Pajak Emas

13 Agustus 2025
Edukasi Pajak di Indonesia
Artikel

Mengapa Edukasi Pajak Indonesia Belum Kena Sasaran?

11 Agustus 2025

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1478 shares
    Share 591 Tweet 370
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    1002 shares
    Share 401 Tweet 251
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    956 shares
    Share 382 Tweet 239
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    814 shares
    Share 326 Tweet 204
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    772 shares
    Share 309 Tweet 193
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.