Penerapan standar pelaporan keberlanjutan semakin menunjukkan arah konvergensi global. Pada Juni 2025, International Sustainability Standards Board (ISSB) dan Global Sustainability Standards Board (GSSB) mencapai tonggak penting dengan mengumumkan kesetaraan antara GRI 102: Climate Change 2025 dan IFRS S2 Climate-related Disclosures. Langkah ini diharapkan memudahkan perusahaan dalam menyusun laporan emisi gas rumah kaca (GRK) dengan satu kerangka yang diakui secara internasional, sekaligus memenuhi kebutuhan berbagai pemangku kepentingan.
GRI selama ini dikenal sebagai standar yang banyak digunakan oleh perusahaan di seluruh dunia untuk pelaporan keberlanjutan, karena cakupannya yang luas meliputi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Di sisi lain, ISSB melalui IFRS S2 menekankan pada kebutuhan investor dengan fokus utama pada risiko dan peluang terkait iklim. Perbedaan orientasi ini kerap membuat perusahaan menghadapi dilema karena harus menyiapkan laporan terpisah untuk memenuhi kebutuhan regulator, investor, dan pemangku kepentingan yang lebih luas.
Kini jawaban atas dilema tersebut menjadi lebih sederhana. Dengan pengakuan kesetaraan, pengungkapan emisi GRK sesuai IFRS S2 dapat digunakan untuk memenuhi persyaratan GRI 102. Artinya, perusahaan cukup menyusun satu set data emisi mencakup Cakupan 1, Cakupan 2, dan Cakupan 3 berdasarkan IFRS S2, tanpa perlu menduplikasi atau membuat laporan terpisah, karena data tersebut juga sudah dianggap memenuhi kewajiban dalam GRI 102.
Namun, penerapan kesetaraan ini tetap menuntut disiplin metodologi. Perusahaan yang melaporkan harus mengukur emisi GRK mereka dengan mengacu pada Greenhouse Gas Protocol: A Corporate Accounting and Reporting Standard (2004). Selain itu, perusahaan perlu mencantumkan lokasi pengungkapan secara jelas dalam indeks konten GRI sebagaimana diwajibkan dalam GRI 1: Fondation 2021. Dengan mengikuti pedoman ini, data emisi tidak hanya sahih untuk IFRS S2 tetapi juga konsisten dengan GRI 102.
Sue Lloyd, Wakil Ketua ISSB, menyatakan bahwa kerja sama dengan GRI bertujuan memperkuat interoperabilitas standar. Ia menekankan bahwa kesetaraan ini tidak hanya mendorong efisiensi pelaporan, tetapi juga memastikan penyusun laporan dapat menyediakan informasi yang relevan baik bagi investor maupun pemangku kepentingan non-investor. Pernyataan ini mencerminkan komitmen ISSB dan GRI untuk menyelaraskan kebutuhan informasi lintas audiens tanpa menambah beban pelaporan.
Implikasi bagi Perusahaan Indonesia
Bagi perusahaan, kesetaraan ini membawa manfaat nyata berupa efisiensi. Proses pengumpulan data, verifikasi, dan penyusunan laporan emisi GRK yang biasanya memakan banyak sumber daya kini dapat diringkas menjadi satu sistem pengungkapan yang diakui oleh dua standar sekaligus. Hal ini juga membantu mengurangi risiko inkonsistensi, di mana angka emisi dalam laporan IFRS bisa berbeda dengan laporan GRI akibat perbedaan metodologi atau interpretasi.
Dari sisi investor, kesetaraan ini menjamin ketersediaan informasi yang lebih konsisten dan dapat diperbandingkan lintas perusahaan dan sektor. IFRS S2 dirancang dengan orientasi pada pasar modal, menyoroti hubungan erat antara risiko iklim dan kinerja finansial. Sementara itu, GRI berfungsi sebagai kerangka yang lebih luas dengan menyoroti dampak perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Dengan adanya kesetaraan, informasi yang sebelumnya terfragmentasi kini dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang valid.
Bagi Indonesia, langkah ini membawa arti strategis. Banyak perusahaan telah menggunakan standar GRI dalam menyusun laporan keberlanjutan, sebagaimana diwajibkan oleh regulasi OJK. Dengan adanya kesetaraan, penerapan IFRS S2 tidak lagi terasa sebagai tambahan beban, melainkan justru menjadi penyederhanaan yang memperkuat posisi perusahaan di mata investor global. Artinya, perusahaan tidak hanya memenuhi kewajiban nasional, tetapi juga selaras dengan standar internasional yang semakin dominan.
Dalam konteks ini, perusahaan Indonesia sebaiknya mulai memperkuat sistem pengukuran emisi dengan metodologi yang kredibel, memperbarui struktur laporan agar mampu merujuk silang antara GRI 102 dan IFRS S2, serta membangun kesiapan menuju assurance eksternal yang semakin menjadi tuntutan global. Lebih dari itu, kesetaraan ini juga bisa menjadi momentum komunikasi strategis, menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya sekadar patuh, tetapi juga serius dalam berkontribusi pada agenda transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Menuju Integrasi Pelaporan Global
Kesetaraan antara GRI 102 dan IFRS S2 menandai era baru dalam pelaporan keberlanjutan. Standar yang sebelumnya berjalan paralel kini menunjukkan sinergi nyata. Dengan satu set pengungkapan emisi GRK yang diakui bersama, perusahaan tidak hanya menghemat waktu dan biaya, tetapi juga meningkatkan kredibilitas laporan mereka di mata investor, regulator, dan publik.
Ke depan, tantangan yang lebih besar justru terletak pada kualitas implementasi. Standar hanyalah kerangka, sementara keberhasilan terletak pada komitmen perusahaan dalam menghasilkan data emisi yang akurat, terverifikasi, dan relevan dengan konteks bisnis. Dalam lanskap global yang semakin menuntut transparansi iklim, kolaborasi ISSB dan GRI adalah langkah penting untuk menyatukan kepentingan pasar modal, regulator, dan masyarakat luas, sekaligus memperkuat landasan menuju pelaporan keberlanjutan yang lebih terintegrasi.