Banyak orang bermimpi punya rumah tinggal sendiri dengan desain sesuai keinginan. Tidak sedikit pula yang memilih untuk membangun sendiri dibanding membeli rumah jadi, karena lebih fleksibel dari sisi desain, kualitas material, dan efisiensi biaya. Namun, tidak banyak wajib pajak yang mengetahui bahwa aktivitas membangun rumah sendiri di atas lahan seluas lebih dari atau sama dengan 200 m² juga bisa menimbulkan kewajiban pajak berupa PPN Kegiatan Membangun Sendiri (KMS).
Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) adalah pembangunan rumah atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan untuk dipakai sendiri, bukan untuk dijual atau usaha. Bangunan yang dimaksud bisa berupa rumah tinggal, gedung, ruko, atau bangunan permanen/semi permanen lainnya. Namun tidak semua pembangunan masuk kategori KMS yang dikenakan pajak dengan batasan sbb.:
- Subjek Pajak: Orang pribadi atau badan yang membangun untuk dipakai sendiri.
- Objek Pajak: Bangunan dengan luas minimal 200 m². Jika luas bangunan kurang dari itu, tidak termasuk objek pajak.
- Dasar Pengenaan Pajak (DPP): Seluruh biaya yang dikeluarkan/dibayarkan untuk pembangunan bangunan, tidak termasuk harga tanah.
Jadi, jika membangun rumah di atas tanah seluas 200 m² atau lebih, kegiatan tersebut masuk dalam kategori KMS dan timbul kewajiban pajak berupa dikenakannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Tarif PPN KMS 2,4% Berlaku Mulai 1 Agustus 2025
Sebelumnya, ketentuan PPN atas KMS mengalami beberapa perubahan. Terakhir, melalui PMK 81/2024 yang diubah dengan PMK 11/2025, dan terbaru PMK 53/2025, pemerintah menetapkan tarif baru untuk PPN KMS. Mulai 1 Agustus 2025, tarif yang berlaku adalah 2,4% dari total biaya pembangunan (tidak termasuk tanah).
Artinya, setiap orang pribadi atau badan yang membangun rumah atau gedung untuk kepentingan sendiri wajib menghitung, membayar, dan melaporkan PPN KMS sesuai dengan biaya yang dikeluarkan setiap bulan sampai dengan bangunan selesai.
Simulasi Perhitungan PPN KMS
Misalnya seorang wajib pajak berencana membangun rumah sendiri dengan nilai Rp1,2 miliar di lahan 240 m², maka perhitungan kewajiban perpajakan yang akan timbul sesuai peraturan yang berlaku adalah sbb.:
- Biaya membangun rumah (tidak termasuk tanah): Rp1.200.000.000
- Tarif PPN KMS: 2,4%
Maka, total PPN KMS terutang adalah:
2,4% × Rp1.200.000.000 = Rp28.800.000
Namun demikian, PPN ini tidak dibayar sekaligus di awal. Mekanismenya adalah per masa pajak (bulanan), sesuai biaya riil yang dikeluarkan tiap bulan. Misalnya, biaya pembangunan dikeluarkan sebesar Rp400 juta per bulan selama 3 bulan:
- Bulan 1: Rp400 juta × 2,4% = Rp9,6 juta
- Bulan 2: Rp400 juta × 2,4% = Rp9,6 juta
- Bulan 3: Rp400 juta × 2,4% = Rp9,6 juta
Total: Rp28,8 juta, sesuai perhitungan keseluruhan.
Dengan skema ini, pajak yang dibayarkan akan lebih proporsional sesuai perkembangan pembangunan begitu pun dengan arus kas wajib pajak (pemilik rumah).
Mekanisme Pembayaran dan Pelaporan
Seorang wajib pajak perlu memahami jadwal pembayaran dan batas waktu pelaporan agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Pembayaran: PPN KMS dibayar paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pengeluaran biaya pembangunan.
- Pelaporan: PPN KMS dilaporkan dalam SPT Masa PPN paling lambat akhir bulan berikutnya.
Contoh: jika biaya pembangunan bulan September 2025 sebesar Rp400 juta, maka PPN sebesar Rp9,6 juta harus dibayar paling lambat 15 Oktober 2025, dan dilaporkan dalam SPT Masa PPN September yang disampaikan paling lambat 31 Oktober 2025.
Bagaimana Jika Tidak Dilaporkan?
Pemenuhan kewajiban perpajakan dalam KMS bersifat self-assessment, sehingga tak jarang sebagian orang yang berpikir, “Kalau tidak lapor, siapa yang tahu?” Namun demikian, kantor pajak memiliki berbagai sumber data untuk mendeteksi kegiatan membangun rumah sendiri, di antaranya:
- Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), yang sekarang menggantikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
- Data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) terkait pengajuan sertifikat tanah.
- Laporan dari kontraktor, penyedia jasa konstruksi, atau pihak ketiga lainnya.
- Hasil pengawasan lapangan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Artinya, peluang untuk “lolos” tanpa sepengetahuan relatif kecil. Terlebih membangun di atas lahan 200 m² relatif membutuhkan waktu yang tidak singkat. Jika tidak melapor dan terdeteksi, risiko dikenakan sanksi administrasi maupun denda akan lebih besar daripada patuh sejak awal.
Pentingnya Perencanaan Pajak Saat Membangun Rumah
Membangun rumah di atas lahan sebesar 200 m² atau lebih, membutuhkan biaya yang relatif cukup besar sehingga membutuhkan persiapan finansial yang matang. Tidak hanya biaya material, tenaga kerja, dan perizinan, tetapi juga kewajiban pajak harus masuk dalam perencanaan sejak awal. Untuk rumah di atas lahan seluas 200 m² atau lebih, aturan terbaru yang berlaku mulai 1 Agustus 2025 mewajibkan pemilik membayar PPN KMS sebesar 2,4% dari total biaya pembangunan, tidak termasuk harga tanah.
Dengan estimasi biaya pembangunan Rp1,2 miliar seperti yang tadi disebutkan, PPN KMS yang terutang mencapai Rp28,8 juta. Angka ini memang terasa besar, tetapi jika dibandingkan dengan keseluruhan biaya pembangunan, porsinya relatif kecil. Lebih penting lagi, pajak ini dibayar bertahap sesuai pengeluaran riil setiap bulan hingga bangunan selesai, sehingga tidak memberatkan sekaligus.
Meski demikian, jangan sampai wajib pajak menganggap remeh adanya kewajiban perpajakan yang timbul akibat KMS. Kantor pajak memiliki banyak cara untuk mendeteksi kegiatan membangun, mulai dari data perizinan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), informasi pertanahan, laporan kontraktor, hingga pengawasan langsung di lapangan. Jika lalai melapor atau membayar, risiko terkena sanksi justru lebih merugikan di kemudian hari.
Oleh karena itu, membangun rumah bukan hanya mempertimbangkan desain, material, atau memilih kontraktor terbaik, tetapi juga perlu memikirkan adanya kepatuhan perpajakan. Sebelum memulai pembangunan rumah impian, wajib pajak perlu memastikan kewajiban pajaknya yang telah direncanakan dengan baik agar proses berjalan lancar dan tenang tanpa risiko masalah di masa depan.