Dalam satu dekade terakhir, istilah Environmental, Social, and Governance (ESG) semakin akrab di telinga dunia usaha. Ia bukan lagi sekadar jargon yang menghiasi laporan tahunan perusahaan, melainkan menjadi penanda penting: apakah sebuah organisasi layak disebut berkelanjutan atau tidak. Sertifikasi ESG, yang beberapa tahun lalu hanya dianggap formalitas, kini menjelma sebagai bukti nyata komitmen sebuah entitas terhadap keberlanjutan. Namun, bagi usaha kecil dan menengah (UKM), tulang punggung ekonomi Indonesia, perjalanan menuju sertifikasi ini sering kali terasa berat.
Hambatan pertama muncul dari sumber daya. Proses sertifikasi tidak murah. Ada biaya audit, pembayaran ke lembaga sertifikasi, hingga investasi untuk mengubah sistem operasional agar sesuai standar. Bagi UKM yang modalnya terbatas, pengeluaran semacam ini kerap dianggap beban, bukan investasi. Apalagi, banyak di antara mereka yang belum memiliki tenaga ahli dengan pemahaman teknis memadai. Menghitung jejak karbon, mengelola limbah, atau menata rantai pasok berkelanjutan masih terdengar asing. Alih-alih dipandang sebagai peluang, sertifikasi ESG justru tampak seperti urusan administratif yang merepotkan.
Namun, jika dipandang dari sisilain, sertifikasi ESG bisa menjadi pintu emas. Dengan cap resmi dari lembaga sertifikasi, produk atau layanan UKM mendapatkan pengakuan global, yaitu sebuah nilai tambah yang membedakan mereka dari kompetitor. Konsumen hari ini tidak hanya membeli barang, tetapi juga cerita di baliknya: apakah diproduksi dengan ramah lingkungan, apakah pekerjanya diperlakukan layak, dan apakah perusahaan menjunjung tinggi integritas. Di titik inilah sertifikasi ESG menghadirkan kepercayaan, dan kepercayaan adalah mata uang paling berharga di pasar modern.
Lebih jauh lagi, sertifikasi dapat membuka jalan ke pasar global. Perusahaan multinasional semakin selektif dalam memilih pemasok. Mereka menuntut standar keberlanjutan tertentu yang tidak bisa ditawar. UKM yang sudah bersertifikasi berpeluang masuk ke rantai pasok internasional, kesempatan yang sebelumnya sulit diraih. Dengan kata lain, sertifikasi ESG bukan sekadar stempel, tetapi tiket masuk untuk bermain di liga yang lebih besar.
Manfaatnya tidak berhenti di sana. Proses sertifikasi juga mendorong perbaikan dari dalam. UKM didorong untuk lebih efisien dalam penggunaan energi, mengurangi biaya jangka panjang, sekaligus memperkuat tata kelola yang transparan. Pada sisi sosial, sertifikasi mendorong perusahaan memberi perhatian lebih pada kesejahteraan karyawan dan komunitas sekitar. Sementara dari aspek tata kelola, sertifikasi menegaskan pentingnya integritas dan akuntabilitas. Semua ini membentuk fondasi organisasi yang lebih tangguh, bukan hanya dari sisi finansial, tetapi juga dalam membangun reputasi.
Tentu, jalan menuju sertifikasi tetap penuh rintangan. Karena itu, dukungan eksternal menjadi krusial. Pemerintah dapat hadir dengan subsidi, pelatihan, atau akses informasi mengenai standar ESG. Lembaga keuangan bisa ikut berperan dengan menyediakan pembiayaan ramah lingkungan, misalnya pinjaman berbunga rendah untuk investasi hijau. Tanpa intervensi semacam ini, banyak UKM akan terus terjebak dalam dilema: antara kebutuhan untuk berkembang dan keterbatasan dana untuk memenuhinya.
Namun, dukungan eksternal saja tidak cukup. Faktor internal, terutama kepemimpinan, sering kali menjadi penentu. Pimpinan yang visioner akan melihat sertifikasi ESG bukan sebagai beban tambahan, melainkan investasi jangka panjang. Kepemimpinan yang demikian bisa mengubah cara pandang organisasi: dari sekadar mengejar keuntungan cepat, menuju komitmen pada keberlanjutan. Di tangan pemimpin yang berani, sertifikasi bukanlah kewajiban formal, melainkan bagian dari strategi bisnis untuk memastikan usaha tetap relevan di tengah perubahan zaman.
Pada akhirnya, sertifikasi ESG adalah cermin. Ia bisa memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi sebuah UKM, tapi juga bisa menjadi alat untuk membangun kekuatan baru. Tantangan memang ada misalnya biaya, keterbatasan sumber daya, dan pengetahuan teknis yang minim. Namun, di balik itu, ada peluang besar: pengakuan global, kepercayaan konsumen, akses pasar internasional, hingga tata kelola yang lebih sehat. Jika pemerintah, lembaga keuangan, dan kepemimpinan internal bisa berjalan seiring, sertifikasi ESG bukan lagi mimpi berat, melainkan jembatan menuju daya saing yang lebih kuat sekaligus kontribusi nyata UKM pada pembangunan berkelanjutan.