Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 9 Mei 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Bagaimana Menaikkan Tax Ratio Indonesia di 2024?

Abdurrahman NazhifLambang Wiji ImantorobyAbdurrahman NazhifandLambang Wiji Imantoro
13 Maret 2024
in Artikel, Kolaborasi
Reading Time: 5 mins read
143 9
A A
0
tax ratio 2024
173
SHARES
2.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Pada 2019 lalu, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis hasil survei dengan laporan bertajuk “Revenue Statistic in Asia and Pasific Economies 2019”. Hasilnya, Indonesia menempati urutan ke 21 dari 24 negara yang disurvei sekaligus menasbihkan diri sebagai negara dengan rasio pajak (tax ratio) terendah di dunia.

Dalam laporan dari sumber yang sama, tax ratio Indonesia pada 2021 hanya mencatatkan angka sebesar 11,56 persen atau lebih tinggi sedikit dari Laos dan Bhutan. Hal tersebut terbilang jauh di bawah rata-rata 24 negara Asia Pasifik yang masuk jajaran survei dengan rata-rata tax ratio mereka mencapai 21 persen.

Laporan OECD rupanya bukanlah isapan jempol belaka. Setiap tahunnya tax ratio (rasio pajak) Indonesia cenderung stagnan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, dalam siaran pers (2 Januari 2024) realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan tax ratio terhadap pajak domestik bruto (PDB) selama 2023 hanya sebesar 10,21%, lebih rendah dari capaian tahun sebelumnya (10,39%).

Selama 5 tahun ke belakang rasio pajak terhadap PDB di Indonesia menyentuh angka di atas 10 persen pada 2018 sebelum turun menjadi 9,77 persen pada 2019, dan terjun bebas di 2020 ke angka 8,33 persen.

Untuk tax ratio di Indonesia, komponen penerimaan pajaknya terdiri dari pajak pusat, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan (migas serta minerba). Untuk pajak daerah yang dipungut Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) tidak menjadi komponen perhitungan rasio pajak.

Terdapat dua faktor yang memengaruhi beasaran tax ratio, yaitu faktor makro dan faktor mikro. Faktor makro di antaranya adalah tarif pajak. Faktor ini telah ditetapkan melalui Undang-undang (UU) sehingga pemerintah tidak dapat mengubahnya. Untuk faktor mikro di antaranya adalah tingkat kepatuhan pajak, penggalian potensi pajak melalui data matching, dan sebagainya. Faktor mikro ini masih dapat diupayakan.

Perlu diketahui tax ratio merupakan perbandingan penerimaan pajak terhadap PDB. Rasio ini menjadi salah satu alat ukur untuk menilai kinerja penerimaan pajak di suatu negara. Meskipun demikian tax ratio tidak menjadi satu-satunya indikator untuk mengukur kinerja pajak, meskipun tax ratio dianggap dapat memberi gambaran umum atas kondisi perpajakan di suatu negara.

Peningkatan Pengawasan Kepatuhan (Ekstensifikasi dan Intensifikasi)

Dalam memaksimalkan peran ekstensifikasi, besarnya jumlah Wajib Pajak (WP) pribadi/badan yang terdaftar  mutlak diperlukan agar potensi rasio penerimaan pajak dari sektor PPh juga meningkat. Banyaknya WP yang belum terdaftar plus minimnya pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak (DJP) terhadap subjek pajak yang telah memenuhi syarat objektif dan subjektif namun belum mendaftarkan diri dan belum memilki NPWP, tentu akan berdampak pada semakin menurunnya jumlah WP yang terdaftar. Hal tersebut akan menurunkan rasio penerimaan pajak.

Maka otoritas pajak dalam hal ini masing-masing KPP di berbagai tingkatan harus mampu mengefisiensikan proses ekstensifikasi dengan metode “jemput bola” atau mendatangi WP di tempat WP berdomisili. KPP juga wajib memaksimalkan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh DJP untuk kemudian diolah menjadi Daftar Sasaran Ekstensifikasi (DSE). KPP juga dituntut untuk proaktif dalam memantik atensi WP guna menumbuhkan kesadaran WP mengenai pentingnya kontribusi pajak terhadap keberlangsungan pembangunan.

Kemudian, otoritas pajak juga dapat lebih fokus pada penambahan WP strategis di KPP Madya agar pengawasan kepatuhan pajak melalui data matching lebih optimal dan intensif.

Tak cukup sampai ekstensifikasi, proses intensifikasi juga harus dimaksimalkan. Walaupun data WP terus meningkat di tiap tahunnya, namun belum berbanding lurus dengan target penerimaan yang diharapkan. Untuk menjawab problematika tersebut, hal yang perlu dilakukan ialah memaksimalkan peran intensifikasi pajak. Otoritas pajak wajib menemukan formulasi dalam hal membangun kepatuhan sukarela WP melalui sosialisasi dan peningkatan pelayanan dengan harapan kepercayaan WP akan meningkat dan akan berbanding lurus dengan kesukarelaan mereka dalam membayar pajak.

Peran Kunci Stabilitas dan Pertumbuhan Ekonomi

Belum lama ini pemerintah merilis dokumen Informasi APBN 2024 yang berisikan laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk 2024. Dalam dokumen tersebut pemerintah mencatatkan penerimaan selama 2023 sebesar Rp2.802 triliun, di mana sektor pajak masih jadi tumpuan sumber penerimaan. Sektor penerimaan perpajakan masih jadi yang paling dominan dengan menyumbang Rp2.309 triliun dari total penerimaan APBN.

Untuk sektor pajak, PPh masih jadi penyumbang terbesar dengan sumbangsih Rp 993 triliun, dan Rp 764,3 triliun dari sektor PPN/PPNBM, diikuti dengan penerimaan cukai dan pendapatan lainnya. Melihat pada besarnya penerimaan di sektor PPN/PPNBM, rasa-rasanya sektor ini tentu dapat dimaksimalkan sekaligus menjadi sinyal dari pulihnya perkonomian Indonesia.

Sejalan dengan pulihnya perekonomian, menjadikan sektor PPN/PPNBM sebagai sumber penerimaan utama cukup masuk akal. Menjaga iklim perekonomian yang stabil mutlak dibutuhkan mengingat stabilitas penerimaan PPh dan PPN/PPNBM bergantung pada situasi perekonomian yang stabil.

Pemerintah juga harus mulai mencari formulasi atas problem-problem yang mungkin akan muncul di 2024, seperti kemungkinan menurunnya konsumsi dan perlambatan ekonomi. Satu hal lainnya yang utama adalah pemerintah harus mulai mencari stimulus ekonomi yang jitu di luar kebijakan insentif pajak yang malah akan semakin menurunkan rasio penerimaan pajak.

Perdagangan dan Manufaktur

Salah satu penyebab merosotnya rasio pajak ialah akibat bergantungnya Indonesia terhadap komoditas sumber daya alam (SDA) yang cukup sensitif terhadap fluktuasi harga komoditas di pasar international. Indonesia telah lama mengandalkan hasil mentah dari komoditas SDA terutama dari hasil pertanian untuk keperluan ekspor.

Satu sisi komoditas ini mampu menggerakkan perekonomian nasional, namun di lain sisi rentan terhadap penurunan permintaan yang mengakibatkan pelemahan harga komoditas ekspor Indonesia di pasar internasional. Hal semacam ini akan berdampak negatif terhadap penerimaan pajak.

Belum lagi kontribusi sektor pertanian terhadap pajak hanya 1,9 persen dari total penerimaan pajak sehingga hanya menciptakan efek minimum terhadap rasio pajak. Hal tersebut dikarenakan sebagian pelaku usaha atau mereka yang berkecimpung pada sektor pertanian atau sektor hasil SDA lainnya adalah mereka yang sebagian besar tergolong usaha mikro.

Industri manufaktur, perdagangan, dan jasa dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan rasio pajak. Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, sektor perdagangan menyumbang sebesar 18,67 persen terhadap rasio pajak, dan sektor manufaktur mencatatkan kontribusi sebesar 27,4 persen.

Demi menjaga momentum tersebut, pemerintah wajib melakukan pembenahan administrasi dan penyederhanaan regulasi dengan harapan dapat menciptakan iklim yang ramah bagi industri sehingga menaikkan capaian penerimaan pajak.

Idealnya jika kontribusi suatu sektor usaha terhadap perpajakan lebih besar daripada pertumbuhan PDB itu sendiri maka akan berdampak signifikan pada keuangan suatu negara. Dalam hal ini, setidaknya perlu diupayakan rasio penerimaan pajak yang melebihi pertumbuhan PDB karena pendapatan pajaklah yang kemudian menjadi instrumen negara mendistribusikan kemakmuran.

Penulis:

Abdurrahman Nazhif

Lambang Wiji Imantoro

Editor: Ismail Khozen

Tags: DJPKemenkeuMenkeuTax Ratio
Share69Tweet43Send
Previous Post

Greenwashing pada Praktik ESG

Next Post

PPN Naik Menjadi 12% di 2025, Apakah Tepat?

Abdurrahman Nazhif

Abdurrahman Nazhif

Lambang Wiji Imantoro

Lambang Wiji Imantoro

Related Posts

Ilustrasi nongkrong
Analisis

Menakar Kebijakan Pajak di Tengah Tren Nongkrong Modern

8 Mei 2025
Artikel

Memahami Penyusunan Transfer Pricing Document Sesuai PMK 172/2023

8 Mei 2025
Artikel

ESG: Jejak Menuju Dunia yang Lebih Berkelanjutan

6 Mei 2025
Transaksi Afiliasi
Artikel

Seni Mengelola Transaksi Afiliasi

6 Mei 2025
Artikel

Menambal Jurang Fiskal : UHNWI vs Buruh

5 Mei 2025
Artikel

Standar Baru Jaminan Laporan Keberlanjutan ISSA 5000

5 Mei 2025
Next Post
#image_title

PPN Naik Menjadi 12% di 2025, Apakah Tepat?

Risiko Defisit Program Makan Siang Gratis

Laba Usaha dan Keuntungan Modal (Capital Gain), Apakah Sama?

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1459 shares
    Share 584 Tweet 365
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    916 shares
    Share 366 Tweet 229
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    898 shares
    Share 359 Tweet 225
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    742 shares
    Share 297 Tweet 186
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    712 shares
    Share 285 Tweet 178
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.