Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) sempat menjadi isu hangat di masa pemerintahan Jokowi, khususnya saat Bambang Brodjonegoro menjabat sebagai Menteri Keuangan. Namun, saat Sri Mulyani menggantikannya, rencana tersebut tidak lagi dilanjutkan. Setelah Prabowo Subianto resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, banyak pihak bertanya-tanya terkait realisasi pembentukan BPN yang telah menjadi salah satu visi yang dijanjikannya sebelum menjadi presiden. Terlebih lagi, dengan Sri Mulyani kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan, pertanyaan muncul kembali, apakah BPN hanya sekadar wacana atau benar-benar diperlukan dalam konteks reformasi perpajakan di Indonesia?
Apakah Pembentukan BPN Hanya Wacana?
Pada pertemuan dengan Presiden Terpilih Prabowo Subianto di Jakarta Selatan pada 14 Oktober 2024, Sri Mulyani menegaskan bahwa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan tetap dengan struktur yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah kabinet merah-putih tidak berencana segera merealisasikan pembentukan BPN dalam waktu dekat.
Salah satu alasan utama penundaan pembentukan BPN dapat ditemui bahwa saat ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai lembaga yang menjalankan fungsi penerimaan negara tetap menjadi bagian dari Kementerian Keuangan. Jika BPN segera dibangun, sebaiknya lembaga sekaliber DJP dan DJBC ditempatkan dalam BPN karena berfungsi sebagai ujung tombak penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, maka sudah selayaknya penempatan DJP dan DJBC ke dalam BPN diperlukan sebuah dasar hukum. Namun sampai dengan pelantikan kabinet merah putih, belum ada dasar hukum yang menaungi DJP dan DJBC ditempatkan ke BPN.
Saat ini DJP dan DJBC berada di bawah naungan Kemenkeu sesuai dengan Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keungan Negara (UU No. 17 Tahun 2003) dan Peraturan Presiden No. 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Perpres No. 57 Tahun 2020). Oleh karena itu, posisi DJP dan DJBC tidak akan ada perubahan hingga peraturan tersebut dicabut. Dengan argumentasi ini dapat menandakan bahwa BPN sebagai badan semi-otonom tampaknya tidak akan terbentuk dalam waktu dekat.
Seberapa Mendesak Pembentukan BPN?
Urgensi pembentukan BPN sangat terkait dengan konsep dasar yang diusung, yaitu Semi-Autonomous Revenue Agency (SARA). Banyak negara lain telah menerapkan model lembaga penerimaan yang semi-otonom dengan berbagai tingkat otonomi, seperti IRAS (Inland Revenue Authority of Singapore) di Singapura, IRS (Internal Revenue Service) di Amerika Serikat, ATO (Australian Tax Office) di Australia, dan LHDN (Lembaga Hasil Dalam Negeri) di Malaysia. Model ini umumnya bertujuan untuk memberikan fleksibilitas lebih besar dalam pengelolaan penerimaan negara dan reformasi perpajakan.
Keberadaan BPN di Indonesia dianggap mendesak terutama untuk meningkatkan rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang menjadi indikator penting untuk melihat kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan rasio pajak memungkinkan pemerintah untuk memiliki ruang fiskal yang lebih luas, sehingga mampu membiayai belanja negara dan transfer ke daerah secara lebih efektif. Tanpa peningkatan rasio pajak, defisit anggaran dapat semakin membesar dan perlu ditutup dengan pinjaman.
Selain itu, otonomi BPN berpotensi memperbaiki pengelolaan sumber daya manusia, perumusan kebijakan penerimaan, serta koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Dengan otonomi yang lebih tinggi, BPN dapat merespons perubahan ekonomi dengan lebih cepat dan efisien, serta mengatasi berbagai tantangan dalam sistem perpajakan yang ada.
Dengan demikian, pembentukan BPN memang membawa potensi positif dalam memperbaiki sistem perpajakan dan meningkatkan efisiensi dalam penerimaan negara. Akan tetapi, keputusan pemerintah untuk tidak membentuk peraturan baru dan mencabut UU No. 17 Tahun 2003 & Perpres No. 57 Tahun 2020 menunjukkan bahwa Pemerintah kabinet merah putih masih memiliki pertimbangan lain yang lebih diprioritaskan. Sudah selayaknya, Pemerintah perlu terus mengevaluasi kebijakan yang ada, serta memastikan bahwa reformasi perpajakan dilakukan secara menyeluruh, baik melalui peningkatan penegakan hukum, penggunaan teknologi, maupun optimalisasi struktur organisasi yang ada.