Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 2021 (“RUU KUP”) masih terus menuai polemik. Saat ini DPR masih mengumpulkan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) terkait RUU tersebut. Kali ini, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menyoroti ketentuan pendelegasian pembuatan peraturan pelaksana di RUU KUP.
Sesuai Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, untuk menjalankan undang-undang, seharusnya Presiden menetapkan peraturan pemerintah. Hal demikian juga diatur di Pasal 48 UU KUP yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah dibuat untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur di dalam UU KUP.
Namun demikian, UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan pendelegasian kewenangan kepada salah satunya menteri untuk menjabarkan suatu undang-undang (UU). Syaratnya, peraturan menteri yang menjadi peraturan pelaksana dari UU tersebut bersifat teknis administratif. Ketentuan tersebut tertuang di huruf A angka 211 dari Lampiran II Bab II Hal-hal Khusus UU No. 12/2011.
Untuk konteks RUU KUP, ada 41 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang rencananya menjadi peraturan pelaksana dari RUU KUP. Prianto menilai, pendelegasian kewenangan pembuatan peraturan pelaksana di RUU KUP kepada Menteri Keuangan belum memilki ruang lingkup teknis administratif yang jelas. Artinya, pendelegasian kewenangan dari UU langsung ke PMK tidak dibenarkan jika muatannya tidak bersifat teknis administratif.
“Nah, masalahnya adalah tidak ada kriteria yang mengatur teknis administratif itu seperti apa”, lanjut Prianto. Risikonya adalah PMK yang menjadi pelaksana dari RUU KUP dapat mengatur hal-hal yang ternyata melebihi kewenangannya sehingga ada norma hukum baru di luar RUU KUP yang menjadi konsideransnya.
Prianto memberi contoh Pasal 20A ayat (2) RUU KUP yang mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat meminta bantuan penagihan pajak kepada negara mitra atau yurisdiksi mitra. Sementara itu, ayat (10) Pasal 20A menyatakan bahwa ketentuan mengenai tata cara permintaan bantuan penagihan pajak, diatur dalam PMK. Pasalnya, tidak ada kepastian bahwa Menteri Keuangan hanya akan mengatur hal-hal bermuatan teknis adminitratif (bukan substantif) di dalam PMK sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 20A ayat (10) tersebut.
Prianto memaklumi, UU No. 12/2011 memang tidak memerinci ruang lingkup “urusan teknis administratif” itu seperti apa. Dengan kata lain, “Lewat pendelegasian wewenang tersebut, RUU KUP seolah-olah memberikan “cek kosong” kepada Menteri Keuangan,” ujar Prianto.
Untuk kasus seperti “cek kosong” di atas, sudah ada preseden. Mahkamah Konstitusi (MK) menganulir ketentuan PMK No. 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa (“PMK 229”). PMK 229 tersebut merupakan amanat dari Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang menyatakan bahwa persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa Wajib Pajak diatur dengan atau berdasarkan PMK. Pada kenyataannya, Majelis Hakim MK menyatakan bahwa PMK 229 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Pasal 32 ayat (3) UU KUP beserta penjelasannya.
Putusan MK di atas tertuang di dalam putusan No. 63/PUU-XV/2017. MK menilai bahwa pendelegasian kewenangan mengatur hal-hal yang bersifat teknis administratif bukan dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih (over capacity of power) kepada Menteri Keuangan. Akan tetapi, pendelegasian tersebut hanya mengatur lebih lanjut mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa”. Artinya, pengaturan itu tidak boleh berisikan materi muatan yang seharusnya merupakan materi muatan peraturan yang lebih tinggi, lebih-lebih materi muatan UU.