Pajak lebih dari sekadar angka di APBN, dia adalah bentuk perjanjian mendasar antara warga dan negara. Ketika perumusan kebijakan pajak berlangsung di ruang tertutup dan minim partisipasi publik, kontrak sosial antara pemangku kebijakan dan masyarakat terkikis. Warga merasa diputuskan atas nama mereka tanpa suara, sehingga legitimasi dan kepatuhan pajak berisiko menurun. Fenomena ini bukan sekadar masalah etika birokrasi. Pengalaman historis menunjukkan bahwa pengabaian partisipasi publik pada kebijakan fiskal dapat memicu resistensi sosial besar-besaran dan bahkan krisis politik.
Jean-Jacques Rousseau, seorang filsuf ternama yang hidup pada abad ke-18 berpendapat dalam karyanya yang berjudul The Social Contract berpandangan negara berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara individu-individu dalam masyarakat, untuk memastikan bahwa kepentingan pribadi tidak merusak kebaikan bersama. Dalam konteks ini, negara memiliki peran penting dalam mengatur sistem pajak yang dapat memperbaiki ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
Kasus klasik poll tax yang terjadi di Inggris pada akhir 1980-an, pungutan per kepala yang dipaksakan tanpa cukup konsultasi dan yang kemudian memicu demonstrasi masif serta menjadi salah satu faktor yang melemahkan pemerintahan saat itu. Pengalaman itu mengajarkan dua pelajaran, kebijakan fiskal yang dianggap tidak adil memancing protes. Kedua, legitimasi sebuah kebijakan tidak bisa dibangun hanya melalui instruksi teknokratik.
Di era yang lebih baru, protes Gilets Jaunes (Yellow Vests) di Prancis memperlihatkan pola serupa: pemicu awal berupa kenaikan pajak bahan bakar merupakan katalis tetapi kemarahan publik bertahan karena warga merasa kebijakan dibuat tanpa mempertimbangkan beban nyata yang dirasakan oleh kelompok menengah-bawah. Respons pemerintah seperti penangguhan kebijakan dan upaya dialog nasional menunjukkan bahwa kurangnya partisipasi berbiaya tinggi secara politik dan sosial.
Mengapa partisipasi publik penting dalam kebijakan pajak? Pertama, literatur ekonomi dan ilmu politik tentang tax morale menunjukkan bahwa kepatuhan sukarela dipengaruhi oleh kepercayaan dan persepsi keadilan. Ketika prosedur pembentukan kebijakan dipandang adil dan inklusif, warga lebih cenderung menerima beban pajak sebagai kontribusi kolektif bukan hukuman yang dipaksakan.
Studi tentang tax morale menegaskan kaitan ini antara kepercayaan publik terhadap institusi dan tingkat kepatuhan fiskal. Kedua, prinsip procedural justice menyatakan bahwa proses yang transparan dan memberi ruang suara kepada warga meningkatkan legitimasi hasil kebijakan termasuk kebijakan pajak bahkan jika hasilnya tidak menguntungkan semua pihak secara individual.
Namun masalahnya cenderung bersifat struktural. Pembuat kebijakan sering melihat pajak sebagai soal teknis mengatur tarif, basis, dan insentif sehingga proses deliberatif diabaikan karena dianggap memperlambat reformasi. Ada juga kendala kapasitas: mekanisme konsultasi formal lemah, komunikasi publik minim, dan data dampak distribusi beban pajak tidak turut dipresentasikan sehingga publik tak pernah tahu siapa yang diuntungkan, siapa yang terbebani. Hasilnya kebijakan yang mungkin optimal secara makro menjadi sulit diterapkan karena resistensi sosial atau rendahnya kepatuhan.
Konsekuensinya nyata dan multi-dimensi. Secara fiskal, menurunnya moral pajak bisa memperbesar penghindaran dan erosi basis pajak (profit shifting) sehingga merusak penerimaan jangka panjang. Secara politik, kebijakan yang dipaksakan tanpa legitimasi memancing protes yang intensif sumber daya (penegakan, keamanan, sekaligus reputasi pemerintah). Secara normatif, praktik ini melemahkan prinsip demokrasi partisipatoris. Pajak yang tidak dipertimbangkan bersama rakyat tidak lagi merefleksikan konsensus bersama melainkan keputusan kabinet sempit.
Kegagalan Partisipasi Publik
Kegagalan partisipasi publik kerap bermula dari tujuan yang tak dideklarasikan dengan jelas apakah partisipasi dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas kebijakan, meraih legitimasi, atau sekadar memenuhi kewajiban hukum sehingga proses konsultasi jadi ritual tanpa pengaruh nyata pada keputusan akhir (Wesselink et al., 2011). Banyak forum berjalan satu arah dan tidak memfasilitasi pembelajaran bersama; akibatnya suara warga yang kurang terorganisir tenggelam oleh aktor paling vokal, sementara otoritas tidak membangun mekanisme untuk menyerap dan menindaklanjuti masukan (Walker, 2007). Selain itu, desain representasi sering bias misalnya hanya mengandalkan pertemuan tatap muka lokal tanpa memberi kanal bagi kelompok yang bermigrasi atau bekerja di kota, sehingga hasil konsultasi tidak benar-benar mencerminkan preferensi publik yang lebih luas (Molokwane & Lukamba, 2018)
Salah satu contohnya di Brasil, meskipun menghadapi tantangan dalam partisipasi warga, dewan kesehatan kota merupakan bagian dari gerakan sehingga masyarakat sipil dan aktor politik telah bersatu untuk menginstitusionalisasikan ruang politik bagi partisipasi warga dalam pembentukan kebijakan (Coelho, Pozzoni & Cifuentes, 2005). Pengalaman Brasil menunjukkan bahwa bertentangan dengan pandangan umum yang menganggap masyarakat sipil terpisah dari ranah politik, tren yang muncul di Amerika Latin menunjukkan bahwa masyarakat sipil, negara, dan partai politik saling terkait erat (Wampler, 2004).
Tentu ada kontra-argumen, konsultasi publik dianggap memperlambat reformasi yang dibutuhkan atau membuka ruang lobi. Argumen itu valid, tetapi argumen kontra tidak membatalkan fakta bahwa legitimasi mempercepat implementasi dan mengurangi biaya penegakan. Desain partisipasi bisa bersifat terarah dapat mengurangi risiko lobi-lobi tanpa mengorbankan inklusivitas.
Karena itu, reformasi pajak harus dipulihkan melalui proses yang lebih transparan dan partisipatif. Kebijakan pajak yang sehat ahir dari mekanisme yang adil, terbuka, dan memberi ruang bagi deliberasi publik. Mengabaikan partisipasi publik bukan sekadar kesalahan teknis, perlakuan itu mencerminkan kegagalan mendasar pada kontrak sosial. ika pemerintah menginginkan reformasi pajak yang tahan lama dan legitim, paradigma harus berubah. Berawal dari “kita menetapkan, rakyat menerima”, dirubah menjadi “kita merumuskan bersama sehingga rakyat merasa memiliki”.