Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Sabtu, 2 Agustus 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Kerja di Permukaan, Pajak di Bawah Tanah

Muhammad Akbar AditamabyMuhammad Akbar Aditama
16 Mei 2025
in Artikel
Reading Time: 3 mins read
124 10
A A
0
153
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat bahwa pada tahun 2025 terdapat sebanyak 17,68 juta Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang diwajibkan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang bekerja mencapai 145,77 juta orang per Februari 2025.

Dengan demikian, hanya sekitar 12,12% dari total pekerja yang tercatat sebagai WP OP yang memiliki kewajiban melaporkan SPT. Persentase yang rendah ini menimbulkan pertanyaan mengenai penyebabnya, sekaligus memunculkan kekhawatiran terhadap rendahnya rasio pajak nasional yang selama ini terjadi. Lantas, apa sebenarnya penyebab utama rendahnya persentase WP yang wajib melaporkan SPT dibandingkan jumlah total pekerja? Dan apa langkah yang perlu diambil oleh otoritas untuk meningkatkan jumlah WP maupun rasio pelaporannya?

Perlu dipahami bahwa tidak seluruh pekerja yang tercatat dalam statistik BPS termasuk dalam kategori wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), seseorang diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan melaporkan SPT hanya jika penghasilannya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Saat ini, batas PTKP untuk individu yang belum menikah ditetapkan sebesar Rp54 juta per tahun atau sekitar Rp4,5 juta per bulan.

Sementara itu, menurut data BPS tentang keadaan ketenagakerjaan nasional per Februari 2025, rata-rata upah buruh nasional masih berada di bawah ambang batas tersebut. Rinciannya, rata-rata upah buruh nasional berada di angka Rp3,09 juta, dengan upah buruh laki-laki sebesar Rp3,37 juta dan perempuan sebesar Rp2,61 juta.

Data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas pekerja belum memiliki kewajiban formal untuk memiliki NPWP dan melaporkan SPT karena penghasilannya belum melebihi PTKP. Hanya beberapa sektor usaha yang rata-rata upahnya berada di atas PTKP, seperti sektor keuangan dan asuransi, pengadaan listrik dan gas, serta pertambangan.

Sebaliknya, sebagian besar sektor lainnya,termasuk pertanian, perdagangan, pendidikan, industri pengolahan, konstruksi, kesehatan, dan jasa lainnya memiliki tingkat upah yang masih di bawah batas PTKP. Ini menjadi salah satu faktor utama mengapa jumlah WP OP yang wajib lapor SPT masih sangat terbatas, meskipun jumlah penduduk bekerja cukup tinggi.

Rendahnya jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT ini turut berdampak pada rendahnya rasio pajak nasional. Selama ini, pertumbuhan penerimaan pajak cenderung lebih lambat dibandingkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).

Dalam rangka mengatasi masalah rasio pajak, otoritas pajak perlu melakukan upaya ekstensifikasi wajib pajak secara aktif. Salah satu caranya adalah dengan melakukan canvassing, yakni menyisir pelaku usaha secara langsung di pusat perbelanjaan atau pertokoan untuk mengidentifikasi potensi wajib pajak baru. Selain itu, kerja sama dengan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota melalui program joint monitoring dapat dimaksimalkan.

Pertukaran data antara instansi pusat dan daerah, termasuk proses pencocokan data (data matching), menjadi langkah penting untuk meningkatkan cakupan dan akurasi identifikasi wajib pajak. Fokus juga dapat diarahkan pada sektor ekonomi informal atau underground economy, selama aktivitas ekonominya legal namun belum terdata dalam sistem perpajakan.

Memajaki Underground Economy

Sektor underground economy sendiri merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh otoritas pajak di berbagai negara, termasuk Indonesia. Aktivitas dalam sektor ini melibatkan transaksi yang tidak tercatat dan tidak dilaporkan, seperti jasa tanpa faktur pajak, perdagangan barang secara tunai untuk menghindari kewajiban pajak, atau bahkan perdagangan ilegal. Di Indonesia, fenomena ini mengakibatkan potensi penerimaan negara yang hilang hingga puluhan triliun rupiah setiap tahunnya. Selain merugikan negara, kondisi ini juga menciptakan iklim usaha yang tidak sehat dan menghambat pertumbuhan ekonomi yang merata.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, sejumlah strategi telah diterapkan oleh berbagai negara dan dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia. Salah satu pendekatan yang paling efektif adalah digitalisasi sistem perpajakan. Pemanfaatan teknologi memungkinkan pemerintah untuk melacak dan merekam aktivitas ekonomi secara lebih akurat.

Di Indonesia, sistem seperti e-faktur dan e-SPT telah diterapkan untuk mempermudah pelaporan, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Lebih lanjut, penerapan Core Tax Administration System (CTAS) diharapkan mampu meningkatkan integrasi data dan pengawasan secara menyeluruh. Integrasi ini dapat mencakup data perbankan, transaksi digital, dan data lintas instansi lainnya untuk mendeteksi aktivitas ekonomi yang selama ini tidak terdata.

Selain digitalisasi, pemberian insentif fiskal kepada pelaku usaha informal juga dapat mendorong mereka untuk bergabung ke dalam sistem perpajakan formal. Beberapa negara bahkan menerapkan pajak progresif yang lebih rendah untuk usaha mikro dan kecil sebagai bentuk dorongan agar pelaku usaha mau melaporkan pendapatannya secara sukarela. Insentif semacam ini dapat menciptakan ekosistem usaha yang lebih adil dan kompetitif serta memperluas basis pajak negara.

Di samping itu, edukasi perpajakan kepada masyarakat menjadi elemen penting dalam mendorong kesadaran dan kepatuhan pajak. Program edukasi yang berkelanjutan, terutama di tingkat lokal, dapat melibatkan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan asosiasi pelaku usaha untuk menyosialisasikan manfaat dan kewajiban perpajakan.

Sejumlah negara telah menunjukkan keberhasilan dalam menekan ruang gerak underground economy melalui kebijakan yang tegas dan terarah. Contohnya, pemerintah Meksiko mewajibkan pelaporan transaksi secara elektronik yang secara otomatis terhubung ke sistem otoritas pajak, sehingga meningkatkan transparansi dan pengawasan. Sementara itu, Korea Selatan memberikan insentif pengurangan pajak bagi pelaku usaha kecil yang melaporkan pendapatannya secara digital, dan berhasil memperluas basis pajaknya secara signifikan.

Secara keseluruhan, rendahnya pelaporan SPT oleh WP OP di Indonesia tidak sepenuhnya disebabkan oleh ketidakpatuhan, melainkan juga karena realitas bahwa sebagian besar pekerja belum memenuhi syarat sebagai wajib pajak. Untuk meningkatkan rasio pajak dan memperluas basis penerimaan negara, diperlukan pendekatan holistik yang mencakup strategi ekstensifikasi, digitalisasi, pemberian insentif, dan edukasi. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan sistem perpajakan Indonesia dapat menjadi lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan dalam mendukung pembangunan nasional.

author avatar
Muhammad Akbar Aditama
Tax Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute
See Full Bio
Tags: EkstentifikasiJumlah WP OPunderground economy
Share61Tweet38Send
Previous Post

Strategi Pemeriksaan Berbasis Risiko Sesuai Aturan Terbaru

Next Post

Cukai untuk Rekayasa Sosial, Tepatkah?

Muhammad Akbar Aditama

Muhammad Akbar Aditama

Tax Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute

Related Posts

Ilustrasi ESG
Analisis

Menjadikan ESG Pilar Strategi, Bukan Sekadar Formalitas

1 Agustus 2025
Artikel

Memahami PSPK 1 untuk Laporan Keberlanjutan

1 Agustus 2025
Piagam Wajib Pajak
Artikel

Membangun Keseimbangan Hak dan Kewajiban Melalui Taxpayers’ Charter

28 Juli 2025
Little kid grow plant with eco icon symbolize natural preservation for future sustainable generation by growing plant to reduce carbon emission and using ESG green technology. Reliance
Artikel

Membongkar Mitos ESG

28 Juli 2025
Artikel

Apakah Sertifikasi ESG Menambah Nilai Perusahaan?

28 Juli 2025
Artikel

ESG sebagai Strategi Nilai Jangka Panjang

28 Juli 2025
Next Post
Sumber Freepik

Cukai untuk Rekayasa Sosial, Tepatkah?

Implementasi Tarif PPN 12% dan Skema Nilai Lain 11/12

Membangun Standar Nasional Assurance Keberlanjutan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1477 shares
    Share 591 Tweet 369
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    999 shares
    Share 400 Tweet 250
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    955 shares
    Share 382 Tweet 239
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    812 shares
    Share 325 Tweet 203
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    768 shares
    Share 307 Tweet 192
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.