Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat bahwa pada tahun 2025 terdapat sebanyak 17,68 juta Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang diwajibkan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang bekerja mencapai 145,77 juta orang per Februari 2025.
Dengan demikian, hanya sekitar 12,12% dari total pekerja yang tercatat sebagai WP OP yang memiliki kewajiban melaporkan SPT. Persentase yang rendah ini menimbulkan pertanyaan mengenai penyebabnya, sekaligus memunculkan kekhawatiran terhadap rendahnya rasio pajak nasional yang selama ini terjadi. Lantas, apa sebenarnya penyebab utama rendahnya persentase WP yang wajib melaporkan SPT dibandingkan jumlah total pekerja? Dan apa langkah yang perlu diambil oleh otoritas untuk meningkatkan jumlah WP maupun rasio pelaporannya?
Perlu dipahami bahwa tidak seluruh pekerja yang tercatat dalam statistik BPS termasuk dalam kategori wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), seseorang diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan melaporkan SPT hanya jika penghasilannya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Saat ini, batas PTKP untuk individu yang belum menikah ditetapkan sebesar Rp54 juta per tahun atau sekitar Rp4,5 juta per bulan.
Sementara itu, menurut data BPS tentang keadaan ketenagakerjaan nasional per Februari 2025, rata-rata upah buruh nasional masih berada di bawah ambang batas tersebut. Rinciannya, rata-rata upah buruh nasional berada di angka Rp3,09 juta, dengan upah buruh laki-laki sebesar Rp3,37 juta dan perempuan sebesar Rp2,61 juta.
Data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas pekerja belum memiliki kewajiban formal untuk memiliki NPWP dan melaporkan SPT karena penghasilannya belum melebihi PTKP. Hanya beberapa sektor usaha yang rata-rata upahnya berada di atas PTKP, seperti sektor keuangan dan asuransi, pengadaan listrik dan gas, serta pertambangan.
Sebaliknya, sebagian besar sektor lainnya,termasuk pertanian, perdagangan, pendidikan, industri pengolahan, konstruksi, kesehatan, dan jasa lainnya memiliki tingkat upah yang masih di bawah batas PTKP. Ini menjadi salah satu faktor utama mengapa jumlah WP OP yang wajib lapor SPT masih sangat terbatas, meskipun jumlah penduduk bekerja cukup tinggi.
Rendahnya jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT ini turut berdampak pada rendahnya rasio pajak nasional. Selama ini, pertumbuhan penerimaan pajak cenderung lebih lambat dibandingkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).
Dalam rangka mengatasi masalah rasio pajak, otoritas pajak perlu melakukan upaya ekstensifikasi wajib pajak secara aktif. Salah satu caranya adalah dengan melakukan canvassing, yakni menyisir pelaku usaha secara langsung di pusat perbelanjaan atau pertokoan untuk mengidentifikasi potensi wajib pajak baru. Selain itu, kerja sama dengan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota melalui program joint monitoring dapat dimaksimalkan.
Pertukaran data antara instansi pusat dan daerah, termasuk proses pencocokan data (data matching), menjadi langkah penting untuk meningkatkan cakupan dan akurasi identifikasi wajib pajak. Fokus juga dapat diarahkan pada sektor ekonomi informal atau underground economy, selama aktivitas ekonominya legal namun belum terdata dalam sistem perpajakan.
Memajaki Underground Economy
Sektor underground economy sendiri merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh otoritas pajak di berbagai negara, termasuk Indonesia. Aktivitas dalam sektor ini melibatkan transaksi yang tidak tercatat dan tidak dilaporkan, seperti jasa tanpa faktur pajak, perdagangan barang secara tunai untuk menghindari kewajiban pajak, atau bahkan perdagangan ilegal. Di Indonesia, fenomena ini mengakibatkan potensi penerimaan negara yang hilang hingga puluhan triliun rupiah setiap tahunnya. Selain merugikan negara, kondisi ini juga menciptakan iklim usaha yang tidak sehat dan menghambat pertumbuhan ekonomi yang merata.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, sejumlah strategi telah diterapkan oleh berbagai negara dan dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia. Salah satu pendekatan yang paling efektif adalah digitalisasi sistem perpajakan. Pemanfaatan teknologi memungkinkan pemerintah untuk melacak dan merekam aktivitas ekonomi secara lebih akurat.
Di Indonesia, sistem seperti e-faktur dan e-SPT telah diterapkan untuk mempermudah pelaporan, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Lebih lanjut, penerapan Core Tax Administration System (CTAS) diharapkan mampu meningkatkan integrasi data dan pengawasan secara menyeluruh. Integrasi ini dapat mencakup data perbankan, transaksi digital, dan data lintas instansi lainnya untuk mendeteksi aktivitas ekonomi yang selama ini tidak terdata.
Selain digitalisasi, pemberian insentif fiskal kepada pelaku usaha informal juga dapat mendorong mereka untuk bergabung ke dalam sistem perpajakan formal. Beberapa negara bahkan menerapkan pajak progresif yang lebih rendah untuk usaha mikro dan kecil sebagai bentuk dorongan agar pelaku usaha mau melaporkan pendapatannya secara sukarela. Insentif semacam ini dapat menciptakan ekosistem usaha yang lebih adil dan kompetitif serta memperluas basis pajak negara.
Di samping itu, edukasi perpajakan kepada masyarakat menjadi elemen penting dalam mendorong kesadaran dan kepatuhan pajak. Program edukasi yang berkelanjutan, terutama di tingkat lokal, dapat melibatkan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan asosiasi pelaku usaha untuk menyosialisasikan manfaat dan kewajiban perpajakan.
Sejumlah negara telah menunjukkan keberhasilan dalam menekan ruang gerak underground economy melalui kebijakan yang tegas dan terarah. Contohnya, pemerintah Meksiko mewajibkan pelaporan transaksi secara elektronik yang secara otomatis terhubung ke sistem otoritas pajak, sehingga meningkatkan transparansi dan pengawasan. Sementara itu, Korea Selatan memberikan insentif pengurangan pajak bagi pelaku usaha kecil yang melaporkan pendapatannya secara digital, dan berhasil memperluas basis pajaknya secara signifikan.
Secara keseluruhan, rendahnya pelaporan SPT oleh WP OP di Indonesia tidak sepenuhnya disebabkan oleh ketidakpatuhan, melainkan juga karena realitas bahwa sebagian besar pekerja belum memenuhi syarat sebagai wajib pajak. Untuk meningkatkan rasio pajak dan memperluas basis penerimaan negara, diperlukan pendekatan holistik yang mencakup strategi ekstensifikasi, digitalisasi, pemberian insentif, dan edukasi. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan sistem perpajakan Indonesia dapat menjadi lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan dalam mendukung pembangunan nasional.