Sejak awal tahun 2025, penerimaan perpajakan Indonesia menunjukkan tren penurunan yang mengkhawatirkan, tertuang jelas dari data hingga akhir Mei 2025. Realisasi penerimaan pajak neto hanya mencapai Rp 683,3 triliun atau sekitar 31,2 % dari target APBN Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun, terkontraksi 10,13 % secara year-on-year dibandingkan capaian Mei 2024 yang sebesar Rp 760,4 triliun.
Jika dilihat secara bruto, penerimaan pajak pada periode yang sama mencapai Rp 895,77 triliun, namun angka neto tertekan oleh peningkatan besaran restitusi yang jatuh tempo sehingga tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil perekonomian saat ini.
Sementara itu, total penerimaan perpajakan yang mencakup pajak dan bea masuk serta cukai baru mencapai Rp 806,2 triliun atau 32,4 % dari target Rp 2.490,9 triliun, turun 7,2 % dari periode sama tahun sebelumnya. Hampir seluruh jenis pajak utama turut mengalami kontraksi: PPh non-migas mencatat penurunan, begitu pula PPN dan PPnBM yang merosot signifikan, meski pertumbuhan PBB dan pajak-pajak kecil lainnya hanya bertahan pada level rendah.
Pemerintah kemudian mencatat bahwa faktor eksternal seperti pelemahan harga komoditas ekspor, pelambatan pertumbuhan ekonomi global, serta kendala operasional pada sistem administrasi pajak Coretax turut menekan perolehan penerimaan. Akibatnya, defisit APBN hingga akhir Mei 2025 mencapai sekitar Rp 21 triliun atau 0,09 % terhadap PDB, sebagian besar disebabkan oleh realisasi pajak yang kurang optimal.
Pemerintah menilai faktor eksternal turut memperburuk penerimaan: pelemahan harga komoditas ekspor seperti batu bara yang rata-rata berkisar di US$ 95/ton pada semester I 2025, turun 12 % dari US$ 108/ton setahun sebelumnya serta perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang diproyeksikan melemah dari 3,4 % pada 2024 menjadi 3,1 % pada 2025 oleh IMF. Di dalam negeri, gangguan teknis pada sistem administrasi pajak Coretax di bulan Februari dan Maret menyebabkan penundaan pengolahan laporan SPT Masa PPN dan pelunasan PPh Pasal 25, sehingga memengaruhi realisasi penerimaan kuartal I.
Dampak dari kontraksi penerimaan ini langsung tercermin pada defisit APBN. Sampai akhir Mei 2025, defisit APBN tercatat Rp 21 triliun atau 0,09 % terhadap PDB, meningkat dari defisit Rp 4,3 triliun pada April yang sempat mengalami surplus tipis. Dalam kondisi normal, defisit sampai Mei seharusnya berada di kisaran 0,05–0,07 % PDB, sehingga realisasi saat ini menunjukkan tekanan fiskal yang lebih tinggi.
Indonesia Economic Fiscal Research Institute memperingatkan risiko shortfall penerimaan pajak hingga Rp 120–140 triliun jika tren kontraksi ini tidak segera diantisipasi dengan kebijakan fiskal dan perpajakan yang lebih agresif. Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan komitmen memperkuat pengawasan dan stabilisasi sistem Coretax agar proses restitusi dan pelaporan faktur pajak kembali berjalan lancar.
Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak menyiapkan serangkaian strategi pemulihan, termasuk percepatan audit dan optimalisasi basis data wajib pajak, guna menutup kesenjangan penerimaan dan menekan potensi kecurangan. Jika langkah-langkah tersebut berhasil diterapkan secara konsisten, pemerintah berharap dapat menahan laju penurunan dan membawa penerimaan pajak kembali ke jalur pertumbuhan yang sehat pada kuartal kedua dan seterusnya.
Selain itu, siasat lain untuk memangkas selisih pajak adalah menambah pendapatan negara dari royalti, di mana Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mencari cara meningkatkan pendapatan negara dari berbagai komoditas. Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono menargetkan Rp 100 triliun dari royalti komoditas.
Selain penguatan administrasi dan percepatan audit, pemerintah juga membidik peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari royalti komoditas sebagai langkah memitigasi selisih penerimaan. Kementerian Keuangan, bekerja sama erat dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menargetkan tambahan pendapatan royalti sebesar Rp 100 triliun pada 2025 demi mempersempit gap penerimaan fiskal.
Sejarah PNBP minerba menunjukkan lonjakan dari hanya Rp 35 triliun pada 2020 menjadi Rp 180,4 triliun pada 2022, sebelum menurun sedikit ke Rp 172,1 triliun pada 2023 dan Rp 140,5 triliun pada 2024. Untuk mendukung target ini, sejak April 2025 pemerintah menerapkan tarif royalti progresif 14–19 % pada sektor mineral dan batubara. Dengan kombinasi intensifikasi pajak dan optimalisasi royalti, pemerintah optimistis mampu menahan koreksi penerimaan dan mengembalikan tren pertumbuhan fiskal yang sehat pada kuartal berikutnya.