Dalam konteks perekonomian global yang semakin terdigitalisasi dan terdorong oleh tuntutan transisi menuju model pembangunan berkelanjutan, perusahaan tidak lagi dapat beroperasi secara terpisah dari masyarakat dan lingkungan di mana mereka berada. Orientasi tunggal terhadap akumulasi keuntungan finansial semakin dipandang usang, digantikan oleh kebutuhan untuk menciptakan nilai yang bersifat multidimensi. Di sinilah pendekatan Corporate Social Impact (CSI) menjadi relevan, yaitu sebagai kerangka kerja bagi perusahaan untuk menilai, mengelola, dan mengoptimalkan kontribusi sosial dan lingkungan mereka.
Pendekatan ini bukan semata-mata kelanjutan dari Corporate Social Responsibility (CSR), yang kerap dipandang sebagai kegiatan tanggung jawab di luar proses inti usaha. CSI menuntut integrasi menyeluruh antara operasional bisnis dan tujuan sosial-ekologis, dalam rangka memastikan bahwa aktivitas ekonomi yang dijalankan membawa hasil yang positif bagi masyarakat luas.
Pengelolaan Dampak sebagai Instrumen Kinerja Perusahaan
Bagi pelaku usaha yang berorientasi pada keberlanjutan operasional jangka panjang, pengelolaan dampak sosial dan lingkungan perlu diletakkan dalam kerangka efisiensi, mitigasi risiko, serta penguatan relasi pasar dan tenaga kerja. Penelitian oleh Eccles, Ioannou, dan Serafeim (2014) menunjukkan bahwa perusahaan yang konsisten menerapkan prinsip keberlanjutan menunjukkan kinerja keuangan yang lebih stabil dan mengalami pertumbuhan nilai pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan konvensional. Hal ini menandakan bahwa pengelolaan dampak bukan hanya soal legitimasi sosial, melainkan juga instrumen penciptaan nilai ekonomi.
Langkah pertama dalam proses ini adalah melakukan materiality assessment untuk mengidentifikasi isu-isu utama yang berdampak besar pada kegiatan usaha serta penting bagi pemangku kepentingan. Misalnya, perusahaan pertambangan di wilayah yang mengalami tekanan terhadap sumber daya air perlu menjadikan konservasi air sebagai salah satu prioritas dalam operasinya, bukan sekadar program tanggung jawab sosial di tingkat komunitas.
Model Creating Shared Value (CSV) yang diperkenalkan oleh Porter dan Kramer (2011) memberikan gambaran bagaimana integrasi antara kebutuhan sosial dan aktivitas ekonomi dapat menciptakan insentif bagi efisiensi dan inovasi. Salah satu prusahaan besar multinational, Nestlé, misalnya, telah menjalankan kemitraan dengan petani kopi di Indonesia untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan, yang berdampak pada peningkatan pendapatan petani sekaligus menjamin rantai pasokan perusahaan tetap stabil dan berkelanjutan (Porter & Kramer, 2011).
Lebih lanjut, sejumlah perusahaan memilih untuk mendapatkan sertifikasi B Corporation (B Corp) guna memformalkan komitmen mereka terhadap keseimbangan antara profit dan dampak. Menurut laporan B Lab Global (2023), perusahaan-perusahaan B Corp menunjukkan pertumbuhan pendapatan yang relatif lebih kuat dan memiliki loyalitas pelanggan serta tenaga kerja yang lebih tinggi. Di Indonesia, Danone-Aqua merupakan salah satu pelopor perusahaan besar yang menerapkan prinsip B Corp dengan fokus pada pelestarian sumber daya air dan kesejahteraan pekerja.
Selain itu, model social business yang diperkenalkan oleh Muhammad Yunus (2007) menawarkan pendekatan alternatif di mana seluruh atau sebagian besar keuntungan diinvestasikan kembali untuk menyelesaikan masalah sosial. Grameen Bank, sebagai contoh, telah berhasil memberikan pembiayaan mikro kepada jutaan perempuan di pedesaan Bangladesh, yang tidak hanya meningkatkan inklusi keuangan tetapi juga berdampak langsung pada pengurangan tingkat kemiskinan.
Di Indonesia sendiri, potensi untuk mengembangkan pendekatan CSI sangat besar, mengingat kekayaan sumber daya alam, struktur demografis yang dinamis, serta kebutuhan pembangunan sosial yang masih tinggi. Beberapa inisiatif lokal seperti Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) menunjukkan bahwa kolaborasi antara sektor swasta, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil dapat menghasilkan model pembangunan yang berbasis nilai tambah sosial dan ekologis.
Namun demikian, tantangan masih besar. Regulasi yang belum adaptif terhadap prinsip pengelolaan dampak, kapasitas kelembagaan yang terbatas, serta rendahnya kesadaran dunia usaha terhadap pentingnya menginternalisasi aspek sosial dalam model bisnis menjadi hambatan utama. Dibutuhkan perubahan kerangka pikir dalam manajemen perusahaan yang tidak hanya mengejar efisiensi ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan kontribusi riil terhadap kesejahteraan publik dan keberlanjutan ekosistem.
Ke depan, perusahaan perlu menyusun rencana kerja yang memuat langkah konkret seperti pengukuran dampak secara kuantitatif, pengintegrasian isu lingkungan dan sosial ke dalam rencana bisnis, serta pelaporan terbuka kepada pemangku kepentingan. Dengan cara ini, perusahaan tidak hanya memperkuat fondasi bisnis mereka, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan ekonomi yang lebih resilien dan inklusif.
Informasi Jasa Pratama Institute
Penerapan ESG dilaporkan dalam laporan keberlanjutan perusahaan yang wajib dibuat setiap tahunnya. Jika Anda ingin memastikan laporan keberlanjutan perusahaan Anda disusun secara profesional dan menarik, kami di Pratama Institute hadir untuk membantu Anda. Dengan pengalaman dan keahlian dalam penyusunan laporan tahunan dan/atau laporan keberlanjutan yang sesuai dengan standar terbaik, kami menghadirkan dokumen yang informatif sehingga bisa mencerminkan identitas perusahaan Anda. Hubungi kami untuk solusi laporan keberlanjutan yang ciamik!