Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Sabtu, 2 Agustus 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Menuju Tax Ratio 23% di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

Pratama Indomitra KonsultanbyPratama Indomitra Konsultan
17 April 2025
in Analisis, Artikel
Reading Time: 3 mins read
128 10
A A
0
Ilustrasi tax ratio

Sumber: Freepik

158
SHARES
2k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yakni mendorong rasio pajak atau tax ratio hingga 23% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Target ini diharapkan mampu menopang pembiayaan pembangunan nasional yang semakin kompleks, mulai dari penguatan infrastruktur, pendidikan, hingga perlindungan sosial. Tax ratio yang tinggi juga mencerminkan kemandirian fiskal suatu negara, sebuah cita-cita penting di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Namun, realisasi tax ratio Indonesia selama beberapa tahun terakhir masih jauh dari harapan. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada 2023, tax ratio Indonesia baru menyentuh angka sekitar 10,4%, naik dari 9,11% pada 2021, tetapi tetap jauh dari target ideal. Dalam waktu kurang dari dua tahun, Pemerintah harus menggandakan performa penerimaan pajak untuk mendekati target 23%, sebuah tantangan yang tidak ringan.

Pemerintah tidak tinggal diam. Berbagai langkah reformasi fiskal telah dicanangkan, mulai dari implementasi Core Tax Administration System (CTAS), intensifikasi pemungutan pajak, hingga optimalisasi penerimaan negara bukan pajak dan royalti.

Namun, pertanyaannya, seberapa realistis target ini bisa dicapai di tengah tekanan makro ekonomi, seperti pengangguran yang masih tinggi, inflasi yang menggerus daya beli, serta pertumbuhan ekonomi yang belum sepenuhnya stabil?

Realita Pahit di Balik Target Ambisius

Dalam teori ekonomi publik, tax ratio tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah dalam memungut pajak, tetapi juga erat kaitannya dengan struktur ekonomi, tingkat kepatuhan wajib pajak, serta efektivitas administrasi perpajakan. Dengan kata lain, tax ratio tidak bisa dipisahkan dari kondisi makro ekonomi nasional.

Saat ini, Indonesia menghadapi beberapa tantangan struktural yang menjadi penghambat utama dalam peningkatan tax ratio. Pertama, basis pajak Indonesia masih sempit. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa mayoritas pelaku ekonomi berada di sektor informal yang sulit dijangkau oleh sistem perpajakan konvensional. Menurut estimasi Bank Dunia, lebih dari 60% tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal, yang artinya potensi penerimaan pajak penghasilan orang pribadi dan pajak pertambahan nilai (PPN) dari kelompok ini sangat terbatas.

Kedua, daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi COVID-19 menjadi pertimbangan serius. Inflasi, meski mulai terkendali, tetap memberikan tekanan pada konsumsi rumah tangga. Jika konsumsi menurun, basis pemungutan PPN sebagai salah satu kontributor utama penerimaan negara juga akan terdampak.

Ketiga, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 mencatat angka sekitar 5,05%, pertumbuhan ini masih sangat bergantung pada konsumsi domestik dan ekspor komoditas, bukan dari ekspansi sektor manufaktur berorientasi nilai tambah yang memiliki potensi pajak lebih besar. Artinya, kenaikan PDB belum tentu berbanding lurus dengan peningkatan penerimaan pajak.

Dari sisi administrasi, pemerintah menaruh harapan besar pada CTAS, sebuah sistem administrasi perpajakan terintegrasi yang dirancang untuk meminimalisir kebocoran dan mempermudah wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Namun, transformasi sistem ini tidak dapat memberikan dampak instan. Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa implementasi sistem serupa biasanya memerlukan waktu adaptasi minimal 3–5 tahun sebelum mampu mendongkrak tax ratio secara signifikan.

Selain itu, sejalan dengan teori slippery slope framework yang Kirchler dan kawan-kawan narasikan, kepatuhan pajak wajib sejatinya ditopang oleh kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sayangnya, tingkat kepercayaan publik saat ini cenderung turun di tengah isu korupsi, ketidakadilan dalam pengelolaan anggaran, dan lemahnya transparansi pengeluaran negara.

Langkah Nyata, Bukan Sekadar Angka

Dengan mempertimbangkan berbagai faktor di atas, target tax ratio 23% tampaknya lebih bersifat utopis ketimbang realistis, kecuali ada gebrakan strategis dalam reformasi struktural dan administrasi perpajakan. Untuk memperbesar peluang pencapaian target tersebut, Pemerintah perlu menempuh beberapa langkah prioritas.

Pertama, mempercepat proses integrasi data lintas kementerian dan lembaga, termasuk perbankan dan e-commerce, guna memperluas basis data perpajakan. Kedua, mendorong formalisasi sektor informal lewat insentif fiskal dan kemudahan administrasi, sehingga pelaku usaha mikro dan kecil terdorong untuk masuk ke dalam sistem perpajakan.

Ketiga, meningkatkan literasi perpajakan masyarakat dan memperbaiki kualitas layanan Direktorat Jenderal Pajak agar kepatuhan sukarela dapat meningkat.Terakhir, pemerintah juga perlu memperkuat akuntabilitas pengelolaan anggaran negara sehingga publik merasa pajak yang dibayarkan benar-benar kembali dalam bentuk pelayanan publik yang berkualitas.

Sebagai catatan, pertumbuhan tax ratio yang sehat seharusnya dibangun secara berkelanjutan. Oleh karena itu, alih-alih mengejar angka 23%, pemerintah sebaiknya lebih fokus pada perbaikan fondasi perpajakan yang kuat agar sistem fiskal Indonesia lebih tahan banting di masa depan.

Penulis: Fitri Aulia (Mahasiswa Institut Bisnis dan Komunikasi Swadaya/SWINS)

author avatar
Pratama Indomitra Konsultan
See Full Bio
Tags: PPhPPNTax Ratio
Share63Tweet40Send
Previous Post

SDGs dan Strategi Keberlanjutan Bisnis Perusahaan

Next Post

Menjamin Kredibilitas Laporan Keberlanjutan dengan ISAE 3000

Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Indomitra Konsultan

Related Posts

Ilustrasi ESG
Analisis

Menjadikan ESG Pilar Strategi, Bukan Sekadar Formalitas

1 Agustus 2025
Artikel

Memahami PSPK 1 untuk Laporan Keberlanjutan

1 Agustus 2025
Piagam Wajib Pajak
Artikel

Membangun Keseimbangan Hak dan Kewajiban Melalui Taxpayers’ Charter

28 Juli 2025
Little kid grow plant with eco icon symbolize natural preservation for future sustainable generation by growing plant to reduce carbon emission and using ESG green technology. Reliance
Artikel

Membongkar Mitos ESG

28 Juli 2025
Artikel

Apakah Sertifikasi ESG Menambah Nilai Perusahaan?

28 Juli 2025
Artikel

ESG sebagai Strategi Nilai Jangka Panjang

28 Juli 2025
Next Post
environmental friendly

Menjamin Kredibilitas Laporan Keberlanjutan dengan ISAE 3000

Sumber: Freepik

Kebijakan Fiskal untuk Kartini Zaman Ini

Ilustrasi ajang sepakbola internasional

Menakar Kebijakan Pajak dalam Ajang Internasional

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1477 shares
    Share 591 Tweet 369
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    999 shares
    Share 400 Tweet 250
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    955 shares
    Share 382 Tweet 239
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    812 shares
    Share 325 Tweet 203
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    768 shares
    Share 307 Tweet 192
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.