Melalui Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang diperinci melalui Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2025, Pemerintah resmi menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun untuk 2025.
Mengutip data Kementerian keuangan (Kemenkeu), mencatat bahwa realisasi penerimaan pajak hingga akhir Februari 2025 hanya mencapai Rp 187,8 triliun, menurun sekitar 30,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pada Februari 2024, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp 269,02 triliun.
Penurunan ini turut berkontribusi pada turunnya penerimaan perpajakan secara keseluruhan hingga 24,9 persen dari Rp 320,51 triliun pada Februari 2024 menjadi Rp 240,4 triliun pada Februari 2025.. Bila menilik pada realitas industri, tantangan ekonomi global, serta sistem perpajakan yang jauh dari kata ideal, ditambahn dengan data penerimaan pajak hal ini mencerminkan jika target penerimaan pajak hanya berujung ambisi belaka. Mengapa?
Mandeknya Pertumbuhan Ekonomi
Sebelum menetapkan target penerimaan yang ambisisu, pemerintah perlu untuk menilik situasi perekonomian Indonesia. International Monetary Found (IMF) dan World Bank memprediksi pertumbuhan ekonomomi Indonesia akan terstagnasi di angka 5,1% selama 2025-2029. Ketergantungan ekonomi Indonesia pada sektor konsumsi domestik dan ekspor komoditas barang mentah, ditenggarai menjadi penyebabnya.
Apa kaitannya? Ketika porsi konsumsi domestik terlalu dominan, pemerintah pasti menghadapi keterbatasan dalam memaksimalkan penerimaan di sektor PPN, mengapa? Dalam optimalisasinya, PPN sangat bergantung pada daya beli masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai 54,53 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II 2024. Ketika daya beli mengalami stagnasi akibat perlambatan pertumbuhan pendapatan riil ataupun dikarenakan faktor inflasi, maka faktor-faktor tersebut akan semakin menekan konsumsi masyarakat di pasar domestik.
Ketika upah rill tidak dapat mengimbangi beban inflasi, hal tersebut akan menekan harga kebutuhan dan jasa, sehingga konsumsi barang dan jasa yang memiliki kontribusi signifikan terhadap PPN cenderung stagnan bahkan menurun. Ketika permintaan terhadap barang dan jasa menurun, potensi penerimaan PPN menjadi sulit dioptimalkan.
Realitanya, pendapatan riil mencerminkan daya beli masyarakat setelah memperhitungkan dampak inflasi. Ketika pendapatan nominal masyarakat tidak meningkat seiring dengan kenaikan harga barang dan jasa, daya beli mereka secara riil akan tergerus. Akibatnya penurunan daya beli tidak hanya akan berdampak pada menurunnya volume konsumsi, tetapi juga dapat mempersempit basis pemajakan. Efek dominonya, penerimaan PPN menjadi sulit untuk dioptimalkan, terutama akibat beban inflasi yang seringkali lebih dirasakan kelas menengah-bawah yang menjadi penggerak konsumsi domestik.
Selanjutnya, Ketergantungan ekspor Indonesia pada komoditas barang mentah di sektor Energi Sumber Daya Mineral seperti batu bara ataupun barang mentah lain seperti kelapa sawit juga berpengaruh terhadap stabilitas penerimaan pajak, khususnya PPh badan. Barang mentah memiliki nilai tambah yang rendah dan sangat dipengaruhi oleh harga di pasar global.
Ketika harga komoditas turun, perusahaan-perusahaan di sektor tersebut mengalami penurunan pendapatan atau bahkan kerugian. Hal ini pasti berdampak langsung pada jumlah PPh Badan yang dapat mereka setorkan, karena pajak tersebut dihitung berdasarkan laba bersih perusahaan.
Klaim tersebut bukan tanpa bukti. Penyebab utama terkontraksinya penerimaan dari sektor PPh Badan disebabkan oleh melorotnya profitabilitas sejumlah perusahaan akibat penurunan harga komoditas terutama pertambangan di pasar global. Mengutip data dari Kemenkeu, penerimaan pajak pada semester 1/2024 mengalami penurunan sebsar 7,9% yoy. Menteri Keuangan menganggap penurunan realisasi PPh badan hingga 34,5% diakibatkan turunnya profitabilitas perusahaan sebagai dampak dari turunnya harga komoditas.
Problematika tersebut semakin diperteruk oleh rendahnya nilai tambah dari barang mentah yang diekspor. Ketika komoditas ekspor hanya dijual dalam bentuk bahan baku, kontribusi sektor manufaktur hilir terhadap penerimaan pajak menjadi minim akibat tidak ada proses industri bernilai tinggi yang dilakukan di dalam negeri. Akibatnya, Indonesia kehilangan peluang untuk memanfaatkan potensi ekspor barang jadi yang bernilai lebih tinggi dari sisi pendapatan negara maupun potensi kontribusi pajaknya terutama dari pendapatan PPh dan PPN.
Sektor Informal Hambat Pertumbuhan Penerimaan
Masalah selanjutnya adalah rendahnya tax ratio Indonesia yang menyebabkan sulitnya Indonesia memperluas basis pemajakannya. Ketika tax ratio rendah hal tersebut menunjukan mayoritas aktivitas ekonomi belum masuk ke dalam cakupan sistem perpajakan. Hal tersebut berimpilikasi pada semakin menyempitnya basis pemajakan.
Selain itu, tax ratio yang rendah juga mengindikasikan adanya celah dalam pengumpulan pajak, baik disebabkan kurangnya kepatuhan, lemahnya pengawasan, atau dominasi sektor informal yang sulit dijangkau. Data dari Kemenkeu menyebut, hingga Oktober 2024 tax ratio Indonesia terhadap PDB masih terstagnasi 10,02%, bahkan menurut World Bank, Indonesia masih kesulitan untuk mencapai target tax ratio 11%.
Penyabab utama rendahnya tax ratio ialah tingginya dominasi sektor informal. BPS mencatat di 2024, tenaga kerja yang terserap ke sektor informal mencapai 59,17%. Dengan lebih dari setengah populasi tenaga kerja yang terserap ke sektor informal, aktivitas ekonomi mereka tidak tercatat dalam sistem resmi dan tidak dapat dikenai pajak secara efektif.
Tanpa mekanisme pencatatan yang formal, pelaku sektor informal jarang, bahkan tidak pernah, melaporkan penghasilan mereka untuk dikenakan pajak penghasilan (PPh) atau pajak lainnya, sehingga sulit untuk mengoptimalisasikan kontribusi PPh ataupun pajak lainnya.
Selanjutnya, dalam penelitian, Rothenberg et al. (2016), menyatakan 93% perusahaan di Indonesia bersifat informal. Hal tersebut membuktikan betapa besarnya kontribusi sektor informal terhadap perekonomian nasional, namun sayangnya tidak berbanding lurus dengan jumlah pajak yang dapat dipungut. Ketika sektor informal mendominasi, sudah pasti sektor formal menjadi satu-satunya andalan penerimaan pajak terutama dari sektor PPh.
Jika sektor formal mengalami perlambatan, karena resesi, krisis global, atau kebijakan yang problematik, maka kontribusi pajaknya akan menurun drastis. Hal ini akan langsung memengaruhi penerimaan negara karena sulitnya mengoptimalkan pemungutan pajak dari sektor informal.
Mengupayakan Perubahan
Guna mewujudkan target penerimaan pajak yang ambisius, pemerintah harus segera mengambil langkah perubahan. Optimalisasi PPN melalui penguatan daya beli masyarakat dapat dimulai dengan kebijakan pengendalian inflasi dan peningkatan pendapatan riil. Selain itu,pemerintah perlu memprioritaskan pemberian insentif fiskal untuk mendorong hilirisasi industri agar ekspor komoditas memiliki nilai tambah lebih tinggi.
Pemerintah juga harus mempercepat formalisasi sektor informal melalui integrasi digital, seperti penggunaan teknologi pencatatan keuangan sederhana yang terhubung dengan sistem perpajakan. Terakhir, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan pajak dengan menggunakan data yang lebih akurat. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui digitalisasi serta penerapan sistem dan pengelolaan pajak yang lebih transparan, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.
Meski demikian, Keberhasilan penerimaan pajak tak hanya terletak pada kebijakan semata, melainkan pada kolaborasi seluruh elemen masyarakat. Tanpa adanya upaya yang konkret, Indonesia akan terjebak dalam stagnasi berkepanjangan, serta berisiko kehilangan momentum penting dalam mencapai kemajuan dan peningkatan kesejahteraan secara merata.