Readtimes.id | 04 Februari 2022
Pajak berbasis gender (Tax and Gender) akan diusulkan dalam pertemuan negara-negara G20 yang berlangsung pada 2022 di Indonesia. Nantinya, sistem perpajakan ini akan memberikan keuntungan bagi perempuan dan ikut mendorong pencapaian tujuan kesetaraan gender.
Tax and gender masih belum terlalu populer di negara berkembang, namun di beberapa negara maju sudah menerapkannya. Topik ini akan dibahas oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam agenda perpajakan internasional, yang menjadi rangkaian dari Presidensi G20.
Rencana pemberlakuan sistem perpajakan ini juga melihat contoh dari berbagai negara yang telah menerapkannya. Singapura misalnya, yang sudah memiliki Working Mother’s Child Relief (WMCR), yang memberikan keuntungan finansial bagi keluarga yang memiliki anak.
Selain Singapura, ada juga negara Afrika yang bahkan tidak mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada popok bayi sebagai bentuk dukungan kepada para ibu. Menurut Prastowo, hal ini sederhana, namun menunjukkan keberpihakan dan afirmasi pada perempuan.
Kementerian Keuangan juga menyampaikan rencana ini sebagai bentuk dukungan pada partisipasi perempuan yang juga dianggap penting bagi perekonomian sebuah negara.
“Kesetaraan gender tidak hanya penting dari sisi moralitas, keadilan, tetapi juga sangat penting dan relevan dari sisi ekonomi,” tuturnya Menteri Keuangan Sri Mulyani dikutip dari laman resmi Kemenkeu.
Selain itu, di Indonesia, perempuan banyak bekerja di sektor informal serta banyak perempuan dengan kemampuan yang sama dengan laki-laki tetapi digaji lebih rendah.
Menurut Menkeu, level playing field antara laki-laki dan perempuan berbeda karena kondisi biologis perempuan yang ada saatnya ia hamil, melahirkan dan menyusui.
Nantinya melalui pajak berbasis gender ini, perempuan hamil dan melahirkan dapat insentif. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Wempi Saputra mengatakan, pajak ini akan mendukung perempuan yang telah mengeluarkan biaya melahirkan dan belum tentu memiliki asuransi. Dengan begitu, perempuan akan mendapat insentif pajak.
“Ada seorang wanita kemudian dia bekerja. Begitu dia hamil, dan nanti melahirkan dan cuti, tidak ada insentif pajak. Tapi penghasilannya kan berkurang, sehingga melalui perpajakan ini, penghasilan wanita harus tetap full supaya dia tidak kehilangan gara-gara tidak hadir di kantor, dan diberikan afirmasi supaya perlakuannya lebih fair,” kata Wempi melalui keterangan resmi.
Wempi juga mengatakan pada pembahasan sistem pajak ini memungkinkan munculnya gagasan lain, seperti perawatan anak yang difasilitasi pemerintah.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono menjelaskan penerapan pajak berbasis gender mengacu pada konsep keadilan pajak (tax equity atau tax equality) pada umumnya.
“Pajak berbasis gender dapat dilakukan berdasarkan sistem perpajakan yang sudah ada saat ini, yaitu direct taxation misalnya dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Indirect taxation misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN),” jelas Prianto kepada Readtimes.id.
Untuk PPh, Prianto mengatakan pengenaan pajaknya dapat dilihat dari sisi pemberi penghasilan dan penerima penghasilan. Dari sisi pemberi, mekanisme pemajakannya menggunakan sistem pemotongan atau withholding tax system.
Contoh konkretnya adalah pajak gaji (payroll tax) yang diacu ke dalam sistem PPh Pasal 21. Bentuk pajak berbasis gender dapat berupa, pemberian keringanan (allowance) PPh bagi pekerja wanita hamil dan cuti melahirkan; penambahan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) bagi wanita melahirkan; dan penghasilan tertentu sbg objek PPh bagi wanita dengan kondisi tertentu.
Dari sisi penerima penghasilan, gender wanita sebagai subjek pajak orang pribadi mendapatkan PTKP lebih tinggi ketika dia menjadi single parent atau melahirkan. Dengan demikian, beban PPh Orang Pribadi yang dibayar dapat berkurang.
Untuk PPN, secara umum pajaknya ditanggung oleh konsumen dan pajak dikenakan atas setiap output yang berupa harga jual.
Penerapan pajak berbasis gender untuk PPN dapat mengacu pada objek yang bisa dibebaskan pajaknya atau tarifnya dibedakan jika konsumennya adalah wanita atau anak kecil.
Kendati demikian, jika pajak berbasis gender diberlakukan, Prianto mengatakan acuannya harus berupa Undang-undang (UU) sesuai amanat Pasal 23A UUD 1945.
Pajak berbasis gender harus dilatarbelakangi oleh prinsip keadilan, baik horizontal maupun vertical equity. Akan tetapi, prinsip keadilan tersebut tidak secara otomatis berjalan berdampingan dengan prinsip perpajakan lainnya misalnya asas pemungutan pajak (ease of administration).
“Jadi, penekanan prinsip keadilan dalam pajak berbasis gender jangan sampai mengesampingkan prinsip prinsip pajak lainnya,” ungkap Prianto.
Artikel ini telah tayang dialman Readtimes.id dengan tautan https://readtimes.id/pajak-berbasis-gender-bentuk-afirmasi-negara-pada-perempuan/ pada 04 Februari 2022