Kompas | 03 Maret 2022
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan mengalami kenaikan, dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Naiknya tarif PPN menyusul disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Merespons hal tersebut, Direktur Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, tarif PPN 11 persen merupakan jalan tengah untuk menaikan pendapatan negara ditengah situasi pandemi Covid-19.
Kebijakan pemerintah ini juga dinilai sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk mengoptimalkan pendapatan negara akibat terus merosotnya rasio pajak.
“Kebijakan penyesuaian tarif PPN menjadi 11 persen ini sudah win-win solution, karena dari 10 persen menjadi 11 persen diharapkan kenaikannya tidak terlalu signifikan. Di sisi lain untuk mengandalkan Pajak Penghasilan (PPh) saat ini juga sudah sulit,” kata dia, dalam keterangannya, Kamis (3/3/2022).
Data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, pada 2012 rasio pajak nasional masih sebesar 14 persen. Namun angka tersebut terus merosot sampai tahun lalu.
Bahkan sejak 2019 rasio pajak Indonesia selalu berada di bawah 10 persen yaitu sebesar 9,76 persen di tahun 2019, lalu setahun 2020 sebesar 8,33 persen, dan tahun lalu mulai mengalami kenaikan kembali menjadi 9,11 persen.
Prianto menambahkan laju pesat ekonomi digital saat ini sedikit banyak memengaruhi kebijakan pemerintah memilih intensifikasi PPN.
Ia menyoroti bagaimana perusahaan raksasa teknologi global yang kini gemar melakukan tax planning guna mendapatkan tax treaty alias persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B).
“Sekarang dengan kondisi mengarah digital ekonomi, P3B memang punya banyak kelemahan sehingga untuk sementara tidak bisa mengandalkan PPh,” katanya.
Sementara peningkatan PPh, dalam UU HPP dijelaskan Prianto juga belum sepenuhnya rampung.
Misalnya terkait benefit income natura alias klasifikasi mana yang merupakan objek pajak dan bukan, namun sampai kini pemerintah belum menentukan hal tersebut.
Lebih jauh Prianto mengungkapkan, dalam pemanfaatan PPN masih banyak fasilitas yang belum kena pajak. Prianto memang tidak memungkiri akan ada banyak kritik terhadap kebijakan ini, terutama dari masyarakat sebagai konsumen yang akan terdampak akibat penyesuaian PPN 11 persen.
Namun menurut dia, dengan kondisi keterbatasan ruang fiskal yang terjadi saat ini, implementasi penyesuaian PPN 11 persen memang harus dilakukan pada April mendatang.
Sesuai UU HPP, tarif PPN 11 persen juga akan menjangkau barang kebutuhan pokok yaitu makanan dan minuman (mamin).
Selain itu terdapat beberapa obyek pajak yang akan terkena kebijakan penyesuaian tarif PPN baru, di antaranya adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, seperti elpiji tertentu dan gas bumi.
Sebelumnya, Ketua Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menjelaskan, masyarakat tak perlu khawatir terhadap kebijakan ini. Sebab dari analisis BKF penyesuaian PPN ini tidak akan berdampak besar terhadap inflasi.
“Kalau kita lihat terkait dengan tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen, kita sudah estimasi dampak ke inflasi masih minimal. Jadi tidak perlu khawatir dampak dari kenaikan PPN ke inflasi. Inflasi sejauh ini masih terkendali,” ucapnya.
Berita ini telah tayang dilaman Kompas.com, dengan tautan https://money.kompas.com/read/2022/03/03/211700926/ppn-bakal-naik-jadi-11-persen-bagaimana-dampaknya-ke-perekonomian?page=all pada 03 Maret 2022