Di tengah dinamika globalisasi ekonomi, struktur transaksi afiliasi sering kali menjadi medan pertarungan antara strategi korporasi untuk menekan beban pajak dan upaya regulator dalam melindungi basis penerimaan negara sebuah ketegangan yang tercermin jelas dalam berbagai putusan penegakan, mulai dari perintah pemulihan €13 miliar atas skema royalti Apple di Irlandia hingga sorotan investigasi LuxLeaks terhadap lisensi McDonald’s di Luksemburg.
Pada 2016, Komisi Eropa menyimpulkan bahwa dua anak perusahaan Apple di Irlandia menerima keuntungan pajak selektif yang melanggar aturan bantuan negara Uni Eropa. Apple membuat struktur perolehan royalti melalui entitas afiliasi di Irlandia, sehingga tarif pajak efektifnya turun menjadi nyaris nol persen. Keputusan ini mengharuskan Irlandia memulihkan sekitar €13 miliar dari Apple, yang kemudian diperkuat oleh European Court of Justice pada 10 September 2024
Pada yurisdiksi Indonesia, transaksi afiliasi mencakup seluruh kegiatan atau transaksi yang dilaksanakan perusahaan dengan pihak-pihak yang memiliki keterkaitan, baik berupa afiliasi corporate maupun individu yang berstatus anggota direksi, dewan komisaris, pemegang saham pengendali, atau pengendali perusahaan. Landasan hukumnya tertuang dalam Peraturan OJK No. 4/2020 tentang transaksi afiliasi dan benturan kepentingan.
Di ranah perpajakan, konsep ini diistilahkan sebagai “hubungan istimewa”, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh dan dijabarkan lebih lanjut oleh Pasal 33 PP No. 55/2022. Dalam konteks tersebut, hubungan istimewa menandakan adanya ketergantungan atau ikatan yang dapat memengaruhi harga atau syarat transaksi antar pihak.
Terdapat tiga kondisi utama yang membentuk hubungan istimewa. Pertama, dari sisi kepemilikan modal: apabila Wajib Pajak menanamkan modal, baik secara langsung atau tidak langsung minimal 25% pada entitas lain, maka hubungan istimewa terbentuk. Hal yang sama berlaku jika satu Wajib Pajak memiliki penyertaan minimal 25% pada dua atau lebih entitas, atau jika terdapat jejaring kepemilikan di antara beberapa Wajib Pajak.
Kedua, hubungan istimewa dapat timbul melalui penguasaan. Ini mencakup situasi di mana satu pihak mengendalikan pihak lain, atau beberapa pihak berada di bawah kendali entitas yang sama, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk penguasaan tersebut bisa melalui struktur manajerial, pemanfaatan teknologi yang sama, ataupun keterlibatan individu yang sama dalam pengambilan keputusan operasional.
Ketiga, ikatan keluarga baik darah maupun ikatan perkawinan dapat menciptakan hubungan istimewa. Cakupannya meliputi hubungan lurus satu derajat (misalnya antara orang tua dan anak) dan hubungan ke samping satu derajat (seperti antara saudara kandung).
Pengawasan atas transaksi afiliasi menjadi sorotan otoritas perpajakan di berbagai negara karena potensi praktik ini merusak basis penerimaan fiskal. Bersama dengan thin capitalization dan skema controlled foreign corporation (CFC), transaksi afiliasi sering dimasukkan dalam kategori “harmful tax practices”. Istilah lain yang juga sering dipakai adalah tax avoidance, aggressive tax planning, dan tax shelter.
Secara teori manajemen, perusahaan baik multinasional maupun lokal secara alamiah akan berupaya menekan biaya, termasuk beban pajak. Akibatnya, strategi pengurangan pajak melalui struktur afiliasi menjadi hal yang umum diadopsi, sehingga memicu pembentukan aturan anti-avoidance dalam undang-undang perpajakan.
Undang-undang sendiri mengenalkan dua mekanisme utama anti-avoidance. Salah satunya, yang terdapat pada Pasal 18 UU PPh (UU No. 7/1983 beserta perubahannya sebelum UU HPP), memuat Specific Anti-Avoidance Rules (SAAR) berupa ketentuan transfer pricing, aturan thin capitalization, dan ketentuan CFC, guna menutup celah penghindaran pajak melalui transaksi afiliasi.
Studi Kasus Transaksi Afiliasi
Transaksi afiliasi adalah transaksi yang terjadi antara satu perusahaan dengan “saudara”-nya, misalnya anak perusahaan, induk perusahaan, atau perusahaan yang dikontrol oleh orang atau kelompok yang sama. Karena hubungan dekat ini, kadang harga dan syaratnya diatur sedemikian rupa, misalnya untuk memindahkan untung ke tempat dengan pajak lebih rendah dengan tujuan akhir bisa merugikan penerimaan pajak suatu negara.
Otoritas pajak di banyak negara pun waspada terhadap praktik-praktik semacam ini. Mereka memasukkan transaksi afiliasi ke dalam kategori “harmful tax practices” bersama dengan dua skema lain: thin capitalization (terlalu banyak utang dibanding modal) dan controlled foreign corporation atau CFC (memindahkan laba ke anak perusahaan di negara bebas pajak). Istilah lain yang sering dipakai adalah tax avoidance (menghindari pajak), aggressive tax planning, atau tax shelter.
Secara umum, setiap perusahaan baik yang besar dan beroperasi di banyak negara maupun yang hanya di dalam negeri akan berusaha menekan biaya, termasuk pajak. Sayangnya, strategi mengurangi beban pajak lewat struktur afiliasi ini sering kali melampaui batas yang sehat, sehingga pemerintah kehilangan pemasukan.
Untuk mencegah hal itu, undang-undang pajak di Indonesia menetapkan dua jenis aturan anti-penghindaran. Salah satunya adalah Specific Anti-Avoidance Rules (SAAR) dalam Pasal 18 UU Pajak Penghasilan. SAAR ini mencakup:
- Transfer pricing, aturan agar harga jual beli antar afiliasi mengikuti harga pasar wajar.
- Thin capitalization, batasan berapa banyak utang yang bisa diklaim sebagai biaya bunga.
- CFC rules, pajak tambahan atas laba yang ditahan di anak perusahaan luar negeri dengan tarif pajak rendah.
Contohnya, pada thin capitalization: bayangkan perusahaan A di luar negeri memberi pinjaman sebesar 90% dari total modal ke anak usahanya di Indonesia, sedangkan modal sendiri hanya 10%. Karena bunga pinjaman itu bisa dikurangkan dari laba kena pajak, perusahaan Indonesia itu bayar pajak jauh lebih sedikit. Akhirnya, pemerintah rugi besar dari potensi pajak yang seharusnya masuk.
Praktik CFC juga sering dipakai. Misalnya, perusahaan teknologi asal Negeri X mendirikan anak usaha di negara tax haven untuk menampung royalti paten. Royalti yang besar itu dicatat di sana, bukan di kantor pusat, sehingga pajaknya sangat rendah. Laba menumpuk di anak perusahaan luar negeri, sementara negara asal kehilangan hak atas pajak penghasilan tersebut.
Mayoritas negara memberlakukan kebijakan imputed taxation, yakni pajak dihitung seolah-olah pemegang saham menerima dividen meski kenyataannya laba masih ditahan di luar negeri untuk menutup loophole. Dengan begitu, keuntungan memindahkan laba lewat afiliasi bisa diminimalkan, dan penerimaan pajak nasional bisa lebih terjaga.