Kompas | 10 Februari 2023
Satu bulan menjelang tenggat pelaporan surat pemberitahuan pajak tahunan, kepatuhan masyarakat dalam melapor pajak terpantau meningkat. Untuk memudahkan administrasi dan meningkatkan pengawasan perpajakan, pemerintah mengimbau masyarakat untuk segera memvalidasi data nomor induk kependudukan menjadi nomor pokok wajib pajak.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, per Jumat (10/2/2023), jumlah wajib pajak orang pribadi yang sudah melaporkan surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunan tahun 2022 adalah 2,7 juta orang, naik 36,29 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, jumlah wajib pajak badan yang sudah melapor SPT adalah 97.663 badan, naik 30,4 persen dari tahun lalu. Adapun periode pelaporan SPT berlangsung pada 1 Januari-31 Maret 2023.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Neilmaldrin Noor mengatakan, tingkat kepatuhan yang naik signifikan itu menunjukkan, kesadaran masyarakat untuk lebih cepat melaporkan SPT mulai meningkat. Kemudahan mengurus SPT secara daring ketimbang harus mendatangi kantor pajak juga mendorong tren perbaikan kepatuhan dari tahun ke tahun.
Untuk semakin mempermudah proses administrasi pelaporan dan mempermudah pengawasan, ia pun mengimbau masyarakat untuk segera memvalidasi nomor induk kependudukan (NIK) menjadi nomor pokok wajib pajak (NPWP) sebelum melaporkan SPT tahunan. Sampai Februari 2023, sebanyak 78 persen wajib pajak sudah mengintegrasikan NIK-nya dengan NPWP.
Neil mengatakan, wajib pajak sebenarnya tidak diharuskan untuk memvalidasi NIK dan NPWP-nya sebagai syarat melapor SPT tahun ini. Namun, validasi itu akan mempermudah urusan pelaporan SPT ke depan. ”Boleh saja kalau ada yang mau melaporkan SPT tahun ini sebelum melakukan validasi, tetapi untuk kenyamanan administrasi, lebih cepat melakukan validasi lebih baik,” katanya, Jumat.
Integrasi NIK menjadi NPWP sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kebijakan itu mulai diterapkan secara bertahap sejak 14 Juli 2022, tetapi baru akan efektif berlaku sepenuhnya pada 1 Januari 2024. Masyarakat memiliki waktu paling lambat sampai 31 Desember 2023 untuk melakukan validasi data.
Dengan integrasi data NIK dengan NPWP itu, ke depan wajib pajak cukup mengantongi NIK sebagai data administrasi perpajakan, tanpa perlu memiliki NPWP. Penggunaan NIK sebagai NPWP diterapkan untuk mendorong integrasi satu data yang terpusat sehingga mempermudah pengawasan terhadap setiap aktivitas ekonomi wajib pajak.
Integrasi NIK-NPWP itu juga dapat memudahkan masyarakat dalam mengurus administrasi perpajakannya karena cukup mengantongi satu kartu tanda penduduk (KTP) dan menghafalkan satu data identitas. ”Wajib pajak tidak perlu lagi registrasi NPWP karena sudah punya NIK. NIK akan menjadi nomor resmi yang dipakai untuk melakukan pembayaran dan pelaporan pajak,” kata Neil.
Wajib pajak dapat mengurus validasi NIK-NPWP itu secara daring melalui masuk ke laman profil di situs web DJP Online, mengecek status validitas data, memasukkan nomor NIK dan NPWP, lalu memilih opsi validasi. ”Validasi ini pada dasarnya adalah pemadanan atau updating data. Ini harus dilakukan secara mandiri oleh wajib pajak bersangkutan, dan caranya pun tidak susah,” ujarnya.
Mendongkrak penerimaan
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono berpendapat, kebijakan integrasi NIK dan NPWP akan signifikan mendongkrak penerimaan pajak. Proses pemadanan data (data matching) tersebut dapat mempermudah identifikasi wajib pajak serta pengawasan kepatuhan pajak.
”Informasi yang diterima pemerintah akan jauh lebih luas, karena NIK KTP berhubungan dengan banyak sekali informasi, dari informasi perbankan, jual-beli, sampai imigrasi. Kalau kantor pajak mau menggali kebenaran laporan pajak seseorang, datanya bisa dengan mudah dicek dengan aktivitas yang terekam melalui NIK,” kata Prianto.
Dengan penggunaan NIK sebagai NPWP itu, wajib pajak akan lebih sulit menghindari kewajiban membayar pajak. Selama ini, ujarnya, pengawasan kepatuhan pajak memang kurang optimal karena sulitnya kantor pajak melakukan data matching. ”Ke depan, akan lebih susah menghindari pajak, karena semua data sudah terintegrasi. Dengan segera kantor pajak bisa mengontak kalau ada wajib pajak yang terpantau pernah berjalan-jalan ke luar negeri dan belanja barang mahal,” kata Prianto.
Di sisi lain, pemadanan data NIK-NPWP juga bisa memperluas basis penerimaan pajak. Pemerintah dapat lebih mudah melakukan ekstensifikasi pajak, alias mengidentifikasi masyarakat yang seharusnya memenuhi syarat menjadi wajib pajak, tetapi selama ini belum mendaftarkan diri untuk mendapat NPWP dan membayar pajak.
Influencer media sosial yang pendapatannya sudah melewati penghasilan tidak kena pajak (PTKP), misalnya, akan lebih mudah diidentifikasi. Meski demikian, integrasi NIK sebagai NPWP itu tidak serta-merta berarti semua masyarakat yang memiliki NIK otomatis menjadi wajib pajak.
”Contohnya, mahasiswa ber-KTP yang selama ini hanya dapat uang saku dari orangtua, tentu tidak otomatis jadi wajib pajak. Namun, mahasiswa ber-KTP yang juga influencer atau artis FTV, itu bisa terkena ekstentifikasi dan diminta untuk melaporkan diri menjadi wajib pajak,” ujarnya.