Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 1 Agustus 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Diskursus: Menakar Beban Pajak Kelas Menengah

Lambang Wiji ImantorobyLambang Wiji Imantoro
17 April 2025
in Analisis, Artikel
Reading Time: 4 mins read
126 8
A A
0
Ilustrasi keadilan

Sumber: Freepik

153
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Dalam beberapa tahun terakhir, kelas menengah Indonesia berada dalam pusaran tekanan ekonomi yang tidak ringan. Kenaikan harga kebutuhan pokok seperti bahan pangan, energi, dan transportasi telah mereduksi ruang belanja masyarakat, khususnya mereka yang berada di antara garis rentan dan mapan yakni kelas menengah.

Di saat bersamaan, beban pajak yang harus mereka tanggung belum banyak mengalami penyesuaian yang mencerminkan kondisi aktual di lapangan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah struktur perpajakan Indonesia, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), masih proporsional terhadap kemampuan riil masyarakat?

Struktur Pajak Kelas Menengah

Struktur PPh orang pribadi Indonesia menggunakan sistem progresif, dengan tarif yang meningkat seiring naiknya penghasilan. Per tahun 2023, individu dengan penghasilan hingga Rp50 juta dikenakan tarif 5 persen, penghasilan antara Rp50 juta hingga Rp250 juta dikenai tarif 15 persen, lalu naik menjadi 25 persen untuk penghasilan hingga Rp500 juta. Di atas Rp500 juta hingga Rp5 miliar tarifnya mencapai 30 persen, dan bagi mereka yang berpenghasilan lebih dari Rp5 miliar, tarif mencapai 35 persen.

Di atas kertas, sistem ini tampak adil karena memberikan beban lebih besar kepada mereka yang berpenghasilan lebih tinggi. Namun, jika kita telisik lebih dalam, kelas menengah justru menjadi kelompok yang paling rentan terjepit oleh sistem ini. Pendapatan mereka tidak cukup tinggi untuk merasakan insentif atau kelonggaran pajak, tapi cukup besar untuk dikenai tarif yang memberatkan, apalagi ketika dikombinasikan dengan beban hidup yang terus meningkat.

Isu krusial lainnya adalah stagnasi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Pemerintah terakhir kali menaikkan batas PTKP pada tahun 2016, yaitu sebesar Rp54 juta per tahun untuk wajib pajak orang pribadi lajang. Sejak saat itu, inflasi terus meningkat, namun PTKP tidak mengalami penyesuaian berarti.

Artinya, dalam kondisi daya beli yang tertekan oleh harga-harga kebutuhan pokok yang naik, masyarakat kelas menengah harus tetap membayar pajak seolah tidak terjadi perubahan situasi ekonomi. Ketika inflasi tahun 2022 tercatat mencapai 5,5 persen dan pada 2023 sempat menyentuh 3,5 persen, maka stagnasi PTKP telah menggerus nilai riil pendapatan masyarakat secara signifikan.

Hal lain yang tak bisa dilepaskan dari diskusi ini adalah PPN. Pajak konsumsi ini bersifat regresif—artinya, dalam proporsi terhadap pendapatan, masyarakat berpenghasilan lebih rendah justru membayar lebih banyak pajak dibanding yang kaya. Dengan kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada tahun 2022, dan rencana kenaikan lebih lanjut menjadi 12 persen dalam beberapa waktu ke depan, beban ini akan semakin berat.

Kelas menengah, yang belanjanya masih sangat tergantung pada pengeluaran kebutuhan dasar, tentu menjadi korban paling terdampak. Ketika masyarakat harus membayar lebih untuk makanan, listrik, transportasi, hingga pendidikan anak, PPN ikut menggerus setiap rupiah dari pendapatan yang sudah pas-pasan.

Di tengah tekanan ekonomi ini, pendapatan kelas menengah juga tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan. Data BPS menunjukkan bahwa upah riil pekerja, terutama di sektor formal perkotaan, stagnan selama beberapa kuartal terakhir. Dengan kata lain, pendapatan nominal yang diterima sebagian besar tidak mengalami pertumbuhan berarti, bahkan cenderung menurun setelah disesuaikan dengan inflasi.

Sebagai contoh, rata-rata upah riil buruh di Indonesia pada awal 2024 berada di kisaran Rp2,6 juta per bulan—hanya sedikit lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, dan itu pun tidak mengimbangi laju kenaikan harga barang dan jasa. Sementara itu, konsumsi rumah tangga yang merupakan motor utama perekonomian Indonesia mulai menunjukkan pelemahan, dengan pertumbuhan hanya 4,47 persen pada kuartal IV 2023, lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya.

Pertanyaan mendasar kemudian muncul: apakah beban pajak ini mencerminkan asas keadilan yang menjadi prinsip utama dalam sistem perpajakan modern? Dalam praktiknya, kelas menengah tidak hanya menanggung PPh dan PPN, tapi juga pajak-pajak lain seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Materai, dan berbagai pungutan daerah.

Namun mereka tidak memiliki kapasitas finansial dan legal untuk melakukan penghindaran pajak seperti yang dilakukan korporasi besar atau individu superkaya. Di sisi lain, mereka juga tidak cukup miskin untuk mendapatkan bantuan sosial atau insentif fiskal yang selama ini dirancang untuk kelompok rentan. Maka, kelas menengah menjadi kelompok “tertangkap sistem”, terjebak dalam kewajiban namun luput dari perhatian.

Padahal, peran kelas menengah dalam perekonomian sangat strategis. Mereka merupakan motor konsumsi, tulang punggung penerimaan pajak, sekaligus sumber stabilitas sosial dan politik. Jika kelompok ini terus didera beban fiskal tanpa pertimbangan kapasitas riil, maka risiko demoralisasi fiskal akan semakin besar. Orang enggan membayar pajak karena merasa sistemnya tidak adil. Efek jangka panjangnya bukan hanya pada penerimaan negara, tetapi juga terhadap legitimasi kebijakan fiskal secara keseluruhan.

Merancang Ulang Sistem Perpajakan

Diperlukan reformasi menyeluruh untuk menyesuaikan sistem perpajakan dengan realitas sosial ekonomi saat ini. Penyesuaian PTKP perlu dipertimbangkan ulang secara berkala, mengikuti laju inflasi tahunan. Pemerintah juga bisa mengevaluasi kembali tarif PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok, dengan opsi menurunkan tarif bagi kelompok barang tertentu yang menjadi konsumsi dominan kelas menengah dan bawah. Selain itu, sistem insentif fiskal bisa diperluas bukan hanya untuk pelaku usaha besar atau start-up teknologi, tetapi juga untuk rumah tangga kelas menengah yang mengeluarkan biaya besar untuk pendidikan, kesehatan, atau perumahan.

Sistem perpajakan yang adil bukan hanya soal meningkatkan penerimaan negara, tapi juga membangun kepercayaan publik. Ketika masyarakat merasa bahwa kontribusinya diapresiasi dan dibalas dengan layanan publik yang layak serta beban yang proporsional, maka kepatuhan sukarela akan meningkat. Sebaliknya, jika masyarakat merasa dipajaki secara tidak adil di tengah tekanan hidup yang meningkat, maka risiko perlawanan pasif seperti penghindaran pajak akan semakin besar.

Di tengah iklim ekonomi yang masih tidak menentu, pemerintah harus mengambil langkah afirmatif untuk menjaga daya beli dan semangat partisipasi fiskal kelas menengah. Mereka bukan hanya pembayar pajak, tetapi juga penjaga stabilitas sosial yang jika dikecewakan, akan menggerus fondasi ekonomi itu sendiri.

author avatar
Lambang Wiji Imantoro
See Full Bio
Tags: EkonomiKelas MenangahPPhPPNPTKP
Share61Tweet38Send
Previous Post

Jalan Terjal Indonesia Menuju High-Income Country

Next Post

Manajemen Pelaporan SPT PPh Badan Guna Minimalisasi Terbitnya SP2DK

Lambang Wiji Imantoro

Lambang Wiji Imantoro

Related Posts

Artikel

Memahami PSPK 1 untuk Laporan Keberlanjutan

1 Agustus 2025
Piagam Wajib Pajak
Artikel

Membangun Keseimbangan Hak dan Kewajiban Melalui Taxpayers’ Charter

28 Juli 2025
Little kid grow plant with eco icon symbolize natural preservation for future sustainable generation by growing plant to reduce carbon emission and using ESG green technology. Reliance
Artikel

Membongkar Mitos ESG

28 Juli 2025
Artikel

Apakah Sertifikasi ESG Menambah Nilai Perusahaan?

28 Juli 2025
Artikel

ESG sebagai Strategi Nilai Jangka Panjang

28 Juli 2025
Artikel

Tren Implementasi Laporan Keberlanjutan

25 Juli 2025
Next Post
SPT PPh Badan

Manajemen Pelaporan SPT PPh Badan Guna Minimalisasi Terbitnya SP2DK

uji coba perdagangan karbon difokuskan pada sektor energi, terutama pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.

SDGs dan Strategi Keberlanjutan Bisnis Perusahaan

Ilustrasi tax ratio

Menuju Tax Ratio 23% di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1477 shares
    Share 591 Tweet 369
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    999 shares
    Share 400 Tweet 250
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    955 shares
    Share 382 Tweet 239
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    812 shares
    Share 325 Tweet 203
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    768 shares
    Share 307 Tweet 192
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.