Bisnis.com | 11 Juni 2021
Rencana kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok tanpa mengerek tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2020 makin menegaskan bahwa pemerintah serius dalam upaya mengubah struktur penerimaan, yakni mengandalkan pajak konsumsi.
Melalui kenaikan HJE, pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan menampung lebih banyak penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sementara itu, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), otoritas fiskal mengusulkan skema multitarif yakni mengganti tarif tunggal yang sebelumnya 10 persen menjadi tarif umum 12 persen.
Dengan demikian, terbatasnya setoran cukai lantaran tidak adanya kenaikan CHT mampu terkompensasi melalui penerimaan PPN. Mengacu pada UU No. 39/2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11/1995 tentang Cukai, tarif cukai rokok paling tinggi sebesar 57 persen dari harga dasar jika yang digunakan HJE.
Saat ini, harga paling rendah Sigaret Putih Mesin (SPM) adalah Rp1.790 dengan tarif per batang Rp935 atau naik 52 persen.
Sumber Bisnis yang dekat dengan otoritas kepabeanan dan cukai mengatakan, mengacu pada data tersebut pada dasarnya pemerintah masih bisa mengutak-atik tarif meskipun cukup terbatas, baik dari sisi cukai maupun HJE.
Namun dengan mempertimbangkan kenaikan cukai rokok pada tahun ini yang tinggi, yakni rata-rata sebesar 12,5 persen opsi untuk tidak menaikkan CHT pada 2022 cukup besar.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, menahan besaran tarif cukai dan menaikkan HJE bertujuan untuk tetap menjaga potensi penerimaan tanpa mengabaikan sisi pengendalian.
Langkah ini wajar dilakukan mengingat industri hasil tembakau cukup sensitif terhadap kebijakan pemerintah. Selain itu, ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan untuk menetapkan kebijakan cukai rokok.
Di sisi lain, dalam konteks optimalisasi penerimaan, kenaikan HJE akan mengurangi ruang kenaikan tarif. Artinya, tarif bisa naik namun terbatas.
“Bisa saja kenaikan HJE karena beban cukai terhadap HJE sudah tinggi. Karena dalam UU Cukai kita, batas maksimal beban cukai terhadap HJE adalah 57 persen,” kata dia kepada Bisnis, Kamis (10/6).
Faktor lain yang cukup rasional adalah tidak relevannya kenaikan tarif pada penerimaan cukai dewasa ini. Artinya, kenaikan tarif belum tentu mendorong pertumbuhan penerimaan. “Dalam fungsi budgetaire, dalam mengambil kenaikan tarif pemerintah perlu kehati-hatian,” ujarnya.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan, kenaikan cukai hasil tembakau sudah pernah digagas ketika penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dan PPN tertekan.
Akan tetapi, kontribusi cukai jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan PPh maupun PPN terhadap total penerimaan perpajakan. Dengan demikian, cukup masuk akal apabila pemerintah lebih mengandalkan PPN dibandingkan cukai.
Di sisi lain, menaikkan tarif cukai rokok berdampak besar terhadap industri, sehingga pemerintah perlu menghitung dengan cermat.
“Kenaikan pajak apapun, termasuk cukai, dapat menambah penerimaan. Tetapi, risikonya adalah perilaku konsumen akan terpengaruh berupa penurunan permintaan jika daya beli konsumen tetap,” ujarnya.
Saat dimintai konfirmasi, Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Syarif Hidayat mengatakan sejauh ini masih belum ada keputusan terkait dengan kebijakan tarif cukai rokok untuk tahun depan.
Artikel ini telah tayang di laman Bisnis.com dengan link https://m.bisnis.com/amp/read/20210611/259/1404071/cukai-hasil-tembakau-tak-naik-strategi-pemerintah-ke-arah-pajak-konsumsi pada 11 Juni 2021.