Bisnis.com | 2 Juni 2021
Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 12 persen dinilai menghambat pemulihan konsumsi masyarakat yang selama ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, kebijakan ini dinilai merongrong daya beli masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 konsumsi rumah tangga menopang 57,66% distribusi Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, jika konsumsi tertekan maka jalan pemulihan ekonomi makin terjal.
“Kenaikan tarif PPN ini akan memberatkan proses pemulihan ekonomi nantinya karena ini akan berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat,” kata Yusuf kepada Bisnis, Selasa (1/6/2021).
Dia menambahkan, kebijakan ini akan berdampak pada seluruh masyarakat, baik kalangan pekerja formal maupun informal. Persoalannya, pekerja informal sejauh ini masih belum mampu memperoleh penghasilan sejalan dengan pembatasan aktivitas sosial.
Yusuf menyadari pemerintah tengah fokus untuk melakukan penyehatan fiskal setelah sejak tahun lalu bekerja ekstra keras untuk menangani dampak pandemi Covid-19. Namun, menurutnya tidak selayaknya pemerintah menelurkan kebijakan yang berkaitan dengan daya beli atau konsumsi.
“Upaya konsolidasi fiskal harus beriringan pada upaya pemulihan. Di sisi lain, pemerintah masih bisa mendorong kenaikan penerimaan pajak melalui cara lain baik intensfikasi maupun ekstensifkasi.”
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan perluasan basis pajak menjadi opsi terbaik yang bisa dipilih oleh pemerintah ketimbang menaikkan tarif PPN yang memiliki risiko besar.
“Lebih tepat jika basis pajak diperluas sehingga nonobjek pajak akan makin kecil. Menaikkan tarif akan membuat distorsi pajak lebih besar,” kata dia.
Sekadar informasi, kenaikan PPN telah dilakukan oleh banyak negara untuk mendulang penerimaan dan menggerakkan ekonomi. Akan tetapi tidak semuanya berhasil.
Jepang menjadi salah satu negara yang gagal menerapkan strategi ini untuk menggerakkan ekonomi. Faktanya, PDB Jepang sekitar 70% ditopang oleh sektor jasa.
Dengan kata lain, Indonesia memiliki risiko kegagalan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Jepang karena terlalu mengandalkan konsumsi untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pun mencatat, menaikkan PPN bukan menjadi strategi jitu untuk mendukung konsolidasi fiskal karena bersentuhan langsung dengan daya beli dan konsumsi.
Sebaliknya, BKF justru menilai konsolidasi fiskal akan jauh lebih efektif jika menggunakan strategi pemangkasan belanja atau spending cuts untuk beberapa sektor yang dianggap bukan prioritas.
“Praktik konsolidasi fiskal di beberapa negara dilakukan dengan lebih menekankan spending cuts dibandingkan dengan upaya peningkatan penerimaan. Sebab spending cut cenderung mengakibatkan upaya penurunan defisit lebih efektif,” tulis laporan BKF yang dikutip Bisnis.
Artikel ini telah tayang di laman Bisnis.com dengan link https://m.bisnis.com/amp/read/20210602/259/1400224/kenaikan-ppn-bakal-hambat-pemulihan-konsumsi-masyarakat pada 02 Juni 2021.