Bisnis Indonesia | 15 Agustus 2022
Penulis: Dwi Purwanto (Governance Analyst di Pratama-Kreston Tax Research Institute)
Tepat 8 Juni 2022, Presiden Joko Widodo secara resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2022 tentang Perubahan Atas PP No. 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ada sejumlah poin yang mencuri perhatian, antara lain larangan direksi, komisaris dan dewan pengawas BUMN terlibat politik praktis dan pertanggungjawaban direksi, komisaris dan dewan pengawas jika BUMN yang dikelolanya merugi. Pertanyaannya, apakah PP baru ini berimplikasi pada pengelolaan BUMN, terutama memastikan BUMN tidak terseret dalam politik praktis?
Sebenarnya bukanlah hal baru karena baik PP No. 45/2005 maupun PP No. 23/2022 melarang direksi, komisaris dan dewan pengawas menjadi pengurus partai politik. Namun, yang menarik dalam beleid ini adalah aturan mengenai Business Judgement Rule (BJR).
Justifikasi parameter legal soal BJR dapat dilihat dalam Pasal 27 ayat (2a) dan Pasal 59 ayat (2a) PP No. 23/2022, yang mengatur tentang batasan-batasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada direksi, komisaris dan dewan pengawas atas risiko keputusan atau pengawasan yang telah mereka ambil.
Berdasarkan pasal tersebut, direksi, komisaris dan dewan pengawas tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan jika dapat membuktikan empat hal. Pertama, kerugian bukan karena kelalaiannya. Kedua, telah melakukan pengurusan/pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian. Ketiga, tidak mempunyai benturan kepentingan atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian. Keempat, telah mengambil tindakan/memberikan nasihat untuk mencegah timbulnya kerugian.
Selain itu, ketentuan mengenai BJR juga diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 59 ayat (3) PP No. 23/2022 yang menyatakan bahwa atas nama Perum, Menteri dapat mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap direksi dan dewan pengawas yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian bagi Perum.
Soal Menteri dapat mengajukan gugatan ke pengadilan, ini merupakan bagian dari pembaruan konsep BJR. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak menimbulkan pendapat subjektif mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan kepada direksi dan dewan pengawas. Jika melihat perubahan aturan yang ada, PP baru ini seharusnya tidak berimplikasi pada pengelolaan BUMN. Hal tersebut justru menjadi penguat bahwa pemerintah sangat concern menjaga kredibilitas pimpinan BUMN dalam mengelola perusahaan.
Secara politik, revisi aturan baru tersebut juga membatasi jabatan direksi, komisaris dan dewan pengawas dari pengurus partai, bukan melarang anggota atau kader partai politik (parpol) menjadi pimpinan BUMN. Jadi, selama kader parpol tidak terdaftar dalam struktur pengurus partai, mereka masih diperbolehkan menjadi pimpinan BUMN.
Reformulasi BJR
Menurut Black’s Law Dictionary, BJR adalah peraturan yang melindungi direksi dan pengurus perusahaan dari tanggung jawab atas kerugian perusahaan akibat transaksi yang dilakukan oleh direksi dan pengurus perusahaan.
Di Indonesia, BJR sebenarnya telah tersirat dalam Pasal 97 ayat 2 UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu prinsip kehati-hatian dan itikad baik. BJR juga diadopsi dalam Pasal 5 ayat 3 UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yang menekankan BJR dalam prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).
Meskipun Indonesia telah mengadopsi BJR dalam bentuk UU, tetapi pengujian terhadap keputusan bisnis direksi belum mendapat perhatian serius dari pengadilan. Sebaliknya, pengujian keputusan bisnis direksi justru dilakukan melalui perkara tindak pidana korupsi.
Hal tersebut terlihat dalam perkara yang melibatkan Mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, terkait akuisisi blok minyak Basker, Manta, dan Gummy di Australia, di mana dalam putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan mengadili tindakan Karen Agustiawan sebagai tindak pidana korupsi. Namun, di tingkat kasasi, dia dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum karena keputusan bisnisnya berdasarkan prinsip-prinsip BJR.
Berbeda dengan kasus Mantan Dirut Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan terkait dengan penyewaan pesawat Boeing 737-500 dan Boeing 737-400. Meskipun pendapat ahli dalam persidangan menyatakan keputusan bisnisnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, tetapi dalam putusan MA dinyatakan bahwa terdakwa Hotasi terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama.
Apabila dilihat dari permasalahan hukum yang terjadi, penerapan BJR di Indonesia masih perlu ditata ulang secara sistematis. Pasalnya, pengujian BJR yang diamanatkan dalam UU tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Terdapat tiga cara untuk merumuskan kembali BJR. Pertama, perlu dibuat pasal-pasal tertentu yang berkaitan dengan BJR dan menggunakan istilah BJR secara eksplisit. Hal ini untuk menghindari inkonsistensi penafsiran di antara para penegak hukum.
Kedua, memasukkan unsur BJR, yang menyatakan bahwa direksi dan komisaris tidak dapat dituntut jika keputusan bisnisnya didasarkan pada informasi dan data yang cukup, andal, dan rasional. Selain itu, keputusan yang diambil tidak mengandung unsur kecurangan dan penyalahgunaan jabatan serta tidak memperoleh keuntungan pribadi dari keputusan tersebut.
Ketiga. pemerintah perlu mempertimbangkan perumusan ulang konsep BJR secara lebih tegas dan rinci. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan penafsiran yang menyesatkan di kalangan penegak hukum dan menghindari potensi kriminalisasi terhadap keputusan bisnis direksi dan komisaris.
Artikel ini telah tayang di laman koran Bisnis Indonesia pada 15 Agustus 2022 dengan tautan:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20220815/9/1566759/opini-jalan-menghindari-pemidanaan-bumn