Bisnis.com | 31 Juli 2024
Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat meyakini penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok tak akan terdampak akibat adanya larangan penjualan rokok eceran sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 17/2023 tentang Kesehatan.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono Prianto menuturkan bahwa penerimaan cukai sesuai UU Cukai dan PMK No. 68/2024 tidak terpengaruh oleh pemberlakuan PP No. 28/2024. “Cukai telah dibayar oleh pabrikan atau importir sebelum konsumen akhir membeli rokok. Jadi, pembeli rokok eceran tanpa satuan per batang masih tetap menanggung cukai rokok tersebut,” tuturnya, Rabu (31/7/2024).
Prianto menjelaskan pelunasan cukai untuk hasil tembakau dilakukan dengan cara melekatkan pita cukai pada hasil tembakau sebagai barang kena cukai (BKC), sebagaimana dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 68/2024.
Sementara itu, terdapat dua cara pelekatan pita cukai pada kemasan penjualan hasil tembakau (rokok). Pertama, pelekatan pita cukai atas rokok yang dibuat di Indonesia dilakukan di dalam pabrik. Kedua, pelekatan pita cukai atas rokok yang diimpor untuk dipakai dilakukan di negara asal barang kena cukai, di Tempat Penimbunan Sementara atau di Tempat Penimbunan Berikat.
Dengan kata lain, cukai telah lebih dahulu dibayar oleh perusahaan rokok, baik di pabrik maupun di Penimbunan Berikat, sebelum beredar di masyarakat. Melihat aturan PP No.28/2024 yang mengatur lokasi penjualan rokok hingga jumlah minimal rokok yang dijual, memang terdapat potensi penurunan produksi dan penerimaan cukai. Jauh ke depan, Prianto menilai sekalipun terjadi penurunan produksi dan penurunan penerimaan cukai rokok akibat kenaikan harga rokok dan pengetatan penjualan, hal tersebut menandakan bahwa target pemerintah dalam mengendalikan konsumsi rokok tercapai.
“Jadi, ketika penerimaan cukai menurun karena penerapan PP No. 28/2024, pemerintah masih dapat mencapai target pengendalian dan upaya mengatasi dampak negatif dari rokok,” jelasnya. Sementara itu, Kementerian Keuangan mencatat penerimaan cukai terkontraksi sebesar 3,9% dipengaruhi oleh turunnya cukai hasil tembakau sepanjang semester I/2024.
Utamanya, akibat kebijakan relaksasi penundaan pelunasan cukai dan total produksi hasil tembakau yang tumbuh namun mengalami downtrading. Hal tersebut berdampak pada penurunan CHT dari Gol I sekitar Rp4,5 triliun, sementara Gol II meningkat Rp0,3 triliun.
Senada, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto menyampaikan bahwa pengetatan penjualan rokok tersebut tidak akan berdampak pada penerimaan cukai.
Pada dasarnya, pajak berupa cukai dengan tujuan untuk mengendalikan objek cukai, mengawasi peredaran, mengatasi dampak negatif dari objek cukai, dan/atau menambah penerimaan negara.
“Untuk penjualan rokok eceran, itu bagi penerimaan negara enggak [berdampak], karena penjualannya kan dari pabrik, itu sudah per pak [bungkus],” katanya saat ditemui di Kantor Pusat Bea Cukai, Rabu (31/7/2024).
Sebelumnya pada 26 Juli 2024, Jokowi resmi meneken beleid terkait pelarangan penjualan rokok secara eceran. Tercantum dalam pasal 434 ayat (1) huruf c, disebutkan bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.
Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Jokowi Larang Penjualan Rokok Eceran, Bakal Turunkan Penerimaan Cukai?”, Klik selengkapnya di sini: https://ekonomi.bisnis.com/read/20240731/259/1787100/jokowi-larang-penjualan-rokok-eceran-bakal-turunkan-penerimaan-cukai.