Bisnis Indonesia | 31 Juli 2023
Dwi Purwanto (Governance Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies)
Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan enam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki tingkat kepatuhan pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di bawah 60%. Menurut data KPK, dari enam BUMN, 155 pejabat tinggi BUMN belum melaporkan LHKPN-nya, padahal tingkat kepatuhan LHKPN di BUMN telah mencapai 99,5%.
Keenam BUMN tersebut adalah PT Pengembangan Pariwisata Indonesia dengan tingkat kepatuhan 28,13%; PT Dok dan Perkapalan Surabaya 33,33%. Kemudian, PT Boma Bisma Indra 38,46%; PT Dirgantara Indonesia 45,45%; PT Aviasi Pariwisata Indonesia 50%; dan PT Indah Karya 53,85%.
Menteri BUMN Erick Thohir mengaku kecewa dan akan menindak tegas lantaran masih ada pejabat tinggi BUMN yang tidak patuh dalam menyampaikan LHKPN. Hal ini dikarenakan penyampaian LHKPN telah menjadi kewajiban bagi seluruh pejabat tinggi BUMN yang dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Selain itu, LHKPN dapat menjadi instrumen penting untuk mengawasi potensi kecurangan di dalam institusi yang menaungi banyak BUMN tersebut. Pengisian LHKPN juga telah menjadi komitmen bersama di Kementerian BUMN untuk menjunjung tinggi nilai-nilai transparansi dan mewujudkan Good Corporate Governance (GCG).
Pernyataan KPK tersebut membuktikan bahwa transparansi dan akuntabilitas pejabat tinggi BUMN dalam pelaporan LHKPN masih menjadi persoalan di BUMN. Oleh karena itu, langkah Menteri BUMN untuk menindak tegas pejabat BUMN yang tidak melaporkan LHKPN-nya sudah tepat. Dalam hal ini, perlu diberikan sanksi yang tegas agar pejabat BUMN memenuhi kewajibannya dalam menyampaikan LHKPN.
Pelaporan harta kekayaan bagi pejabat publik dipandang sebagai salah satu cara yang efektif untuk mencegah dan mengendalikan korupsi di beberapa negara. Istilah yang sering di gunakan di berbagai negara adalah assets disclosure atau wealth reporting, sedangkan di Indonesia istilah yang digunakan adalah LHKPN.
Kewajiban melaporkan LHKPN dinilai efektif sebagai media untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pejabat dan lembaga publik. Pasalnya, pelaporan LHKPN dapat menguji integritas para penyelenggara negara dan menimbulkan rasa takut di kalangan penyelenggara negara untuk berbuat korupsi.
Pelaporan LHKPN juga akan menanamkan kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab (karakter etis) di antara penyelenggara negara. Selain itu, potensi konflik kepentingan antara tugas publik penyelenggara negara dengan kepentingan pribadinya dapat dideteksi. Lebih lanjut, pelaporan LHKPN dapat menjadi bukti awal atau pendukung untuk penyidikan dan penuntutan kasus korupsi.
Untuk menjamin direksi, dewan komisaris, dan pejabat struktural bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, pemerintah melalui UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk melaporkan kekayaannya dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan sesudah menjabat.
Pelaporan LHKPN ditujukan kepada KPK sebagaimana diatur dalam UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa KPK berwenang untuk mendaftarkan dan memeriksa LHKPN. Sementara itu, penyampaian LHKPN dilakukan dengan cara mengisi aplikasi e-lhkpn pada website https://elhkpn.kpk.go.id atau cara lain yang ditetapkan oleh KPK.
Agar penyampaian LHKPN dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif, Sekretaris Kementerian BUMN melalui SK-16/S.MBU/2012 telah menetapkan persyaratan bagi BUMN untuk menyusun pedoman pengelolaan kepatuhan dan penyampaian LHKPN. Pedoman tersebut antara lain berisi tentang pejabat BUMN yang ditetapkan sebagai penyelenggara negara yang wajib menyampaikan LHKPN kepada KPK.
Pedoman tersebut juga memuat tentang pejabat perusahaan yang ditugaskan untuk berkoordinasi dengan KPK mengenai pengelolaan LHKPN di perusahaan. Selain itu, pedoman ini juga dapat memuat kebijakan/peraturan mengenai pengenaan sanksi terhadap penyelenggara negara yang tidak menyampaikan LHKPN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, aturan hukum yang mewajibkan pejabat BUMN untuk melaporkan LHKPN tidak sepenuhnya dipatuhi oleh seluruh pejabat tinggi BUMN. Hal ini dikarenakan sanksi administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak tegas, sehingga pejabat BUMN tidak sepenuhnya patuh dalam penyampaian LHKPN.
Untuk itu, pemerintah diharapkan melakukan reformasi dengan menerbitkan regulasi yang lebih detail terkait pelaporan LHKPN, khususnya mengenai pengenaan sanksi bagi pejabat BUMN yang tidak melaporkan LHKPN-nya. Peraturan tersebut dapat berupa peringatan dan sanksi, seperti penghentian pembayaran tunjangan kinerja, penundaan kenaikan jabatan, dan yang paling ekstrem adalah mencopot jabatannya.
Ke depan, pemberian sanksi yang tegas diharapkan dapat secara efektif mendorong penyelenggara negara untuk lebih tertib dalam melaporkan harta kekayaannya. Selain itu, dengan sanksi tegas dalam peraturan perundang-undangan, LHKPN akan efektif dalam mencegah terjadinya korupsi di BUMN.