Presiden Prabowo Subianto menegaskan urgensi reformasi sistem perpajakan bagi kelompok Ultra High Net Worth Individuals (UHNWI) demi mewujudkan keadilan fiskal yang selama ini timpang di Indonesia. Selama ini, pemerintah mengandalkan PPh Pasal 21 dari pekerja bergaji untuk menopang sebagian besar penerimaan negara, sementara kelompok superkaya—yang kekayaannya mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah—nyaris luput dari beban pajak proporsional. Kondisi ini menggerus kepercayaan publik dan berpotensi melemahkan basis pembiayaan pembangunan nasional.
Menurut The Wealth Report 2024, Indonesia memiliki sekitar 1.479 UHNWI mereka yang memiliki kekayaan bersih minimal US$ 30 juta dan diproyeksikan tumbuh 34 % hingga 2028, menjadikan Indonesia salah satu pasar UHNWI dengan laju pertumbuhan tercepat di Asia. Pertumbuhan jumlah orang superkaya ini menunjukkan besarnya potensi basis pajak yang belum tergarap. Namun ironisnya, kontribusi mereka pada penerimaan negara selama 2023 hanyalah 0,00011 % atau sekitar Rp 2,06 miliar.
Sebaliknya, para buruh yang dipajaki melalui PPh Pasal 21 menyumbang sekitar 11,1 % atau hampir Rp 201,36 triliun terhadap total penerimaan negara. Fakta ini mencerminkan beban berat yang ditanggung kelas menengah ke bawah, sementara kelompok terkaya menikmati celah-celah pajak yang sangat luas. Ketimpangan ini tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga berimplikasi pada kepercayaan dan solidaritas sosial.
Untuk menambal jurang keadilan fiskal tersebut, pemerintah perlu menerapkan pajak kekayaan bersih tahunan (net wealth tax) dengan ambang minimal Rp 100 miliar setelah dikurangi utang. Kebijakan ini akan mengenakan tarif progresif mulai 0,5 % untuk kekayaan Rp 100–500 miliar, 1 % untuk Rp 500 miliar–1 triliun, dan 1,5–2 % untuk kekayaan di atas Rp 1 triliun—sejalan dengan praktik di Spanyol, Norwegia, dan Swiss. Skema ini mampu menjangkau total aset, bukan sekadar aliran pendapatan, sehingga basis pajaknya jauh lebih luas.
Sebagai pelengkap, Indonesia sebaiknya bergabung dalam kerangka pajak minimum global (global minimum tax) yang dikembangkan EU Tax Observatory, menetapkan tarif paling rendah 2 % per tahun bagi miliarder dengan kekayaan di atas US$ 1 miliar. Langkah ini akan mencegah arbitrase pajak melalui struktur offshore dan mempersempit celah penghindaran melalui transfer pricing. Dengan demikian, keseragaman tarif minimal internasional memperkuat posisi tawar Indonesia dalam kerjasama perpajakan lintas negara.
Selanjutnya, pengenaan pajak atas capital gains dan dividen perlu diperkuat. Pemerintah dapat menaikkan tarif capital gains hingga 20 %, ditambah levy sosial 1–2 % untuk mendanai program kesejahteraan, serta meningkatkan inclusion rate ke 66 % atas keuntungan modal di atas ambang tertentu. Kebijakan ini akan memastikan bahwa setiap keuntungan yang dihasilkan dari investasi dan aset modal turut berkontribusi secara adil.
Tak kalah penting adalah penerapan estate & inheritance tax secara progresif, dengan tarif 20–45 % untuk nilai warisan di atas Rp 50–100 miliar. Instrumen ini telah efektif meredam akumulasi kekayaan antargenerasi di Jepang dan Amerika Serikat, serta mencegah terbentuknya dinasti ekonomi yang memperlebar jurang sosial. Estate tax juga menjadi alat strategis untuk menghimpun dana publik demi kepentingan umum.
Untuk memastikan semua kebijakan di atas berjalan efektif, perlu dibentuk Satgas Pajak Khusus UHNWI di bawah Direktorat Jenderal Pajak. Satgas ini bertugas memantau transaksi aset, melakukan audit lintas-data (SPT versus kepemilikan riil), dan menjalin kerjasama perbankan serta pertukaran informasi otomatis dengan yurisdiksi tax haven. Penguatan sanksi administratif dan pidana bagi pelaporan kekayaan yang tidak benar juga harus menjadi bagian integral dari upaya ini.
Akhirnya, pemerintah dapat memberikan insentif filantropi untuk mendorong kontribusi produktif dari UHNWI, misalnya potongan hingga 50 % dari kewajiban net wealth tax apabila mereka menyalurkan minimal 5 % kekayaan bersihnya ke sektor pendidikan, kesehatan, atau pengentasan kemiskinan. Dengan rangkaian kebijakan ini, Indonesia tidak hanya akan meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, tetapi juga memperkuat keadilan fiskal dan memupuk semangat solidaritas antarkelompok masyarakat.