KOMPAS.ID | 14 September 2023
Rokok memang bermuka dua. Ia bisa menyehatkan ekonomi negara, tetapi mengganggu kesehatan warga. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau diharapkan bisa menengahi dua eksternalitas yang bertolak belakang itu. Namun, kebijakan itu ibarat bumerang yang memancing maraknya peredaran rokok ilegal dan berbalik menggerus potensi pendapatan negara.
Asap pekat mengepul dari lapangan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea Cukai Jawa Timur I, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (13/9/2023), saat jajaran pejabat bea cukai membakar tumpukan hasil tembakau atau rokok ilegal yang dikumpulkan dalam empat tong pembakaran.
Siang itu, bea cukai memusnahkan barang-barang ilegal berupa 15,8 juta batang rokok hasil tembakau (HT), 10.500 gram tembakau iris (TIS), dan 1.595 liter minuman mengandung etil alkohol (minuman keras) yang didapat dari hasil penindakan sejak tahun 2022. Potensi kerugian negara dari peredaran barang-barang ilegal itu mencapai Rp 10,04 miliar.
Kepala Kantor Bea Cukai Wilayah Jatim II Agus Sudarmadi mengatakan, belakangan ini rokok ilegal semakin marak beredar dengan modus penjualan yang kian beragam.
”Ada yang dijual di toko kelontong, diedarkan secara daring atau lewat perusahaan jasa titipan, sampai dijual antarwilayah dengan memakai kendaraan pribadi dan umum. Distribusinya semakin kompleks, bahkan sampai dijual ke luar negeri,” kata Agus.
Sebagian besar barang ilegal yang dimusnahkan siang itu merupakan barang kena cukai polos alias tidak ditempeli pita cukai. Namun, banyak pula ditemukan modus penjualan rokok ilegal yang memakai pita cukai yang tidak sesuai peruntukan golongannya.
”Biasanya untuk menghindari tarif yang lebih tinggi, pengusaha menengah-besar yang produksi mesin memakai pita cukai yang seharusnya untuk industri kecil yang produksinya SKT (sigaret kretek tangan). Sebab, kita kan punya tarif afirmasi, untuk yang menggunakan buruh, tarifnya lebih kecil daripada yang menggunakan mesin. Celah ini yang dimanfaatkan,” katanya.
Maraknya peredaran rokok ilegal telah diantisipasi ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2023 dan 2024 rata-rata 10 persen. Kenaikan itu diterapkan pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek putih (SKP). Kenaikan tarif CHT yang berimbas pada harga rokok memang kerap berbanding lurus dengan merebaknya peredaran rokok ilegal.
Penerimaan turun
Peredaran rokok ilegal menjadi salah satu alasan yang membuat target penerimaan cukai hasil tembakau tahun ini berpotensi tidak tercapai. Sampai Agustus 2023, realisasi penerimaan cukai rokok adalah Rp 126,8 triliun atau 54,53 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 sebesar Rp 232,5 triliun.
Menurut Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto, potensi tak tercapainya target penerimaan itu antara lain disebabkan oleh peredaran rokok ilegal yang semakin menjadi-jadi, tren migrasi konsumsi rokok ke golongan yang lebih murah (downtrading), dan peralihan konsumsi ke rokok elektrik.
Tren penerimaan cukai hasil tembakau yang terus menurun sudah terasa sejak awal tahun. Mengutip laporan realisasi kinerja APBN per semester I tahun 2023 atau sampai Juni 2023, pemasukan dari CHT tercatat sebesar Rp 102,38 triliun, turun 12,61 persen dari capaian tahun sebelumnya, atau 43,15 persen dari target.
Pemerintah pun merevisi target penerimaan cukai rokok tahun ini menjadi lebih rendah, yakni Rp 218,1 triliun atau 93,8 persen dari target semula di APBN 2023.
Di satu sisi, hal ini patut diwaspadai. Sebab, selama ini, cukai rokok menjadi penyumbang setoran cukai terbesar. Kontribusinya terhadap total penerimaan cukai selalu berada di kisaran 95-96 persen, meski masih tetap di bawah porsi kontribusi penerimaan pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Evaluasi Ulang
Meski demikian, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menilai, menurunnya penerimaan dari cukai rokok tidak perlu terlalu dipermasalahkan. Sebab, fungsi utama cukai bukan untuk menaikkan penerimaan negara, melainkan untuk mengatur konsumsi rokok dan menekan prevalensi merokok di masyarakat.
”Sebenarnya tidak masalah jika penerimaan turun karena fungsi utamanya bukan untuk itu. Bahkan, kalau lihat porsinya di penerimaan APBN itu kecil sekali, nyaris tak terlihat,” katanya.
Akan tetapi, jika ditilik dari fungsi utamanya, kebijakan kenaikan tarif CHT rata-rata 10 persen itu pun belum berhasil memenuhi tujuan. Sebab, masyarakat hanya bergeser mengonsumsi rokok dengan golongan lebih rendah, rokok elektrik, atau rokok ilegal.
Oleh karena itu, menurut Prianto, pemerintah perlu mengevaluasi ulang kebijakan kenaikan tarif CHT, apalagi mengingat tarif yang sama akan berlaku sampai tahun 2024. Salah satu opsinya, pemerintah dapat menaikkan tarif cukai untuk rokok golongan rendah dan rokok elektrik sembari lebih gencar menindak peredaran rokok ilegal.
Mumpung sekarang RAPBN 2024 sedang dibahas, ini bisa diusulkan agar bisa dimasukkan dalam UU APBN dan nanti peraturan pelaksananya tinggal melalui peraturan pemerintah,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, pemerintah juga perlu melihat dampak dari penerapan kenaikan tarif CHT itu pada tren penerimaan negara. Apalagi, saat ini tren penerimaan dari pajak pun sedang melambat akibat dinamika perekonomian global yang lesu.
”Kebijakan tarif yang berlaku saat ini bisa mengakibatkan potensi penurunan cukai juga di tahun 2024. Variasi kenaikan cukai harus dilihat berdasarkan kinerja cukai masing-masing golongan. Kalau melihat tren sekarang ini, penerimaan lewat rokok golongan I (tarif termahal) berpotensi akan terus turun,” kata Tauhid.
Artikel ini telah tayang di laman Kontan.co.id dengan judul “Menangkal Bumerang Cukai Rokok” pada 14 September 2023, dengan tautan berikut :
https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/09/13/menangkal-bumerang-cukai-rokok