Bisnis Indonesia | 22 November 2021
Otoritas fiskal mulai melakukan penyesuaian tarif pajak untuk menjaga belanja perpajakan atau tax expenditure tetap dalam kendali. Pada tahap awal, pengetatan tarif diterapkan untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah kendaraan bermotor.
Perubahan tarif itu tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.010/2021 tentang Penetapan Jenis Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Tata Cara Pengenaan, Pemberian, dan Penatausahaan Pembebasan, dan Pengembalian PPnBM.
Dalam beleid itu, otoritas fiskal menetapkan tarif PPnBM terendah untuk kategori kendaraan bermotor penumpang kurang dari 10 orang sebesar 15%.
Adapun dalam ketentuan yang selama ini beraku, tarif terendah tercatat sebesar 10%. Kenaikan ini sejalan dengan besarnya bobot PPnBM di dalam belanja perpajakan.
Pada tahun lalu, misalnya, dari total belanja perpajakan Rp234,9 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM menyumbang Rp140,4 triliun.
Pun dengan tahun-tahun sebelumnya, kedua jenis pajak yang merefleksikan tingkat konsumsi masyarakat di Tanah Air ini selalu memuncaki peringkat terbesar dalam komponen belanja perpajakan.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, pengetatan ini menunjukkan bahwa tarif murah atas pajak konsumsi belum mampu berdampak besar pada ekonomi.
Selain itu, menurutnya, kebijakan ini juga makin menegaskan bahwa insentif pajak yang dikucurkan selama ini kurang tepat sasaran sehingga membebani belanja perpajakan.
“Kebijakan ini tidak terhindarkan karena pemerintah dalam memberikan insentif pajak juga memperhatikan skala prioritas kepada kelompok yang betul-betul membutuhkan,” katanya kepada Bisnis, Kamis (21/10).
Yusuf menambahkan, kenaikan tarif PPnBM tersebut juga mengindikasikan bahwa target pemerintah memberikan keringanan dengan tujuan meningkatkan konsumsi masyarakat kelas menengah ke atas tidak tercapai dengan maksimal.
Faktanya, masyarakat kelompok ini selama pandemi Covid-19 lebih memilih untuk menyimpan dananya di bank dan menahan belanja seiring dengan adanya kekhawatiran mengenai ketidakpastian ekonomi.
“Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi bisa mencapai target yang ditetapkan pemerintah, seharusnya konsumsi masyarakat kelompok penghasilan menengah ke atas bisa kembali secara bertahap,” jelasnya.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menambahkan, pertumbuhan ekonomi nasional ditopang oleh sektor konsumsi, terutama rumah tangga.
Alhasil, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan konsumsi masyarakat termasuk dengan menggelembungkan belanja perpajakan pada PPN dan PPnBM.
“Tax expenditure policy atau kebijakan fiskal ekspansif dengan insentif PPN dan PPnBM harapannya orang pribadi mau membelanjakan uangnya,” kata Prianto.
Secara tidak langsung, kebijakan ini juga menguatkan arah kebijakan pemerintah dalam jangka panjang yakni dengan mengubah dominasi penerimaan pajak dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan atau pajak korporasi ke pajak atas konsumsi.
UU HPPHal ini pun sejalan dengan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun depan serta menghapus skema multitarif.
Dihapuskannya skema multitarif otomatis memantapkan posisi PPnBM sebagai salah satu pe-nopang penerimaan negara dari pajak atas konsumsi.
“Sumber penerimaan baru akan difokuskan ke PPN atas konsumsi dalam negeri. Agar bisa lebih optimal, akhirnya pemerintah merasa perlu meningkatkan basis penerimaan pajak dari PPN,” ujar Prianto.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor tidak memberikan jawaban secara tegas bahwa kenaikan tarif ini berdasarkan pada porsi PPN dan PPnBM yang besar di dalam komponen belanja perpajakan.
Dia hanya mengatakan bahwa Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.010/2021 merupakan bentuk penyesuaian kebijakan mengenai jenis kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM.
Selain itu, aturan ini merupakan salah satu wujud implementasi atas arah kebijakan industri dan teknologi transportasi di Indonesia pada masa depan sesuai dengan roadmap pemerintah untuk menciptakan kendaraan rendah karbon.
“Peraturan ini bertujuan mempercepat penurunan emisi gas buang yang bersumber dari kendaraan bermotor dan mendorong penggunaan kendaraan bermotor yang hemat energi dan ramah lingkungan,” kata Neil.
Artikel ini telah tayang dilaman YLC Tax and Law Consulting dari laman Bisnis Indonesia, pada 22 November 2022.