Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhir-akhir ini mengungkapkan adanya kekurangan penerimaan pajak sebesar Rp 56,5 triliun pada tahun 2024. Hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait potensi kemungkinan terulangnya shortfall di tahun 2025 serta dampak yang menyertainya terhadap postur anggaran negara. Menanggapi hal ini, praktisi pajak, Dr. Prianto Budi Saptono, Ak., CA., M.B.A, menjelaskan bahwa kemungkinan tersebut tetap ada, namun optimisme tetap menjadi fondasi dalam merancang target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bagi pembuat kebijakan.
Prianto yang juga seorang dosen di Universitas Indonesia menganalisis bahwa jika dilihat postur penerimaan APBN, terdapat dua jenis pajak yang menjadi andalan bagi pemerintah dalam penerimaa pajak, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Mengapa demikian? Hal ini karena ketika kondisi ekonomi yang membaik, daya beli masyarakat yang meningkat. Dengan demikian, kedua jenis pajak ini akan turut terkerek naik.
Pertama, Penerimaan PPh, khususnya PPh badan, disokong oleh sektor tambang dan sumber daya alam. Di penghujung tahun 2024, tercatat setoran PPh Pasal 25 mulai meningkat kembali. Hal ini mengindikasikan sektor pertambangan mengalami pemulihan. Selain itu, PPh Pasal 21 mendapatkan dorongan dari perluasan objek pajak berupa imbalan natura serta kenaikan tarif progresif hingga 35%.
Kinerja PPh Badan di 2024 menunjukkan tren yang membaik yang terlihat dari semakin kecil kontraksi yang terjadi setiap bulan. Di sisi yang lain, peningkatan kinerja penerimaan PPh Pasal 21 masih dipengaruhi oleh faktor utilisasi dan upah tenaga kerja. Sementara kinerja dari PPh Final masih tumbuh yang didukung oleh peningkatan penerimaan sejalan dengan kenaikan aktivitas transaksi dan ekonomi yang membaik.
Kedua, penerimaan PPN ditopang utamanya oleh penerimaan dari PPN, khususnya PPN Dalam Negeri (PPN DN) dan PPN Impor dan aktivitas impor manufaktur (PPN impor) dengan kontribusi masing-masing sebesar 61,42 persen dan 34,85 persen terhadap total penerimaan PPN/PPnBM. Pemulihan sektor manufaktur dan konsumsi diharapkan dapat menopang pertumbuhan penerimaan pajak dari PPN di 2025.
Dikutip dari APBN KiTA Desember 2024, Tercatat secara nominal, penerimaan Pajak terutama berasal dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Nonmigas Rp885,77 triliun dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM) Rp707,76 triliun.
Perlukah Adanya APBN Perubahan?
Sehubungan dengan potensi peningkatan kebutuhan anggaran dan banyaknya nomenklatur di 2025, pilihan APBN Perubahan pun pasti ada. Namun, di Januari 2025 ini nampaknya terlalu dini bagi pemerintah untuk melakukan revisi anggaran karena pertimbangan potensi desifit. Artinya, APBN P belum menjadi pilihan yang relevan di awal tahun ini.
Apabila pemerintah bermaksud melakukan revisi atas anggarannya, triwulan ketiga biasanya akan menjadi waktu yang tepat bagi pemerintah. Hal ini karena pemerintah sudah dapat melihat realisasi penerimaan pajak di semester pertama sekaligus membuat proyeksi untuk semester kedua.
Meskipun terdapat kekhawatiran pada APBN tahun 2024 yang tidak mencapai target, setidaknya aktivitas ekonomi masyarakat dari sisi konsumsi terus bergerak positif di tengah tekanan ekonomi global. Hal ini dikuatkan pada data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang tetap kuat berada pada level 125,9 di November 2024 lalu.
Hal ini menjadi sangat penting karena mengindikasikan penguatan optimisme masyarakat terhadap perkembangan ekonomi ke depan. Apabila IKK kuat dengan menunjukkan tren yang positif, pemerintah bisa lebih optimistis terhadap pencapaian target penerimaan pajak, khususnya dari sektor konsumsi. Sebaliknya, jika IKK melemah, kekhawatiran akan shortfall (kekurangan) penerimaan pajak cenderung meningkat.
Pemerintah akan terus mengoptimalkan peranan APBN sebagai shock absorber, yaitu meredam guncangan ekonomi, menjaga stabilitas makro, dan melindungi daya beli masyarakat di tengah tekanan global. Dalam hal ini, pemerintah dapat menggunakan instrumen fiskal seperti subsidi, insentif pajak, atau program pengaman sosial untuk menjaga perekonomian tetap stabil.
Mengingat APBN selalu menjadi instrumen penting dan diandalkan untuk menjaga ekonomi dan masyarakat sekaligus mewujudkan program prioritas nasional, pemerintah perlu dengan sangat cermat menjaga APBN agar tetap stabil. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga APBN tetap stabil sekaligus mencapai target penerimaan pajak, pemerintah pun telah menyipakan berbagai langkah strategis, salah satunya mencakup intensifikasi dan ekstensifikasi.