Kontan | 9 September 2021
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengajukan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap jasa pendidikan sebesar 7%. Maka jasa pendidikan tak lagi dikecualikan dalam lingkup non Jasa Kena Pajak (JKP). Wacana tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Beleid ini kini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan, pemerintah dengan legislatif sangat berhati-hati dalam pembahasan wacana PPN atas jasa pendidikan. Ia bilang, sejauh ini, pemerintah sudah mendengarkan saran dari berbagai stakeholders. Hasil sementara, seluruh jasa pendidikan merupakan obyek PPN yang terutang pajak atas konsumsi tersebut. Namun, untuk jasa pendidikan yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak seperti sekolah negeri tetap mendapatkan fasilitas pengecualian PPN.
“Kita bukan mengenakan pajaknya, tapi ingin mengadministrasikan sekaligus mengafirmasi lembaga pendidikan taat, komit kepada pendidikan yang nirlaba itu,” kata Prastowo dalam acara kerjasama Kontan dan Kompas TV; B-Talk, Rabu (8/9). Anggota Panja RUU KUP dari Fraksi PDIP Said Abdullah membeberkan sejauh ini, pembahasan dengan pemerintah, bahwa PPN akan dikenakan kepada sekolah yang tidak menjalankan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) atau tidak berorientasi nirlaba. Misalnya, sekolah internasional yang umumnya menelan biaya ratusan juta per tahun. Sehingga, asas ability to pay dalam perpajakan Indonesia bisa dirasakan antara sekolah negeri dengan sekolah swasta internasional. Hanya saja, Prastowo enggan memastikan hal tersebut. Namun yang jelas, sejalan dengan Said, pemerintah mengedepankan asas keadilan perpajakan dalam sistem perpajakan.
Meski begitu, Prastowo menyampaikan sekolah yang terutang PPN tersebut bisa dikecualikan dari pengenaan PPN. Sebagai contoh, jika ada lembaga pendidikan yang mengafirmasikan beasiswa untuk pelajar tidak mampu. Kemudian, memberikan subsidi silang untuk pendidikan di daerah terpencil atau tertinggal. “Ini untuk mendorong fairness kalau ada jasa pendidikan yang memang tidak afirmatif pada misi pendidikan nirlaba akan didorong. Itu akan didorong untuk dikecualikan dari pengecualian pajak,” kata Prastowo.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Center Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai, rencana tersebut sebaiknya dikubur dalam-dalam oleh pemerintah. Sebab, Prianto mengatakan penerimaan pajak tidak akan bertambah pesat dengan pengenaan PPN atas jasa pendidikan.
Menurutnya, hal tersebut justru berpotensi menimbulkan restitusi PPN di kemudian hari. Tak hanya itu, ini juga akan membuat tugas wajib pajak yang terutang PPN. Alhasil, wajib pajak terkait akan menambah biaya guna memenuhi compliance pajak. Karena meskipun ada jasa pendidikan yang dikecualikan PPN, tapi ada tetap harus lapor Surat Pemberitahuan (SPT), membuat faktur PPN, dan administrasi pajak baru lainnya. “Namun demikian, beban PPN itu akhirnya di konsumen akhir bagi sekolah tidak masalah, bebannya di konsumen akhir peserta didik ini dan orang tua murid,” ujar Prianto kepada Kontan.co.
Artikel ini telah tayang di laman Kontan.co.id dengan link https://newssetup.kontan.co.id/news/kemenkeu-beberkan-kriteria-sekolah-yang-bakal-kena-pungutan-ppn-7?page=2 pada 9 September 2021.