Bisnis Indonesia | 06 Oktober 2021
Target konsolidasi fiskal pada 2023 yang berat membuat pemerintah batal mewujudkan janji pemangkasan tarif pajak penghasilan badan menjadi 20% pada tahun depan.
Semula, dalam UU No 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, pemerintah bertahap menurunkan PPh badan dari 25% menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021, lalu berkurang menjadi 20% pada 2022.
Tarif tersebut berlaku bagi wajib pajak dalam negeri dengan ketentuan berbentuk perseroan terbuka, dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada Bursa Efek Indonesia paling sedikit 40%.
Namun, keputusan itu dibatalkan dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang baru saja disepakati pemerintah dengan Panitia Kerja RUU HPP di Komisi XI DPR, Kamis (30/9/2021) malam. Bab III pasal 17 ayat (1) huruf b menyebutkan tarif pajak atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 22% yang berlaku mulai tahun pajak 2022.
Ketua Panja RUU KUP Dolfie O.F.P mengatakan pembatalan relaksasi pajak korporasi akibat pandemi Covid-19 itu karena pemerintah dan DPR mempertimbangkan aspek kesinambungan fiskal. Pemerintah menargetkan konsolidasi fiskal pada 2023 yang mewajibkan batas maksimal defisit APBN kembali di bawah 3% terhadap produk domestik bruto.
“PPh badan tetap 22% untuk memperkuat fiskal menuju konsolidasi pada tahun 2023,” kata Dolfie saat dihubungi, Minggu (3/10/2021).
Namun, lanjutnya, pemerintah akan tetap memberikan berbagai stimulus dan insentif untuk meringankan beban pelaku usaha dan menjaga momentum pemulihan ekonomi tahun depan kendati tarif PPh badan batal dipangkas.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor tidak bersedia memaparkan alasan pemerintah membatalkan pengurangan tarif PPh badan sebagaimana dijanjikan dalam UU No. 2/2020.
“Penerapan tarif PPh badan tersebut merupakan hasil pembahasan dengan DPR,” ujarnya saat dihubungi.
RUANG GERAK SEMPIT
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menilai pembatalan pemangkasan tarif pajak korporasi ini makin menegaskan pemerintah memiliki ruang gerak yang sempit untuk menyeimbangkan fiskal.
Menurutnya, opsi ini mengacu pada keterbatasan rasionalitas para pembuat kebijakan. Musababnya, pemerintah tengah menghadapi sejumlah kendala untuk mewujudkan konsolidasi fiskal pada 2023.
Pertama, kendala keterbatasan ruang fiskal.
Kedua, praktik penghindaran pajak di luar negeri atau offshore tax evasion yang marak.
Ketiga, pemerintah memilih untuk tidak menegakkan aturan (law enforcement) dengan cara enforced compliance.
“Ini pilihan rasional pembuat kebijakan yang tidak mungkin mengakomodasi semua kepentingan dan semua usulan,” ujar Prianto.
Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Samsul Hidayat menyayangkan pembatalan ini karena dunia usaha membutuhkan keringanan pajak di tengah kegiatan ekonomi yang masih lesu.
Menurutnya, pembatalan pemangkasan tarif PPh akan membuat perusahaan terpaksa menyesuaikan kembali rencana anggaran yang sudah disusun. Namun, pembatalan ini tidak serta-merta menggerus laba bersih perusahaan.
“Mungkin lebih tepatnya penurunan potensi keuntungan karena pembatalan tarif pajak yang baru,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menganggap pemangkasan tarif PPh badan yang semula bertujuan meringankan beban pebisnis selama pandemi sebagai pemberat pencapaian target penerimaan pajak tahun depan yang tadinya direncanakan Rp1.262,9 triliun dalam RAPBN 2022.
Dia mengatakan penerimaan pajak pada tahun depan belum bisa terakselerasi menyusul kelanjutan pemangkasan tarif pajak korporasi. Apalagi, PPh badan selama ini menjadi penyumbang terbesar penerimaan pajak.
“Kalau ekonomi lebih kuat kita akan mendapat penerimaan pajak lebih besar. Namun, kebetulan PPh badan akan kembali turun sebesar 20%. Ini yang menyebabkan penerimaan pajak tidak kuat,” kata Menkeu (Bisnis, 30/8/2021).
Pernyataan itu dia tegaskan kembali dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (23/9/2021). Menurutnya, penerimaan pajak belum dapat menyamai level prapandemi antara lain karena penurunan tarif PPh badan sejak medio 2020 hingga kini.
“Penerimaan 2021 dengan 2019 itu tidak apple to apple karena kita kehilangan 3% dari PPh badan,” ujar Sri Mulyani.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak Januari-Agustus 2021 tercatat Rp741,3 triliun, lebih rendah 8,07% dari pencapaian periode yang sama pada 2019 senilai Ro801,2 triliun.
Artikel ini telah tayang dilaman Bisnis Indonesia dengan link https://bisnisindonesia.id/article/konsolidasi-fiskal-berat-janji-pemangkasan-pph-diingkari pada 06 Oktober 2021