Bisnis Indonesia
Penulis: Ismail Khozen (Senior Policy Analyst at Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies)
Setelah Presiden Joko Widodo resmi mencabut status pandemi di Indonesia akhir Desember tahun lalu, Direktur Jenderal WHO pada 5 Mei kemarin juga resmi mencabut status darurat Covid-19 secara global.
Dengan keberhasilan kita melalui pandemi, menarik untuk diulas terkait bagaimana pandemi ini memengaruhi aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Serta yang tidak kalah penting untuk dibahas adalah mengenai peran penting pajak dalam menjaga stabilitas dan prospeknya untuk akselerasi ekonomi ke depan.
Sebagai pengingat, sekitar 161.547 orang meninggal akibat Covid-19 sejak pengumuman kasus pertama pada Maret 2020 (Bisnis.com, 11/5/2023). Secara global, Covid-19 telah mengakibatkan sekitar 14,8 juta kematian antara 2020 dan 2021.
Bagi sebagian orang, angka-angka tersebut hanya statistik yang mudah saja terlupakan. Namun, bagi mereka yang kehilangan keluarga tercinta, satu angka saja sudah cukup membuat hati teriris dengan rasa perih yang tidak pernah benar-benar pulih.
Tidak hanya memengaruhi kesehatan, pandemi juga berdampak terhadap ekonomi dengan cara yang sebelumnya belum pernah kita alami. Pertumbuhan ekonomi terkontraksi hingga minus 2,07%, angka terendah sejak krisis moneter 1998.
Banyak usaha yang gulung tikar dan jutaan orang kehilangan mata pencaharian. Laporan Bappenas (2021) memperkirakan bahwa lebih dari 3,9 juta keluarga di Indonesia kembali terperangkap di jurang kemiskinan pada tahun pertama pandemi.
Selama masa-masa sulit ini, pajak berperan penting dalam menstabilkan perekonomian (Alessandrini, 2021). Pemerintah sangat terbantu dengan penerimaan pajak yang, meskipun pandemi, tetap memberikan kontribusi stabil terhadap lebih dari setengah dana di kas negara. Alokasi dana yang efektif dari pemerintah patut diapresiasi, khususnya dalam mendukung program bantuan sosial, memperkuat sektor kesehatan, dan merangsang pertumbuhan ekonomi.
Sejak awal pandemi, pemerintah telah menjalankan setidaknya sebelas program jaring pengaman sosial bagi rumah tangga miskin dan rentan (Bappenas, 2021). Sebagai contoh, bantuan sosial diberikan dalam bentuk sembako dan bantuan langsung tunai hingga Rp 600.000 per keluarga.
Layanan kesehatan gratis juga diberikan untuk pasien Covid-19, dengan klaim dari rumah sakit kepada pemerintah mencapai Rp40,6 triliun pada tahun 2020 dan Rp90,2 triliun pada tahun 2021 (Kemenkes, 2022).
Tanpa kebijakan tersebut, jumlah korban mungkin akan lebih tinggi lagi karena biaya pengobatan Covid-19 yang kemungkinan tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat. Sebagai gambaran, pemerintah mengeluarkan rata-rata Rp 184 juta untuk perawatan satu pasien Covid-19, hampir setara biaya rata-rata di Amerika Serikat yang sekitar Rp 200 juta (Bartsch et al., 2020).
Selain itu, pajak juga dapat menjadi instrumen pelindung sosial. Struktur tarif progresif pada pajak penghasilan orang pribadi di Indonesia memang dirancang untuk menciptakan efek stabilisasi. Ini berarti, ketika ekonomi melambat maka pendapatan seseorang kemungkinan menurun, sehingga pajak yang perlu dibayar juga akan menurun.
Terlebih, pemerintah juga menyediakan insentif khusus pandemi seperti pembebasan pajak bagi karyawan dengan gaji setahun di bawah Rp 200 juta, insentif fiskal bagi pelaku usaha, dan berbagai keringanan pajak lainnya. Sampai bulan September 2021 saja, nilai insentif fiskal yang digelontorkan mencapai Rp 57,85 triliun. Insentif tersebut diberikan pemerintah agar masyarakat bisa bertahan dan pulih dari pandemi.
Kini ketika pandemi sudah berhasil teratasi, fokus kebijakan stimulus fiskal haruslah pada akselerasi pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Pemerintah perlu mengatasi stagnasi pertumbuhan ekonomi yang telah berlangsung lama. Selama dekade terakhir (kecuali 2020), pertumbuhan ekonomi kita stagnan di sekitar 5%.
Mencapai target pertumbuhan minimal di angka 6% hingga tahun 2035 sangatlah penting untuk mencegah Indonesia terjebak sebagai negara berpenghasilan menengah. Angka tersebut seperti estimasi yang dibuat Hardiana dan Hastiadi (2019) dalam “Globalization, Productivity, and Production Networks in ASEAN.”
Namun, upaya pemerintah mencapai target pertumbuhan tersebut jelas tidak akan mudah di tengah meningkatnya risiko resesi ekonomi dan ketidakpastian keuangan global. Invasi Rusia ke Ukraina sejak Februari tahun lalu telah meningkatkan ketegangan global. Kemungkinan konflik antara Amerika Serikat dan China, khususnya terkait Taiwan, semakin memperumit situasi.
Di tengah kondisi semacam inilah pemerintah dituntut untuk terus mencari celah bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Namun, halaman utama Bisnis Indonesia pada Jumat (9/6/2023) melaporkan hasil rapat kerja pemerintah dan komisi XI DPR yang justru memangkas batas bawah pertumbuhan ekonomi RI 2024, dari awalnya 5,3% menjadi 5,1%.
Perkembangan produksi dan industri di RI yang cenderung lebih mengarah ke padat modal daripada penggunaan tenaga kerja manusia (padat karya), semakin menjadi bandul berat bagi roda ekonomi. Pertumbuhan sektor padat karya masih belum sepenuhnya pulih seperti sebelum pandemi, yaitu dari awalnya 19,7% di tahun 2022. Hal ini menjadi sinyal bahaya di tengah bonus demografi kita, karena rakyat bisa saja tua sebelum kaya jika tidak dilakukan reformasi nyata.
Peluang bagi percepatan pertumbuhan ekonomi di tengah bonus demografi hanya dapat dicapai jika lingkungan kebijakan mendukung (Wang & Mason, 2007). Dalam hal ini, insentif fiskal lagi-lagi dapat menjadi kunci dalam mencapai tujuan tersebut, meskipun harus diberikan secara selektif terutama untuk industri padat karya dan berorientasi ekspor.
Dengan fokus mendorong pertumbuhan ekonomi sektor padat karya, pemerintah akan diuntungkan melalui penerimaan pajak dari korporasi dan individu, terutama para pekerja yang terserap oleh industri. Hal ini pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menghasilkan penerimaan pajak, yang selanjutnya akan menghadirkan siklus positif yang sangat mungkin berlangsung secara bersamaan di masa depan.
Artikel ini telah tayang di Koran Bisnis Indonesia pada 15 Juni 2023