Kontan.co.id | 21 Juli 2024
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah menghimpun penerimaan pajak dari sektor usaha ekonomi digital sebesar Rp 25,88 triliun per 30 Juni 2024. Namun penerimaan dari usaha ini dinilai masih tergolong rendah karena belum mencakup semua sektor.
Konsultan Pajak di PT Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Supraman mengatakan penerimaan pajak dari ekonomi digital yang disampaikan DJP terdiri dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE), pajak peer-to-peer (P2P) lending, dan pajak dari Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah.
“Artinya masih banyak pajak ekonomi digital yang belum dirangkum oleh Ditjen Pajak. Seperti penerimaan pajak dari marketplace dan penjualan dengan platform digital lainnya,” kata Raden kepada Kontan, Minggu (21/7).
“Bukan berarti Wajib Pajak yang jualan di marketplace tidak bayar pajak, tetapi karena keterbatasan Ditjen Pajak mendapatkan datanya,” tambahnya.
Raden menerangkan selama ini tidak ada kewajiban pemilik marketplace untuk melaporkan transaksi yang terjadi di marketplace kepada Ditjen Pajak.
Hal ini berbeda dengan PPN PMSE yang setiap bulan lapor PPN ke KPP Badan dan Orang Asing, P2P lending yang dilaporkan ke Ditjen Pajak melalui OJK, dan Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) yang memang sudah ada Peraturan Menteri Keuangan yang mewajibkan marketplace untuk memungut pajak, sehingga pajaknya langsung dilaporkan Ditjen Pajak.
Sementara itu, Pengamat sekaligus Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono skema pemungutan pajak ekonomi digital menggunakan skema khusus, baik di sistem PPh dan sistem PPN.
Pemerintah menggunakan kewenangannya sesuai Pasal 32A UU KUP atau sesuai revisi UU HPP untuk menunjuk pihak tertentu sebagai pemungut atau pemotong pajak.
“Tujuannya ada dua. Tujuan pertama adalah untuk meningkatkan realisasi potensi perpajakan. Tujuan kedua adalah untuk mengoptimalkan pengenaan pajak,” ujar Prianto kepada Kontan, Minggu (21/7).
Prianto menerangkan, pihak lain yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak terdiri dari subjek pajak baik dalam negeri (SPDN) maupun subjek pajak luar negeri (SPLN) dengan syarat tertentu.
Salah satu syaratnya adalah bahwa SPDN atau SPLN tersebut terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi. Contohnya adalah SPDN atau SPLN yang menyediakan sarana atau media transaksi, termasuk transaksi secara elektronik.
“Berdasarkan kondisi itu, peningkatan penerimaan pajak atas transaksi digital masih belum optimal. Salah satu penyebabnya adalah ketergantungan pemerintah pada kepatuhan sukarela dari pihak-pihak yang ditunjuk sebagai pemungut/pemotong pajak,” ujarnya.
Untuk menggenjot penerimaan pajak di sektor ekonomi digital, pemerintah perlu menambah pemotong/pemungut pajak dari SPDN dan SPLN ketika keduanya telah memenuhi persyaratan. Saat ini, salah satu acuan pemerintah untuk menunjuk SPDN atau SPLN sebagai pemungut PPN PMSE mengacu ke peraturan Menteri Keuangan No. 60/PMK.03/2022.
Artikel ini telah tayang di laman Kontan.co.id dengan judul “Penerimaan Pajak Ekonomi Digital Belum Mencakup Semua Sektor” pada 21 Juli 2024, melalui tautan berikut:
https://nasional.kontan.co.id/news/penerimaan-pajak-ekonomi-digital-belum-mencakup-semua-sektor