Bisnis.com | 04 November 2024
Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tampak masih mempertimbangkan penerapan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% pada 2025. Padahal, sebelumnya pemerintahan Presiden Jokowi selalu ngotot akan tetap menerapkan kenaikan tarif pajak tersebut.
Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 sendiri sudah menjadi amanat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Usai hasil Pilpres 2024 mulai terlihat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sempat menyatakan amat UU HPP tersebut akan tetap dilanjutkan oleh Presiden terpilih Prabowo.
“Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. Tentu kalau berkelanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN,” katanya dalam media briefing, Jumat (8/3/2024).
Saat itu, Airlangga menyampaikan bahwa pemerintah mulai menyusun rencana kerja pemerintah (RKP) untuk tahun anggaran 2025. Pembahasan RKP ini akan juga memasukkan program atau rencana kerja pemerintahan yang baru.
Usai Presiden Jokowi menyampaikan draf RUU APBN 2025 ke DPR pada medio Agustus lalu, Airlangga kembali menyatakan tarif PPN akan tetap naik 1% pada awal 2025 selama aturan dalam Pasal 7 ayat (1) UU HPP belum dibatalkan dengan UU lain.
“[Tetap naik 12%] sesuai dengan HPP,” ujar Airlangga di Kantor Pusat Dirjen Pajak, Jakarta Selatan, Jumat (16/8/2024). Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merasa bingung karena banyak pihak yang menyoroti rencana kenaikan tarif PPN tersebut.
Padahal, menurutnya, kenaikan PPN malah akan menjaga daya beli masyarakat. Sri Mulyani menjelaskan bahwa barang/jasa untuk kebutuhan pokok seperti pendidikan, kesehatan, hingga transportasi tidak terkena PPN. Oleh sebab itu, dia menunjukkan data bahwa masyarakat kelas menengah hingga kaya merupakan kelompok yang paling banyak menikmati kebijakan PPN yang dibebaskan.
“Kalau kita lihat yang biru tua di atas ini [kebijakan PPN yang dibebaskan], mereka dinikmati bahkan lebih pada kelompok kelas menengah bahkan sampai ke atas [kelompok kaya] dalam hal ini,” ungkap Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RAPBN 2025 di Kantor Pusat Dirjen Pajak, Jakarta Selatan, Jumat (16/8/2024).
Singkat cerita, pemerintahan berubah. Presiden Jokowi resmi digantikan Presiden Prabowo. Ternyata, nasib kenaikan tarif PPN seakan turut berubah.
Usai melaksanakan rapat koordinasi terbatas dengan para kementerian yang dibawahinya, Airlangga yang kembali menjadi menteri koordinator bidang perekonomian menyatakan kenaikan tarif PPN akan dibahas ulang. Artinya, masih ada kemungkinan pembatalan kenaikan tarif PPN pada awal tahun depan—kemungkinan yang sempat dipinggirkan ketika era pemerintahan Jokowi.
“Masih dibahas dengan Kementerian Keuangan. Jadi kita masih akan ada pembahasan [terkait kenaikan tarif PPN menjadi 12%],” kata Airlangga usai rapat koordinasi terbatas di kawasan Jakarta Selatan, Minggu (3/11/2024).
Pro-Kontra PPN 12%
Pernyataannya, kenapa pemerintah ngotot menaikkan tarif PPN? Ternyata pakar memperkirakan bahwa kenaikan tarif PPN sebesar 1% dari 11% menjadi 12% pada 2025 mampu mengerek penerimaan negara setidaknya senilai Rp73,76 triliun.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengungkapkan nilai tersebut didapat dari asumsi berdasarkan target PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dalam APBN 2024 yang senilai Rp811,36 triliun. “Jika pada 2025 tarif PPN naik menjadi 12% dan DPP diasumsikan tetap, PPN-nya akan mencapai Rp885,12 triliiun. Kenaikannya senilai Rp73,76 triliun,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (13/3/2024).
Kendati demikian, survei dari Inventure bertajuk Indonesia Industry Outlook 2025 ternyata menunjukkan bahwa 92% kelas menengah ingin Prabowo membatalkan atau merevisi kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai alias PPN menjadi 12%. Founding Chairman Indonesia Industry Outlook Yuswohady menjelaskan bahwa survei menanyakan kepada kelas menengah: apa saja kebijakan pemerintahan Presiden ke 7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang harus dibatalkan, direvisi, atau dilanjutkan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran? Hasilnya, kenaikan PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 menjadi yang paling banyak ditolak.
“[Total responden] 49% mengatakan sebaiknya dibatalkan, 43% direvisi [total 92%], dan hanya 7% yang meminta dilanjutkan Pak Prabowo,” kata Yuswohady dalam acara Indonesia Industry Outlook 2025 Conference di Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2024). Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memang menilai bahwa kenaikan tarif PPN akan lebih banyak memberi mudarat daripada manfaatnya.
Menurut Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti, pihaknya telah melakukan kajian atas dampak dari kenaikan PPN sebesar 12,5% pada 2021. Hasilnya, secara keseluruhan perekonomian mengalami kontraksi. Perinciannya: upah nominal atau riil turun 5,86%, indeks harga konsumen turun 0,84%, pertumbuhan ekonomi turun 0,11%, konsumsi masyarakat turun 3,32%, ekspor turun 0,14%, dan impor turun 7,02%.
“Ini angka skenario jika tarif PPN dinaikan jadi 12,5%, tetapi pada saat pemerintahan presiden terpilih Prabowo nanti Januari 2025 tarif PPN rencananya akan dinaikan 12%. Jadi kurang lebih angkanya sekitar ini,” ujar Esther dalam Diskusi Publik Indef secara daring, Kamis (12/9/2024). Dia menjelaskan, angka-angka tersebut didapat berdasarkan temuan bahwa ruang fiskal pemerintah cenderung kecil karena penerimaan negara dari pajak cenderung turun.
Tak hanya itu, dari sisi pengeluaran lebih condong ke pengeluaran rutin daripada belanja modal. Kalangan pengusaha juga sudah mengkritisi wacana kenaikan tarif PPN tersebut. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah mengkaji ulang pemberlakuan kebijakan tersebut karena kondisi perekonomian sedang mengkhawatirkan.
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menjelaskan bahwa sedang terjadi tren penurunan daya beli masyarakat dan jutaan kelas menengah turun kasta. Oleh sebab itu, Ajib menyarankan agar pemerintah mengambil jalan lain apabila ingin mendapatkan tambahan penerimaan negara.
Menurutnya, ada dua kebijakan yang bisa ditempuh. Pertama, pemerintah bisa menurunkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk tetap menjaga daya beli masyarakat. Sesuai dengan PMK No. 101/2016, besaran PTKP yaitu Rp54 juta per tahun atau ekuivalen dengan penghasilan Rp4,5 juta per bulan. “Pemerintah bisa menaikkan, misalnya, PTKP sebesar 100 juta. Hal ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan akan cenderung dibelanjakan, sehingga uang kembali berputar di perekonomian dan negara mendapatkan pemasukan,” ungkap Ajib dalam keterangannya, Senin (12/8/2024).
Kedua, pemerintah fokus mengalokasikan tax cost alias biaya pajak dengan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi lokomotif penggerak banyak gerbong ekonomi. Dia mencontoh sektor properti hingga sektor yang mendukung hilirisasi sektor pertanian, perikanan, dan peternakan.
“Namun, secara kuantitatif harus dihitung betul bahwa tax cost ini satu sisi tetap memberikan dorongan private sector [sektor swasta] tetap bisa berjalan baik, dan di sisi lain penerimaan negara harus menghasilkan yang sepadan sehingga fiskal bisa tetap prudent,” ujar Ajib.
Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “PPN Jadi 12%: Ngotot Diterapkan Jokowi, Dipikirkan Ulang Prabowo”, Klik selengkapnya di sini: https://ekonomi.bisnis.com/read/20241104/259/1812938/ppn-jadi-12-ngotot-diterapkan-jokowi-dipikirkan-ulang-prabowo.