Tirto.id | 31 Oktober 2024
tirto.id – Pemerintah kembali main mata menggali potensi penerapan pajak di sektor judi online. Hal ini disampaikan Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Anggito Abimanyu, yang menyebut terdapat potensi pajak besar dari aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy). Ia lantas mencontohkan: gim daring dan judi online sebagai sektor yang potensial ditarik pajak.
Ide menjadikan judi online sebagai sasaran pajak tentu bukan baru kali ini saja terlontar dari sisi pemerintah. Tahun lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi, mengungkapkan ada usulan kepadanya untuk menerapkan pajak judi online. Hal itu ia sampaikan saat rapat bersama Komisi I DPR RI, di Jakarta, Senin (4/9/2023) silam.
Belakangan, pernyataan Budi Arie mendapatkan banyak pertentangan dari berbagai pihak. Di tengah darurat judi online yang menjerat rakyat Indonesia, pemberian pajak di sektor ini dinilai sebagai pintu gerbang legalisasi judi online.
Wacana ini bahkan dinilai bertentangan dengan komitmen pemerintah yang selalu berkoar bakal memberantas judi online. Belakangan, Budi Arie turut membantah akan melegalkan judi online dan mengaku bukan dirinya yang mengusulkan ide pajak untuk judi online.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menegaskan tetap di posisi menolak ide pemberian pajak sektor judi online, seperti yang kembali dilontarkan Wamenkeu Anggito Abimanyu. Ia menjelaskan, pajak memang tidak mengenal halal-haram dan baik-buruk, namun menjadikan perkara haram dan buruk sebagai objek pajak sama saja dengan pemerintah melegalkan kegiatan tersebut.
“Saya masih berposisi seperti pajak judi online dilontarkan oleh Menkominfo waktu itu beberapa bulan yang lalu,” kata Huda dihubungi reporter Tirto, Rabu (30/10/2024).
Imbas pajak judi online, kata Huda, membuat para pelaku judi online memiliki dalih bahwa mereka sudah taat hukum. Pasalnya, aktivitas yang mereka lakoni menjadi sasaran pajak bagi pemasukan yang diakui negara. Hal ini akan membuat praktik judi online tumbuh subur dan lebih tak terkontrol ke depan.
Huda memandang, justru penyakit utamanya ada di praktik judi online. Aktivitas ini harusnya diobati agar sudah menjadi penyakit sosial yang menjangkit masyarakat.
“Saya rasa Anggito memang tidak pantas mengucapkan hal tersebut,” tegas Huda.
Pajak judi online berpotensi membuat masyarakat semakin banyak menggeluti aktivitas ini. Menurut Huda, negara juga tetap minim penerimaan sebab lebih banyak judi online ilegal yang sulit terdeteksi.
Adapun jika disasar kepada pejudi, secara natural bakal banyak yang berpotensi melanggar kewajiban pajak. Meskipun demikian, masyarakat kadung menormalisasi judi online sebab pemerintah dianggap telah menarik pajak dari aktivitas ilegal ini.
Pejudi akan semakin banyak karena menilai aktivitas ini sebagai cara cepat mencari uang. Terlebih, kata Huda, himpitan ekonomi di kelompok kelas menengah bawah semakin kuat. Saat ini, harga kebutuhan pokok melejit, pendapatan cuma naik sedikit, hingga ancaman kehilangan pekerjaan yang terus menguntit.
“Pemerintah jangan menciptakan kondisi yang semakin memberatkan masyarakat seperti kenaikan tarif pajak dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat tidak terbebani lebih dalam hidupnya,” ujar Huda.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menyatakan aktivitas judi saat ini merupakan objek hukum perdata dan pidana. Sedangkan penghasilan dari aktivitas judi memang bisa masuk menjadi objek hukum pajak.
Dari sisi perdata, ia menjelaskan, aktivitas judi online merupakan bagian dari kesepakatan perdata yang melibatkan sejumlah pihak. Sesuai Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata: ada empat syarat kesepakatan perdata seperti judi online bisa dianggap sah. Yakni, kesepakatan para pihak; para pihak cakap kegiatan; sepakat atas sesuatu; dan kesepakatan tidak boleh melanggar aturan alias klausa halal.
Namun, syarat berupa berupa klausa halal tidak akan mampu terpenuhi, sebab aktivitas dan transaksi judi online masih dilarang di hukum pidana berdasarkan asas legalitas. Judi online dilarang lewat Pasal 27 Ayat (2) UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE (Informasi & Transaksi Elektronik). Selain itu, judi juga dilarang pada Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
“Karena itu, perjanjian yang timbul dari aktivitas judi itu merupakan perjanjian yang tidak sah dan batal demi hukum. Aparat penegak hukum (polisi atau jaksa) dapat menerapkan sanksi pidana karena ada pelanggaran hukum pidana,” kata Prianto kepada reporter Tirto, Rabu.
Dengan demikian, kata Prianto, transaksi dari aktivitas judi online dapat disita oleh negara. Dengan begitu, penghasilan aktivitas judi online tidak dapat dikenai PPh. Meskipun, dalam Pasal 4 Ayat (1) UU PPh tidak membedakan penghasilan dari aktivitas legal atau ilegal.
Namun, UU PPh dapat mengenakan pajak penghasilan para pelaku judi online sepanjang aktivitas mereka tidak terungkap aparat penegak hukum. Sesuai beleid PPh, penghasilan berkaitan dengan tambahan kemampuan ekonomi (accretion concept of income).
Untuk dapat mengenakan PPh sesuai Pasal 4 Ayat (1) huruf p UU PPh, petugas pajak harus melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan. Petugas pajak tidak diwajibkan melihat asal muasal tambahan harta dan/atau tambahan konsumsi bersumber dari aktivitas legal atau ilegal.
Dengan begitu, pemberian pajak di sektor judi online tidak memberantas aktivitas haram ini. Sebaliknya, aktivitas judi online terus menyala dalam senyap jika penghasilan pejudi disasar menjadi objek pajak.
Menurut Prianto, selama aktivitas judi online masih tergolong sebagai aktivitas haram atau ilegal sesuai UU KUHP dan UU ITE, maka seharusnya potensi pajak underground economy tidak akan ada.
“Alasannya adalah karena aparat penegak hukum akan membasmi aktivitas ilegal tersebut. Dengan demikian, tidak ada penghasilan yang menjadi objek PPh,” ujar dia.
Mudarat Lebih Besar
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai akan lebih banyak mudarat pada rencana pajak sektor judi online jauh. Pemerintah perlu berpikir ulang karena selain akan membuat prasangka judi menjadi aktivitas legal, tentu bakal ada risiko politik yang besar dari wacana ini.
Ia menegaskan sampai saat ini, judi online merupakan praktik yang ilegal dan dilarang oleh aturan perundang-undangan. Meskipun aturan penerapan pajak penghasilan tak mengenal sumber penghasilan legal dan ilegal, namun rencana mengambil pajak dari judi online akan menjadi langkah yang kontradiktif.
“Satu sisi aparat penegak hukum (APH) punya kewajiban memberantas judi online, Komdigi wajib menutup akses judi online, tapi sisi lainnya otoritas pajak ingin para pelaku membayar pajak,” ujar Fajry kepada reporter Tirto, Rabu.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, sepakat dengan Fajry bahwa aturan pemberian pajak judi online akan berjalan kontraproduktif. Hal ini sama saja dengan mengecilkan upaya yang dilakukan aparat penegak hukum serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memberantas judi online.
Faisal menilai, judi online tidak seharusnya menjadi objek pajak karena akan membawa lebih banyak kerugian bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Bahaya sosial judi online begitu besar karena semakin meningkat dan mengancam nyawa warga yang terjerat utang sebab habis modal bermain judi.
“Ini adalah bagian daripada penyakit sosial yang semestinya itu malah diberantas oleh pemerintah bukan malah dibuat legal dengan memajaki,” ucap Faisal kepada reporter Tirto, Rabu.
Diberitakan sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Anggito Abimanyu, menyatakan ada potensi pajak besar dari aktivitas ekonomi bawah tanah atau underground economy seperti gim dan judi online. Sebab, penghasilan dari taruhan aktivitas gim dan judi online sangat sulit untuk terdeteksi.
“Dia melakukan online betting gitu. Sudah enggak bayar, sudah enggak kena denda, dianggap tidak haram. Enggak bayar pajak lagi,” kata Anggito dalam Rapat Terbuka Senat: Puncak Dies Natalis ke-15 & Lustrum III Sekolah Vokasi UGM, disiarkan dari YouTube PPID Sekolah Vokasi UGM, dikutip Selasa (29/10/2024).
Padahal, kata dia, semestinya siapa pun yang mendapatkan hadiah harus melaporkannya kepada negara, untuk kemudian pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akan menentukan apakah yang bersangkutan harus menyetorkan pajak penghasilan (PPh) atau tidak.
“Padahal kan dia menang itu. Kalau dia dapat winning, itu kan nambah PPh mestinya. Tapi kan enggak mungkin dia melaporkan penghasilan yang berasal dari judi, enggak mungkin,” imbuh dia.
Artikel ini telah dimuat pada Kontan.com dengan judul “Rencana Pajak Judi Online & Bahaya Sosial yang Makin Menyala” selengkapnya di sini:
https://tirto.id/rencana-pajak-judi-online-bahaya-sosial-yang-makin-menyala-g5fJ