Investor.id | 11 November 2024
JAKARTA, investor.id – Penerimaan pajak diperkirakan tidak mencapai target tahun ini yang ditetapkan sebesar Rp 1.988,9 triliun, karena realisasi penerimaan pajak sampai dengan Oktober 2024 baru mencapai Rp 1.517,5 triliun. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah masih harus mengumpulkan penerimaan sebesar Rp 471,4 triliun hingga akhir tahun ini.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, bila perhitungan berdasarkan kondisi yang ada bersifat tetap dan tidak berubah (ceteris paribus), maka penerimaan pajak pada akhir tahun ini hanya akan mencapai Rp 1.821,04 triliun.
“Proyeksi sebesar Rp 1.821,04 triliun dihitung berdasarkan Rp 1.517,53 triliun x 12 bulan/10 bulan. Dengan demikian, penerimaan pajak sampai dengan akhir 2024 diharapkan dapat mencapai 91,56%,” jelas Prianto kepada Investor Daily, Minggu (10/11/2024).
Prianto menuturkan, dengan waktu yang tersisa hanya dua bulan lagi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) harus melakukan sejumlah langkah untuk menggenjot penerimaan pajak. Pertama, menggalakkan intensifikasi melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan (SP2DK). Tujuan akhirnya adalah agar wajib pajak dapat melakukan pembetulan SPT (Surat Pemberitahuan) dengan hasil berupa penyetoran pajak tambahan.
“Cara SP2DK di satu sisi memberikan dampak positif untuk percepatan penerimaan pajak. Namun demikian, di sisi lain, ada potensi bahwa isi SP2DK tidak mengacu pada data yang kuat dan andal,” tutur Prianto.
Kedua, DJP Kemenkeu sering menggunakan pendekatan dinamisasi setoran pajak ketika wajib pajak perusahaan sedang mengalami tren peningkatan laba. Dengan demikian, DJP dapat meminta wajib pajak tersebut untuk menambah angsuran bulanan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25. Ketiga, meskipun ijon pajak sudah dilarang, secara empirik masih ditemukan bahwa kepala kantor pelayanan pajak (KPP) mengumpulkan para wajib pajak untuk menambah setoran pajak di dua bulan terakhir sebelum tutup tahun. Langkah ini dapat dilakukan jenis setoran pajaknya beragam dan bisa dilakukan dengan sejumlah cara.
Secara empirik, praktik penambahan setoran sulit untuk teridentifikasi. Namun demikian, salah satu caranya adalah bahwa wajib pajak, misalnya mencairkan deposito untuk tambahan setoran pajak akhir 2024. Selanjutnya, di awal tahun 2025, setoran pajak pada akhir tahun tersebut dipindahbukukan ke utang pajak lainnya.
“Cara ketiga tersebut tidak mempengaruhi rasio keuangan wajib pajak karena posisinya sama-sama di aset lancar (laporan posisi keuangan). Dengan kata lain, saldo deposito dan uang muka pajak sama-sama berada di pos aset lancar,” kata dia.
Berdasarkan data Kemenkeu realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.517,53 triliun per 31 Oktober 2024. Realisasi ini mencapai 76,3% dari target penerimaan pajak 2024. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2023, penerimaan pajak mengalami kontraksi 0,4%. Penerimaan pajak sebesar Rp 1.517,53 triliun terbagi dalam empat kelompok. Pertama yaitu PPh nonmigas sebesar Rp 810,76 triliun atau 76,24% dari target APBN dengan pertumbuhan bruto negatif 0,34%.
Kedua yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebesar Rp 620,42 triliun atau 76,47% dari target APBN. Jika dilihat secara bruto terjadi pertumbuhan bruto 7,87%. Pertumbuhan PPN dan PPnBM selaras dengan terjaganya konsumsi dalam negeri baik dari domestik maupun impor.
Ketiga, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya sebesar Rp 32,65 triliun atau 86,52% dari target APBN. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya terjadi pertumbuhan bruto 12,81%. Keempat adalah realisasi PPh migas sebesar Rp 53,7 triliun atau 70,31% dari target APBN. Realisasi ini menunjukkan kontraksi 8,97% dari periode yang sama tahun 2023.
Sementara itu, konsultan pajak PT Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menilai, dengan waktu yang tersisa pada penerimaan pajak tahun 2024 dinilai sulit untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Bila diasumsikan penerimaan di November 2024 sama seperti bulan-bulan sebelumnya, berarti penerimaan di bulan November 2024 di angka rata-rata penerimaan 10 bulan sebelumnya, yaitu di 7,6%. Artinya, sampai dengan Desember 2024, pencapaian penerimaan negara akan naik sekitar 19%, sehingga total penerimaan nasional sekitar 95% atau akan ada shortfall sekitar 5%.
“Menurut saya, tidak ada sektor usaha yang bisa mendongkrak penerimaan di akhir tahun 2024. Kondisi ekonomi sedang melandai karena nampaknya dampak dari pergantian presiden, sehingga mesin ekonomi masih bekerja di bawah normal,” ucap Raden.
Namun, dia menilai bahwa secara tradisi penerimaan di bulan Desember selalu besar di kisaran 9% sampai 12%. Hal ini berdasarkan porsi proyek yang dihabiskan di bulan Desember. Penerimaan besar di bulan Desember dikarenakan kebiasaan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang melaksanakan proyek di akhir tahun. Dengan demikian, pembayaran-pembayaran ke perusahaan konstruksi dilakukan di bulan Desember.
“Bahkan, proyek yang selesai di bulan Januari tahun berikutnya pun harus dibayarkan di bulan Desember. Prinsip anggaran negara itu, anggaran 2024 harus habis di tahun 2024. Jika tidak habis, wajib dikembalikan ke Bendahara Negara (Kementerian Keuangan),” kata dia.
Perluasan Basis Pajak
Sebelumnya, Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan pihaknya memperluas basis perpajakan dengan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Terutama dari data basis pajak yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam hal ini DJP melakukan perluasan basis pajak dengan potensi penerimaan pajak yang optimal.
“Kami mencoba untuk terus mencari sumber baru penerimaan melalui ekstensifikasi, dan juga intensifikasi terhadap sesuatu yang sudah terlaporkan di tahun-tahun sebelumnya. Juga kami melakukan pengawasan dan intensifikasi dinamisasi,” kata Suryo.
Dia mengatakan pihaknya melakukan pengawasan dan juga melakukan penegakan hukum perpajakan. Dalam hal ini aparat pajak berupaya meningkatkan kuantitas dan kualitas data dan informasi yang sangat diperlukan pada waktu melakukan pengawasan dan penegakan hukum perpajakan. Pada 2025, DJP Kemenkeu akan menerapkan sistem inti administrasi perpajakan (Core Tax System administration/CTAS).
“Apalagi pada waktu implementasi core tax ke depan, data dan informasi baik yang dari dalam negeri maupun dari luar negeri merupakan sumber informasi yang sangat diperlukan pada waktu kami melakukan kegiatan pengawasan dan penegakan hukum perpajakan lalu ikut core tax ke depan,” terang Suryo.
Saat ini DJP sudah di pengujung pengembangan core tax, yakni pada 28 Oktober 2024 sudah sampai tahap operational acceptance test. Pihaknya berharap agar pelaksanaan operational acceptance test selesai pada Desember 2024 dan core tax bisa dijalankan pada awal tahun 2025. Dengan adanya penerapan core tax, jelas dia, DJP Kemenkeu bisa meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak dan mengoptimalkan langkah mengumpulkan penerimaan negara.
“Di sela waktu sampai dengan akhir tahun ini, masa bagi kami untuk terus mendesiminasi. Tidak hanya kepada kami yang ada di dalam, di internal direktur dan internal pajak, tapi kepada para pihak wajib pajak dan juga stakeholder yang lainnya,” terang Suryo.
Artikel ini telah dimuat pada Investor.id dengan judul “Penerimaan Pajak 2024 Berpotensi Tak Mencapai Target” selengkapnya di sini:
https://investor.id/macroeconomy/379686/penerimaan-pajak-2024-berpotensi-tak-mencapai-target